SEPERTI janji Raina, mereka menghabiskan hari bersama hingga menjelang magrib. Raina menjadi pemandu yang baik bagi Riska. Keduanya bahkan singgah ke SMP 1 dan SMA I Banda Aceh yang menjadi sekolah ibu-nya Riska semasa tinggal di Banda Aceh.
Kedua sekolah ini berdekatan. Mereka minta izin ke petugas setempat untuk melihat-lihat ke komplek sekolah.
“Mamak-mu pasti pintar ya Ris! Ini kan sekolah favorit di Banda Aceh,” ujar Raina saat mereka di komplek SMP 1 Banda Aceh.
Riska mengangguk tanda setuju.
“Iya Raina. Mamak-ku cerdas dan kata Si Mbok-ku, ia jadi idola sejak remaja. Sayang, aku tak bisa mengenalnya dengan baik. Mamak meninggal saat melahirkanku.”
“Dia wanita yang super cantik. Makanya ayahku patah hati bertahun-tahun setelah ia meninggal,” kata Riska lagi.
Raina tersenyum. Ia tak ingin sahabat barunya itu berduka ketika mengenang kisah hidupnya. Raina mencoba mencairkan suasana dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat Riska.
“Aku tahu kok almarhum mamakmu pasti cantik. Kecantikannya bisa di lihat dari wajahmu Ris. Kamu bakal mematahkan hati banyak laki-laki di Aceh nantinya,” ujar Raina sambil tersenyum manis.
“Andai aku laki-laki, aku pasti jatuh hati padamu Ris,” kata Raina lagi.
Riska senang mendapat pujian dari Raina. Ia tahu jika sahabat barunya itu memujinya agar ia tidak larut dalam sedih.
“Kalau Mbak Raina udah punya pacar?” ujar Riska balik menggoda Raina.
Namun orang yang digoda tadi justru cemberut. Wajah Raina berubah cemberut.
“Belum Ris. Aku sering dijahili di kampus karena postur tubuh kecil. Dikira aku masih SMP kali ya! Makanya tadi pak Satpam lihat aku terus. Dikira aku mungkin siswa di sana,” ujar Raina bercanda.
Kini Riska tertawa lepas mendengar pengakuan Raina.
“Di Ngawi, cowok cowok justru suka sama cewek berpostur imut seperti mbak Raina lho. Awet dan lucu,” canda Riska. Keduanya kemudian tertawa bersama.
Raina kemudian tiba-tiba terdiam.
“Ris. Aku ada kenal cowok yang baiknya minta ampun. Tapi kelihatannya tidak tertarik dengan lawan jenis. Malah sering menghindar kalau diajak ngobrol. Menurut kamu, apa itu normal?” tanya Raina memasang wajah serius.
Riska tak nyambung dengan curhat Raina tiba-tiba.
“Sorry aku tak ngerti,” ujar Riska. “Maksud Mbak Raina ngimana?”
Raina tersenyum. Ia kemudian menggeleng kepala. “Gak ada. Lupai aja. Yuk kita jalan lagi,” kata Raina kemudian.
Ia mencoba mengalihkan pembicaraan ke pembahasan lainnya saat mereka berdua di dalam mobil. “Ris. Ceritai dong soal kehidupanmu di Ngawi. Kamu sudah pernah pacaran blom?” tanya Raina.
Kali ini giliran Riska yang terdiam.
“Ngimana ya. Pacaran blom. Soalnya Riska gak suka sama cowok yang gak serius.”
Kalimat Riska tadi justru membuat Raina semakin penasaran. “Sebentar. Jadi kalau yang dekat berarti ada dong ya. Kasihan berarti dia ya, harus patah hati karena kamu pindah ke Aceh,” ujar Raina menggoda.
Riska tersenyum, kemudian buru-buru meralat perkataan Raina.
“Maksudku mbak, Riska ingin cari yang serius. Satu orang untuk selamanya. Seperti ayah Riska. Tetap setia meski maut memisahkan mereka,” ujar Riska.
Raina terkesima mendengar pengakuan Riska. Ia tak menyangka jika gadis yang baru dikenalnya itu jauh lebih dewasa dari yang dibayangkannya.
“Wow.”
“Wow kenapa Rai?” tanya Riska.
Raina tersenyum. Ia yakin jika gadis disampingnya itu akan menjadi sahabat baiknya kedepan.
“Aku takjub dengan pemikiranmu itu. Aku dukung 1000 persen,” ujar Raina.
“Aku ada calon kandidat untuk kriteria cowok dambaanmu itu. Tapi sepertinya sulit untuk menaklukan hatinya,” kata Raina lagi.
Alis Riska beradu usai mendengar perkataan Raina. Namun ia juga penasaran.
“Maksud Mbak?” ujarnya kemudian.
“Ya. Ada cowok ganteng, baik serta pintar. Tapi…” ujar Raina dengan kalimat gantung. Ia sengaja membuat Riska tambah penasaran.
“Tapi apa?” tanya Riska kemudian. Ia masuk dalam jebakan Raina.
“Tapi dia gay,” jawab Raina sambil tertawa lepas. Riska cemberut.
[Bersambung]