DEDI menyerah. Pemuda di depannya, sama keras kepala dengan dirinya. Pria muda itu selalu memiliki jawaban yang tepat dari setiap pertanyaan yang disampaikannya. Entah karena ia sedang tidak dalam kondisi optimal atau memang nalar yang disampaikan pria idaman anak perempuannya itu memang begitu adanya.
Riska sendiri sudah melarang Dedi untuk bertemu dengan pemuda yang dikaguminya selama ini. Namun Dedi tetap ngotot. Apalagi setelah diketahui jika calon menantunya itu memiliki jiwa pemberontak.
Bagi Dedi, atak ada masalah antara anak pemberontak atau pahlawan negara. Karena hidup seseorang ditentukan oleh takdirnya sendiri. Atas dasar itu, Dedi menemui Ibnu.
Dedi ingin mengetes pria muda itu tentang sejauh mana ia mencintai anak perempuan satu satunya itu.
“Baiklah kalau begitu. Malam ini cukup di sini. Kita akan berjumpa lagi lain waktu. Mungkin aku akan memakai baju tentara nanti. Kuharap kau tidak trauma atau pingsan,” ujar Dedi sambil berdiri.
Ibnu mengangguk. Entah kenapa ia merasa pria tua di depannya itu tiba-tiba begitu dekat dengan dirinya.
“Kau jangan senang dulu. Ini bukan berarti aku menyetujui hubungan kalian. Aku tetap belum mendukung kalian,” kata Dedi lagi.
Ibnu kembali mengangguk. Ia paham dengan suasana yang sedang terjadi. Ayah Riska sedang mencoba mempelajari sifatnya.
“Pria ini pasti ingin melihat kedewasaanku. Ingin melihat langsung dengan aku. Layak atau tidak aku menjadi pendamping anaknya. Tapi itu masih sangat jauh dan lama,” gumam Ibnu dalam hati.
Ibnu kemudian tersenyum. Baru kali ini ia merasa begitu percaya diri di depan seseorang. Padahal lelaki tua di depannya itu adalah seorang tentara dan ayah dari Riska, perempuan yang menarik perhatiannya selama ini.
“Bapak tak perlu khawatir. Saya memang menyukainya. Namun kami tidak pacaran. Hanya dengan izin bapak, suatu saat saya akan datang melamar. Namun saya harus menyelesaikan program magister dulu, seperti wasiet orangtua saya semasa hidup,” kata Ibnu kemudian.
“Orangtua saya memang pemberontak, namun ia menitip banyak asa kepada saya sebelum meninggal. Salah satunya untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda dengan dirinya,” ujar Ibnu lagi.
Dedi kembali terdiam. Ia mencoba untuk tak kembali berkata-kata.
“Baiklah kalau begitu. Saya izin permisi,” ujar Dedi.
Dedi bergegas melangkah keluar dan menuju ke arah mobil yang diparkir agak jauh dari Warkop Pinggir Kali. Di dalam mobil, wanita muda memasang wajah cemas saat melihat Dedi akhirnya keluar dari warung.
“Ayah beneran tak memukulnya kan?” tanya Riska.
Dedi diam. Ia ingin membuat anak perempuannya itu penasaran.
“Ayah tak memerahi Ibnukan? Ayah tak membentaknya kan?’ ujar Riska lagi.
Riska sebel melihat ayahnya itu abai pada setiap pertanyaannya.
“Awas kalau ketahuan ayah memarahi Ibnu, Riska tak mau berbicara dengan ayah lagi selamanya,” kata dia. []
[Bersambung]