Kalau dilihat sekilas mungkin tidak ada kaitan antara Apam dan Corona. APAM disini maksudnya “kue apam”, yang dibuat dari tepung dengan bentuk, bulat di cetak dengan kuali. Biasanya tradisi buat kue Apam ini di bulan Rajab. Sebab itu bulan Rajab oleh masyarakat Aceh disebut dengan “buleun meu-apam”, kemudian dimakan dengan kuah dari santan yang dimasak, sedangkan CORONA adalah virus atau Wabah yang sekarang lagi muncul dan menggemparkan seluruhn isi dunia. Corona merupakan penyakit menular yang bisa mematikan dalam hitungan jam. Tidak perlu lama, dalam beberapa pekan ini Corona lansung mewabah ke berbagai negara, termasuk Indonesia, bahkan sudah terjangkit di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Aceh. Kalau di Aceh disebut juga dengan istilah ta’eun.
Taeun itu asal katanya dari bahasa Arab, yaitu Tha’un ( طاعون ) yang artinya adalah wabah. ta’eun dalam masyarakat Aceh merupakan penyakit yang berbahaya, yang mudah terjangkit ke semua orang, Penyakit Ta’eun merupakan penyakit Koléra, wabah atau epidemi, yang dua gejala utamanya adalah muntah ciret (muntah-berak). Jaman dulu sebagaimana wilayah lainnya di seluruh Nusantara, Aceh juga terkena wabah ta’eun, penyakit ini pada jaman dulu juga pernah menewaskan banyak orang. Oleh karena itu dalam perang Aceh dulu banyak pejuang Aceh yang mati bukan hanya karena peluru atau senjata saja, tapi juga karena terserang penyakit ta’eun tersebut, sebagaimana disebutkan dalam manuskrip yang membahas tentang perang Aceh seperti Hikayat Prang Gumpeni “matee ta’eun pih sit le that, han teukhimah tip-tip uroe”, artinya: Mati Karena wabah Ta’eun sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya setiap hari. ( Hikayat Prang Gumpeni: 15), dan masih ada juga dalam beberapa naskah Aceh lain yang membahas tentang Ta’eun tersebut.
Yang menjadi pertanyaan, apa kaitan atau hubungan antara keduanya? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, apa itu corona dan apa itu Apam? Maka bisa dilihat dari segi upaya-upaya atau peran yang dilakukan pemerintah dan masyarakat demi mengatasi dan mencegah virus corona agar tidak terus menerus tersebar dan memakan banyak korban jiwa.
Upaya yang dilakukanpun bermacam, macam: mualai dengan melakukan lockdown (tetap dirumah, tidak meninggalkan tempat tinggal kita), social Distancing (tidak berinteraksi dengan orang-orang), menganjurkan memakai masker, hand sanitiser, selalu mencuci tangan, dan lai-lain. Di Aceh dulu melakukan tulak bala selain dengan meramu obat-obat tradisional untuk diminum, masyarakat juga melakukan beberapa ritual, baik berkaitan dengan ritual yang berkaitan dengan sosial keagamaan maupun ritual yang berkaitan dengan budaya-budaya setempat.
Ritual tulak bala berkaitan dengan keagaman biasanya dilakukannya do’a bersama di meunasah-menasah selama beberapa malam, kemudian berkeliling arak-arakan dengan membawa obor, sambil membaca doa-do’a serta syair-syair dalam bahasa Arab dan bahasa Aceh. Seluruh kaum laki-laki sekampung harus ikut melaksanakan ritual tersebut.
Selama Covid-19 masyarakat Aceh juga melakukan ritual-ritual seperti yang dilakukan masyarakat dulu, karena masyarakat Aceh meyakini dengan ritual tersebut bisa melakukan atau bisa menghilangkan bala wabah Corona tersebut.
Sedangkan ritual yang berkaitan dengan tradisi turun-temurun untuk tulak bala seperti membakar tiga helai kain sudah jelek (ija Broek), dan memakai inai di tiga jari tangan kanan, yaitu: jari Kelingking, jari tengah, dan ibu jari., selama mewabahnya virus Corona, ritual tersebut masih digunakan bahakan sebagian masyarakat Aceh sudah melakukannya. Kemudian ritual lain yang masih kental sampai sekarang yaitu meakukan kenduri Apam “Kue Apam” sebagai medianya.
Dalam masyarakat Aceh tradisi buat Apam dilakukan bukan hanya pada bulan ra’jab saja, tetapi juga dilakukan pada beberapa acara tertentu, diantaranya: Pada Acara kenduri (Hajatan), Ketika Panen dan menanam padi, , acara 15 hari kematian (kalau di Aceh Besar), Kenduri melaut, Maulid nabi, kenduri pasca gempa bumi, kenduri ketika melakukan tulak bala. Pada ritual ini bisa kita lihat apa hubungan atau kaitan antara Apam dan Corona? Corona merupakan salah satu wabah penyakit atau yang dianggap bala oleh masyarakat, jadi untuk mengatasi bala tersebut sebagian masyarakat memasak apam untuk diberikan atau dibagikan kepada orang-orang miskin, tetangga, dan lain-lain. Masyarakat dulu membuat kue apam untuk dibawa sebagai kanduri ke mesjid atau meunasah, disuguhkan ke Teungku sambil dibacakan do’a tolak bala bersama. Corona yang terjadi tepatnya di bulan Ra’jab, sehingga ada sebagian masyarakat Aceh melakukan ritual Kenduri Apam Rajab bertepatan dengan Kenduri Apam Tulak Bala.
Kanduri apam (Rajab) mempunyai tempat dalam almanak resmi tentang perayaan, terutama karena dalam bulan itu, pada malam 27 Rajab, Nabi Muhammad melakukan Isra’ dan Mi’raj. Untuk memperingati malam itu orang berkumpul di masjid atau di rumah-rumah sambil mendengarkan riwayat mi’raj (Aceh: Me’reut). Uraian mi’raj dilakukan dengan prosa yang dibawakan sebagai syair maupun sebagai sajak, sama seperti waktu mengisahkan lahir dan kehidupan Nabi. Dalam buku C.Snock Hurgronje (1982:248) ( Kebiasaan ini oleh mereka yang mempunyai bakti khusus terhadap agama, seperti leube, malèm dan lain-lain. Jadi bukan pesta rakyat dalam arti kata sebenarnya.
Penulis adalah Istiqamatunnisak MA, peneliti naskah kuno dan pengajar di UIN Ar-Raniry.