MALAM kian larut. Suara mobil reo tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Beberapa guru dayah ke luar dari bilik. Mereka terkejut saat melihat Mustafa memegang AK-47 dan pistol FN di tangan Teungku Fiah.
Salah seorang di antara mereka kemudian mendekat. Pria itu adalah Teungku Wan, ia termasuk salah seorang guru senior di dayah itu.
“Teungku-teungku lebih baik ke rumah pimpinan saja. Di sana lebih aman. Saya jamin tentara tak akan masuk ke sana,” ujarnya.
“Kalau teungku membalas tembakan di sini. Dayah ini akan terbakar. Kasihan anak-anak miskin yang belajar di sini,” kata Teungku Wan lagi.
Apa yang disampaikan oleh Teungku Wan memang benar adanya. Mustafa dan Teungku Fiah bisa saja membalas tembakan jika tentara republic masuk dayah dan mencari mereka. Namun yang dikhawatirkan justru efek pasca perang terbuka terjadi nantinya. Dayah akan dibakar.
Suara reo kian terasa dekat. Suara itu terdengar jelas dari arah jalan desa.
“Teungku Azwir, tolong antar Teungku Fiah dan Teungku Mustafa ke rumah Waled. Kemudian kembali cepat ke sini untuk mengantisipasi keadaan tak terduga,” ujar Teungku Wan pada seorang guru dayah lainnya yang berdiri tak jauh dari arah mereka. Sosok itu mengangguk.
“Mari teungku,” ujarnya sambil bergegas ke arah rumah pimpinan yang berada di sudut kiri komplek dayah.
Langkahnya diikuti oleh Mustafa dan Teungku Fiah. Dari arah depan, Waled sapaan untuk pimpinan dayah tertinggi, ternyata sudah menyambut di depan pintu rumahnya. Rumah tersebut berjarak sekitar 40 meter dari pintu gerbang.
“Masuk saja ke dalam teungku. Ada kamar kosong di sisi kanan. Teungku akan aman di sana,” ujarnya.
Beberapa detik usai teungku Fiah memasuki kamar, suara jeritan tiba-tiba terdengar.
Ada dialog antara tentara republic dengan salah seorang unsur dayah. Namun dialog itu tak terdengar hingga ke dalam kamar.
“Tup, tum, tum…”
Suara letusan senjata tiba-tiba terdengar.
Air mata Teungku Fiah tiba-tiba tumpah. Ia khawatir jika salah seorang dari unsur pimpinan dayah yang menampung dirinya dan keluarga menjadi korban malam ini.
“Haruskah kita keluar teungku? Aku khawatir istri yang di dalam kamar,” kata Mustafa.
Teungku Fiah terdiam. Darahnya memanas usai mendengar suara senjata. Namun membalas hanya akan membuat tindakan tentara benar adanya.
“Jangan dulu. Tahan saja. Kalau mereka masuk ke sini baru kita balas,” ujarnya.
“Tum, tum,.,.tum.” Suara itu kembali terdengar.
Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar mendekat di sekitar rumah. Suara itu kian dekat seperti orang yang sedang mengejar sesuatu.
“Sialan. Larinya cepat sekali. Kejar dia.”
Suara itu terdengar dari arah luar. Hanya beberapa meter dari arah kamar yang dijadikan Teungku Fiah dan Mustafa sebagai tempat persembunyian.
“Benar seperti kata informasi. Memang ada GAM yang bersembunyi di dayah ini. Keparat kalian semua,” ujar seseorang dari luar.
[Bersambung]