+++
BUDI menelusuri desa. Ia mencari beberapa penghubung tentara nanggroe, yang diketahuinya, dekat dengan ayahnya. Ibnu mengekor dari arah belakang. Bocah itu memang tak bisa jauh darinya selama beberapa bulan terakhir, terutama pasca abang tertua mereka dijemput paksa dan tidak ada kabar hingga kini.
Bocah itu ngotot ingin ikut. Padahal misi yang diembannya cukup berbahaya.
“Nu, kalau pulang saja. Kau jaga mamak di rumah Teungku Baka. Kasihan Mamak sedang sakit,” ujar Budi kepada adiknya itu di pematang sawah.
Namun anak itu tetap menggeleng kepala. Ia keras kepala seperti abang tertua dan ayahnya yang kini entah di mana.
“Aku ingin ketemu ayah. Nu ingin bilang kalau rumah kita gak ada lagi dan mamak sakit, sama ayah,” kata bocah tadi.
Budi akhirnya menarik nafas panjang. Berdebat dengan adiknya itu hanya akan menghabiskan waktu. Sementara dia memang harus bertemu dengan salah seorang penghubung agar bisa berkomunikasi dengan ayah mereka.
Budi mencari Ridwan. Pemuda itu lebih tua darinya beberapa tahun. Ayahnya sering berkomunikasi dengan Ridwan saat berada di rumah. Budi yakin jika sosok itu bisa menghubungkannya dengan sang ayah yang sedang bergerilya.
Namun jawaban yang diperoleh keluarga Ridwan justru membuat Budi kecewa.
“Ridwan sudah keluar Aceh, Bud. Kalau gak salah, ia menuju Sumatera Utara. Pasca ditangkapnya abangmu, ia termasuk salah seorang yang dicari. Kami meminta ia keluar Aceh,” kata Raudhah, adik Ridwan.
Harapan Budi putus saat mendengarkan penjelasan Raudhah. Adik Ridwan itu adalah santri di salah satu dayah tradisional di Simpang Ulim. Gadis yang seumuran dengannya itu hanya sesekali pulang ke rumah untuk menjenguk orangtua mereka yang sudah tua.
Saat Budi bertandang ke rumah Ridwan, kebetulan bertemu dengan Raudhah. Gadis remaja itu masih terlihat anggun seperti biasanya.
“Bang Ridwan, pernah beberapa kali berkomunikasi dengan Teungku Amat di desa sebelah. Mungkin Teungku Amat tahu keberadaan ayahmu,” ujar Raudhah kemudian.
Budi sebenarnya ingin berlama-lama komunikasi dengan kembang desa itu. Namun misi yang diembankannya jauh lebih penting.
Ia kemudian mengajak Ibnu untuk menyeberang ke desa tetangga guna menemui Teungku Amat seperti penuturan Raudhah. Jalan paling dekat ke desa tetangga adalah melalui pematang sawah.
Sedangkan jika harus melalui jalan besar, mereka harus memutar jauh. Melewati jalan raya. Ia khawatir berpas-pasan dengan tentara republic yang sedang patrori.
Namun baru sekitar 500 meter berjalan di persawahan, dari kejauhan terlihat pria berbaju loreng dari arah yang berlawanan. Jumlah mereka lebih dari 10 orang. Mereka bersenjata lengkap.
Budi mencoba tetap tenang.
“Mungkin mereka adalah tentara nanggroe yang memakai baju loreng. Warna baju hampir sama. Namun simbol dan bendera di dada yang berbeda. Nanti baru ketahuan dari jarak dekat,” gumam Budi dalam hati.
Budi memegang erat tangan adiknya. Ia tak ingin Ibnu lepas kontrol serta membuat situasi jadi panik.
“Nu, ada tentara di depan. Aku belum bisa pastikan itu tentara nanggroe atau republic. Kamu diam dan jangan ngomong apapun. Berdiri di belakangku,” kata Budi.
Adiknya itu mengangguk. Namun semakin dekat mereka dengan pria berbaju loreng, tangan bocah itu semakin gemetar.
“Kamu naik ke pundak aku saja. Aku pikul. Peluk aku dan tutup matamu,” ujar Budi lagi. Ia tahu jika Ibnu ketakutan.
Sang bocah kemudian dipikulnya. Ia menuruti permintaan Budi.
“Hendak kemana kalian?” suara itu tiba-tiba terdengar. Seorang pria dari jarak 5 meter menegur mereka. Ia berpakaian loreng dan bersenjata. Di dadanya ada bendera dua warna.
“Ya tuhan, Ryder,” gumam Budi. Ia dengan jelas melihat artibut itu dari dekat. Ibnu tiba-tiba menangis terisak-isak. [Bersambung]