MELEWATI meunasah Nicah Awe, mobil yang disupiri Siwan belok kanan menuju ke arah Panton Labu. Mulut Teungku Fiah terlihat komat kamit membaca doa. Demikian juga dengan Mustafa. Sementara istri Mustafa, Sakdiah dan Ibnu mulai tertidur lelap.
Baik Teungku Fiah dan Mustafa, sadar bahwa perjalanan ini taklah semulus yang dibayangkan. Mereka khawatir jika ada razia dadakan dari tentara republic. Nyawa mereka dan keluarga jadi taruhan dalam perjalanan nanti.
“Teungku tenang saja. Jika ada razia, biar aku yang berbicara nanti,” ujar Siwan menenangkan keduanya.
Irwan sendiri tak begitu percaya dengan kalimat yang diucapkannya tersebut. Namun ia mencoba menguatkan hati kedua tentara nanggroe itu.
Teungku Fiah tersenyum mendengar penjelasan Siwan. Ia telah berulangkali melewati perjalanan bersama pemuda itu. Berulangkali pula pemuda itu menyelamatkan nyawanya dari situasi yang tak menguntungkan. Kali ini, Teungku Fiah mengharapkan keberuntungan yang sama.
“Aku percaya padamu. Semoga tuhan memberikan kita umur yang panjang,” kata Teungku Fiah.
Mustafa mengangguk. Sementara Siwan tersenyum.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Dari Simpang Ulim, mereka memasuki Panton Labu dengan aman. Mobil kemudian mengarah ke Lhoksukon dan beberapa menit kemudian tiba di Lhokseumawe.
Di Lhokseumawe, laju mobil melambat saat tiba di salah satu kios. Siwan turun dan kemudian membeli banyak makanan. Ia kembali dengan tiga kantong besar yang berisi makanan ringan.
“Aku tahu jika kalian belum makan. Makanya aku beli banyak. Ini bisa mengurangi kekhawatiran kita sepanjang perjalanan,” kata Siwan.
Teungku Fiah mengangguk.
“Minimal kalaupun nanti tertangkap dan ditembak, kita mati dalam keadaan kenyang,” kata Mustafa.
Istri Mustafa yang mendengar dari arah belakang, langsung cemberut. Ia menyubit bibir suaminya dengan gemes. Mustafa tak tahu jika istrinya sudah bangun dan mendengar semua pembicaraan mereka.
“Aku tak mau jadi janda muda,” ujar istri Mustafa. Ia sebel mendengar kalimat pasrah dari suaminya itu. Mustafa sendiri tersipu malu melihat prilaku istrinya itu. Ia malu pada Teungku Fiah dan Sakdiah yang sudah dianggap seperti orangtuanya.
Teungku Fiah tertawa lepas. Ia melirik Sakdiah yang memeluk anaknya dengan wajah tersenyum.
Suasana kaku berubah jadi riang. Irwan kembali duduk di posisi supir dan memberi aba-aba kalau perjalanan berlanjut.
“Kita lanjut perjalanan kalau begitu. Nanti kita salat di pesantren aja,” katanya.
Jalan raya dari pusat Kota Lhokseumawe mulai diterangi oleh lidah api raksasa di kiri dan kanan. Lidah api itu merupakan bagian dari perusahaan raksasa bernama Arun, yang menguras minyak Aceh 1974.
“Minyak ini harusnya milik kita teungku. Namun kini kita hanya mampu melihat mereka mengangkut kekayaan alam kita untuk dibawa pulang ke Jawa,” kata Siwan memulai percakapan.
“Banyak pria pria di Aceh Utara hanya jadi Satpam di perusahaan ini,” ujarnya lagi.
Teungku Fiah lagi-lagi cuma tersenyum.
“Kabarnya untuk masuk ke dalam Arun, harus melewati pengamanan yang berlapis-lapis. Ada tentara dan BKO juga. Belakangan ini banyak mayat yang dibuang saat dini hari sepanjang jalan ini,” katanya lagi.
Apa yang disampaikan oleh Siwan memang benar adanya. Sebagai pasukan nanggroe, Teungku Fiah paham dengan ketimpangan yang sedang terjadi di Aceh Utara. Ia banyak mendengar hal ini dari pasukan nanggroe yang berasal dari Pase.
“Semoga Allah Swt mengampuni dosa orang-orang Aceh yang telah menjual negeri ini, Wan. Karma tuhan itu akan datang bagi mereka yang mengkhianati negeri ini. Cepat dan lamban, itu hanya soal waktu,” kata Teungku Fiah.
“Jika nanti suatu saat Aceh merdeka dan kemudian prilaku sama terulang, kita juga akan dilaknat oleh tuhan,” ujarnya lagi. []
[Bersambung]