“Ngapain kau ke sumur magrib-magrib?” suara itu terdengar. Jumlah mereka diperkirakan lebih 10 orang.
Di dalam rumah, wajah Teungku Fiah mulai pucat basi. Ia khawatir jika kedatangannya ke rumah itu sudah terpantau.
Surat langkah terdengar mengelilingi rumah. Teungku Fiah sudah terkepung.
“Untuk wudhu pak?” jawab sang pemuda tiba-tiba.
“Untuk wudhu ayah saya yang sedang sakit di dalam rumah,” ujarnya lagi.
Wanita paruh baya di dalam rumah menarik tangan Teungku Fiah untuk masuk dalam kamar. Ia memberi isyarat kepada Teungku Fiah untuk mencopot seluruh pakaiannya yang dikenakannya. Wanita itu menyerahkan kain sarung dan baju tua untuk dikenakan Teungku Fiah.
Teungku Fiah menuruti permintaan wanita tadi. Ia tahu bahwa semua ini dilakukan untuk keselamatan dirinya.
Sang wanita tua tadi juga meminta Teungku Fiah untuk tidur di atas kasur miliknya.
“Druk.”
Pintu rumah tiba-tiba terdobrak. Sejumlah pria berpakaian militer menerobos masuk. Wanita tua tadi keluar kamar dengan wajah tenang.
“Ada apa bapak tiba-tiba masuk ke rumah saya? Suami saya lagi sakit,” katanya dengan suara menantang.
Sejumlah pria berpakaian loreng itu terlihat tertegur. Mereka terlihat ragu dan terdiam.
“Tadi kami melihat seorang pria masuk ke rumah ini. Ia agak lama berada di pintu masuk,” ujar salah seorang diantara mereka.
“Dia pasti GAM yang mencari perlindungan,” tambah rekan pria tadi lagi.
Jantung Teungku Fiah berdetak cepat di dalam kamar. Ia mendengar percakapan tadi dengan jelas. Ini karena posisinya dengan para tentara republic hanya sekitar dua meter. Teungku Fiah berharap pria muda dan wanita yang membantunya itu tak kenapa-kenapa.
“Bukan. Itu suami saya yang baru pulang dari kebun. Ia sakit dan baru tiba magrib. Ia minta anak kami menimpa air karena tak sanggup lagi ke sumur untuk wudhu,” kata sang wanita tua itu lagi.
Alasannya sangat logis. Ini membuat Teungku Fiah tenang.
Teungku Fiah memutuskan untuk keluar kamar. Ia yakin para tentara tak mengenalnya. Mereka hanya menduga-duga dirinya GAM karena geraknya jelang Magrib tadi. Cepat atau lamban, para tentara tadi juga pasti akan meminta melihat wajahnya dalam kamar.
“Ada apa bapak-bapak mencari saya?” ujarnya sambil berpura-pura sakit dan memegang dada.
Keadaan Teungku Fiah memang sedikit mengkhawatirkan selama bergerilya. Ini karena ia kekurangan asupan gizi. Selama di penjara dalam kamp tentara nanggroe, ia juga sedikit makan, ini membuat aktingnya menjadi sempurna.
Beberapa tentara republic terlihat kasihan dengan keadaan Teungku Fiah.
“Bapak lebih baik masuk lagi. Kami salah orang. Kami pikir, bapak GAM tadi saat pulang magrib,” ujar pria berloreng tadi.
Teungku Fiah mengangguk. Ia bersyukur aktingnya berhasil.
“Saya lapar pak. Saya tak makan dari siang tadi di kebun. Makanya jalan hoyong. Beras di rumah juga hampir habis. Makanya saya mau salat dan langsung tidur,” kata Teungku Fiah.
Penjelasan Teungku Fiah kian membuat para tentara prihatin. Seorang diantara mereka mengambil sesuatu di ransel miliknya. Ia mengambil sekotak nasi kaleng dan menyerahkan ke Teungku Fiah.
“Makan ini aja pak. Mudah-mudahan langsung sembuh,” ujar dia.
Teungku Fiah sempat ragu saat menerima makanan tadi. Ini karena baru kali ini ia mendapat kebaikan dari lawannya. Namun senyum tulus dari pria tadi membuatnya tak khawatir.
“Makan saja pak. Tidak ada racunnya,” kata pria tadi lagi.
[Bersambung]