+++
RISKA terpaku lama. Dia mengamati sekeliling. Ada nuansa yang berbeda begitu ia tiba di Aceh. Ia kini tiba di tanah para aulia. Tanah kelahiran para pejuang Indonesia. Negeri yang menjadi modal bangsa besar ini.
Negeri yang begitu setia di awal-awal kemerdekaan, kemudian beralih sebagai basis pemberontakan hingga puluhan tahun lamanya.
“Selamat datang di Bandara Sultan Iskandar Muda.”
Itu yang tertulis di sana. Langit yang biru serta perpohonan hijau mulai terlihat dari pintu pesawat.
Para penumpang terlihat sibuk dengan barang bawaan masing-masing. Beberapa bule berpakaian tipis terlihat mengamati sekeliling seperti dirinya. Mereka memikul ransel besar di punggungnya.
Para penumpang pria local terlihat santun. Mereka tak langsung serobot turun berdesak-desakan hingga menyentuh tubuh penumpang wanita. Demikian juga dengan petugas bandara yang berulang kali tersenyum dan menyapanya dengan hangat. Ini berbeda jauh dengan informasi yang diperolehnya selama ini.
“Selamat datang di Aceh, buk,” ujar beberapa petugas di sana. Sapaan hangat itu meluncur dari wajah-wajah penuh senyuman.
Sejumlah wanita muda juga terlihat hilir mudik di sampingnya. Mereka terlihat anggun dengan busana muslimah dan jilbab panjang yang dikenangkan.
“Ya tuhan, inikah Aceh yang diceritakan ayah,” gumam Riska dalam hati.
Riska ingat apa yang disampaikan ayahnya beberapa waktu lalu. Bahwa ia akan jatuh cinta dengan Aceh begitu tiba. Pemandangan yang disaksikan hari ini membuat dirinya semakin yakin dengan apa yang disampaikan ayahnya tersebut.
Riska mengamati sekeliling. Ia mencari seseorang yang ditugaskan oleh sang ayah untuk menjemput dirinya di Bandara SIM. Sang ayah mendapatkan tugas dadakan dari pimpinan kantornya sehingga tak bisa menjemput.
Seseorang yang dicarinya adalah perempuan paruh baya. Ia adalah tetangga ayahnya di komplek Nesu.
“Riska ya?” suara itu tiba-tiba terdengar dari belakang.
Riska menoleh ke belakang. Yang memanggilnya justru gadis muda yang hampir seumuran dengannya. Beda jauh dengan foto yang dikirim ayahnya melalui handphone. Gadis bertubuh mungil itu terlihat sangat cantik dan memasang senyum termanis. Gadis itu memiliki tinggi sebahunya.
“Mbak Suci?” tanya Riska ragu-ragu.
Sang gadis tadi tersenyum tapi kemudian menggeleng kepala.
“Bukan Ris. Aku anaknya. Aku tawar diri menjemputmu. Aku Raina. Mamakku harus merawat nenek di RS. Enggak apa-apa ya?” kata sang gadis.
Riska balas tersenyum. “Iya gak masalah. Aku malah senang dijemput sama yang lebih muda. Kalau sama Mbak Suci, agak segan aku.”
Keduanya kemudian tersenyum. Raina mengajak Riska ke area parkir yang lumayan luas. Di sana ada Innova putih. Raina membantu Riska memasukan barang bawaan yang lumayan banyak ke dalam mobil.
Raina kemudian duduk di posisi sopir. Sedangkan Riska di sisi kirinya.
“Kamu yang nyetir Rai?” tanya Riska.
Raina tersenyum. Ia mengerti makna dari pertanyaan Riska.
“Iya Ris. Tenang aja, aku udah ada SIM kok.”
Mendengar hal ini, Riska tersenyum. Kekhawatirannya menjadi hilang.
“Tenang Ris. Kecil-kecil ngini, aku udah mahasiswi lho. Cuma baru semester dua. Kamu baru mau daftar kuliahkan? Berarti aku kakak angkatanmu satu tahun?” ujar Raina lagi.
Mendengar pengakuan Raina, membuat Riska takjub. Ia tak menyangka jika gadis bertubuh mungil itu lebih tua darinya. Sebelumnya, ia malah mengira jika gadis itu masih berstatus pelajar SMA, kelas 2 atau 1.
“Oya! Maaf kak Raina. Habis kakak imut banget,” kata Riska.
Raina tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan Riska. “Aku anggap ini pujian ya. Panggil aja Raina, tak usah ada kata Kak. Cuma beda satu tahun pun.”
“Aku kuliah di FKIP Sejarah. Nanti kita bakal jadi tetangga, di rumah maupun di kampus.”
Riska mengangguk. Ia senang mendapat teman sekaligus tetangga baru yang baik seperti Raina.
“Dari sini ke rumah, sekitar 25 menit. Mau langsung pulang atau kita jalan-jalan dulu? Aku mau traktir kamu makan enak sebagai perkenalan awal. Sambil ngecengin cowok-cowok Aceh,” ujar Raina lagi sambil mengoda Riska.
Kini giliran Riska yang tertawa lepas.
[Bersambung]