“Mustafa, apakah kau membenciku karena menerapkan aturan terlalu ketat kepada kalian?” ujar pria tua itu sambil melepaskan pelukannya.
Mustafa menggeleng berulangkali. Ia tahu bahwa sikap kerasnya tetua itu adalah untuk kebaikan mereka semua. Jika seandainya mereka tidak disiplin serta bergerak sesuai peunutoh, mungkin sudah lama ia dan rekan-rekannya tewas di medan pertempuran.
“Tidak teungku. Kami yang salah. Kami yang berulangkali melanggar peunutoh dari teungku. Saya merasa bersalah atas kejadian tadi pagi,” ujar Mustafa. Ia benar-benar shock ketika mengetahui Si Cah dan Si Lah meninggal.
“Sudahlah. Ini mungkin kesalahanku juga,” ujar tetua itu.
“Aku tahu ketika kalian turun ke kampung semalam, tapi aku tak mencegahnya. Apalagi ketika aku mengetahui ketika kau hendak melamar gadis pujaan hatimu,” katanya lagi.
Mustafa tertunduk lesu. Tetua di depannya itu begitu arif dan bijaksana. Ia menyesal telah membuat tetua itu berulangkali kecewa.
“Saya berjanji teungku. Saya tak akan mengulang kesalahan yang sama di masa depan,” katanya kemudian.
Tetua itu tersenyum mendengar pengakuan Mustafa. Mereka berdua kemudian terdiam.
Teungku Fiah, demikian ia menyapa pimpinannya itu. Lelaki tua itu sebenarnya adalah orang yang berhati lembut. Ia teungku di salah satu dayah di Aceh Timur. Sama seperti dirinya, konflik membuat keluarga Teungku Fiah meninggal dunia, sekitar 25 tahun lalu.
Oleh pimpinan wilayah, Teungku Fiah berulangkali ditawarkan posisi tinggi di jajaran elit, namun selalu ditolaknya. Ia hanya memilih 25 orang pemuda seperti dirinya untuk berperang di garda terdepan. Namun setelah beberapa tahun berlalu, jumlah mereka kini tinggal 12 orang, termasuk dua kematian terbaru tadi siang.
Salah satu syarat untuk masuk ke pasukan Teungku Fiah adalah bisa mengaji serta siap mati.
“Mustafa, aku berharap kau bisa memimpin pasukan ini ketika kelak aku juga syahid di medan perang ini. Ini sudah kusampaikan pada pimpinan wilayah kita,” ujar Teungku Fiah lagi.
“Kalian di sini, semuanya seumuran. Hanya almarhum Si Lah yang sedikit lebih tua. Tapi kini ia sudah syahid. Kau alumni dayah. Kau tahu mana yang benar dan salah. Aku berharap banyak padamu,” kata Teungku Fiah.
Mustafa meneteskan air mata mendengar peutuah Teungku Fiah. Ia tak menyangka jika tetua itu menaruh harapan yang besar pada dirinya.
“Tidak teungku. Saya akan berjuang dengan teungku hingga ajal tiba. Saya akan ikut kemanapun teungku pergi,” ujarnya.
Teungku Fiah menarik nafas dalam-dalam mendengar penuturan Mustafa. Ia tahu bahwa pemuda itu hanya emosional.
“Aku ini sudah tua, Mustafa. Cepat atau lamban, aku pasti akan mati. Sedangkan perjuangan kita masih panjang. Aku ingin kamu berbesar hati jika suatu saat aku telah tiada. Aku tak ingin kamu membantahnya sekarang. Aku hanya lebih siap ketika itu terjadi,” ujar tetua itu lagi.
Mustafa kali ini terdiam. Namun ia benar-benar tak siap jika harus kembali kehilangan sosok panutannya itu.
Teungku Fiah mengalih pandangan ke langit. Saat itu ribuan bintang terlihat jelas dari sana. Sangat indah.
“Seharusnya malam ini, kau berada di kamar istrimu. Tapi kau malah berada di balai ini bersamaku sambil menikmati gigitan nyamuk,” ujar Teungku Fiah sambil tersenyum.
Muka Mustafa memerah. Ia malu dengan dirinya sendiri.
“Tidak tengku. Saya tak ingin melanggar peunutoh teungku. Saya tak ingin kasus tadi siang terulang,” ujarnya.
Kini Teungku Fiah menggeleng kepala.
“Istrimu itu gadis yang luar biasa. Aku dengar ia anak dayah. Dia menerimamu apa adanya seperti sekarang adalah hal yang luar biasa. Kau tak boleh mengecewakannya.”
“Beberapa hari ini kita pantau keadaan dulu. Aku sudah minta penghubung untuk memantau keadaan istrimu di sana. Kelak ketika keadaan lebih aman, pergilah membesuknya,” kata Teungku Fiah lagi.
Mustafa benar-benar kagum dengan sosok di depannya itu. Meskipun sudah tua, ia bisa mengatur semua dengan tenang. Ia lebih memikirkan nasib prajuritnya dibandingkan keluarganya sendiri.
[Bersambung]