Penulis adalah Juanda Djamal, Ketua Fraksi PA DPRK Aceh Besar
Allah telah memberikan kesempatan bagi pemerintah kabupaten dan masyarakat Aceh Besar agar dapat berfikir mencurahkan pemikiran dan idenya, serta bekerja membangun kota Jantho menjadi New Town Aceh. Namun demikian, hari ini kota Jantho dan Aceh Besar telah berusia 36 tahun, akan tetapi perkembangan pembangunan masih terus berusaha dan bekerja kearah kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Perpindahan ibukota Aceh besar ke pegunungan hutan Jantho tentunya memiliki pertimbangan yang mendalam, termasuk pertimbangan geografis, mengingat perkembangan Aceh dalam 100 tahun kedepannya maka perlu dibangun wilayah pinggiran sebagai kota baru disebabkan dalam 100 tahun kota Banda Aceh akan padat dengan penduduk dan pembangunan. Begitu pula pertimbangan lingkungan dan alam, semestinya Jantho menjadi kota hijau yang dikelilingi oleh beberapa Sungai dan berhadapan langsung dengan peunungan Seulawah. Sungai dan gunung adalah simbul peradaban, lihatlah kota Mesir ada sungai nil, Sabit subur (efrat), China kuno (sungai kuning), India (Indus) dan sebagainya.
Awal terbentuknya kabupaten Aceh Besar, Undang-Undang No 6 Tahun 1956 telah menetapkan Aceh Besar dengan tiga kewedanaan (Seulimuem, Meuraxa dan Sabang) dengan ibukota kabupaten yaitu Banda Aceh. Usaha pemindahan ibukota dilakukan tahun 1969, lokasinya di Indrapuri. Usaha awal ini gagal, tetapi tahun 1976 barulah diajukan kembali dengan Lokasi kecamatan Seulimum tepatnya kemukiman Jantho. Maka keluarlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh ke kemukiman Jantho di Kecamatan Seulimeum, Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan PT. Markam Jaya yang ditinjau dari segala aspek dapat disimpulkan bahwa yang dianggap memenuhi syarat sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar adalah Kemukiman Janthoi dengan nama Kota Jantho. Maka secara resmi dimulai pada 23 Agustus 1983 semua operasionalisasi pemerintahan Aceh Besar di Kota Jantho dan diresmikan oleh Mendagri Suparjo Rustam pada 3 Mei 1984.
Generasi Politik 2020
Sejak kepemimpinan Bachtiar Panglima Polem (1982) dan hari ini Mawardi Ali (2017) upaya untuk memajukan Jantho dan Aceh Besar sudah banyak dilakukan, banyak hal yang sudah dibangun, namun cita-cita untuk menjadikan Jantho as new town of Aceh masih harus terus diperjuangkan. Cita-cita untuk menjadikan Jantho sebagai kota peradaban baru Aceh masih belum dapat kita kembangkan secara gagasan, baik pemikiran maupun aksi nyata. Selama ini kita terus terjebak dalam alasan klasik, wilayah yang luas dan anggaran yang tidak tersedia. Semestinya kita berpikir sebaliknya, bahwa Aceh Besar yang luas memiliki potensi sumber daya alam yang kaya dan sangat beragam, sebenarnya kita lalai selama ini Kendatipun anggaran pembangunan kecil, semestinya tidak akan menjadi kendala bagi Aceh Besar, kalua kita mampu memanfaatkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dengan berbagai jaringan yang dimilikinya untuk menggali berbagai sumber daya sehingga dapat berkontribusi pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Aceh Besar dan tentunyan akan memiliki dampak yang sangat positif terhadap kebijakan fiskal kabupaten ini.
Generasi politik 2020 harus mampu membangun suasana, pemikiran dan perilaku politik pembangunan dengan menyiapkan rencana dan program strategis agar mampu mengelola segala potensi alam dan manusia yang tersedia di Aceh Besar.
Jantho Sebagai ibukota dapat dikembangkan menjadi kota peradaban baru Aceh dengan fokus pengembangan pusat pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan agro-wisata. Masa kepemimpinan Mukhlis Basyah telah mampu memulai rencana yang luar biasa ini dengan berdirinya Institute Seni dan Budaya Indonesia (ISBI), dan mudah-mudahan di masa kepemimpinan Mawardi Insitut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) berhasil didirikan. Selanjutnya dapat dikembangkan 2-3 universitas, lakukan kerjasama dengan beberapa universitas terkemuka dunia yang fokus pada pengetahuan Islam, teknologi dan telekomunikasi agar dapat berinvestasi. Begitu pula kesehatan, semestinya Jantho dapat dibangun Rumah Sakit berstandar Internasional, mengingat ramainya warga Indonesia yang berobat ke Malaysia sehingga Jika Jantho memiliki fasilitas demikian maka “multiple affect player” akan berlangsung. Apalagi infrastruktur sudah sangat mendukung, airpoirt dan jalan tol menuju Jantho sudah siap dibangun. Begitu pula dengan pengembangan pusat agro-wisata dan sport centre. Terpenting sektor-sektor tersebut dapat menjadi alasan bagi datangnya pengunjung (visitor) ke kota Jantho.
Untuk pusat kegiatan ekonomi, kita memiliki Pasar Lambaro, dimana saat ini telah menjadi pasar hub-regional untuk Aceh Besar, Banda Aceh dan Sabang. Maka, pemerintah perlu mengembangkan pasar sekitar untuk mengumpulkan produk-produk masyarakat, misalnya jalur barat ada pasar ketapang, Ajun-Bradeun yang selanjutnya didukung oleh Pasar Lhoong. Begitu pula jalur utara ada Aneuk Galong-Sibreh-Samahani-Indrapuri-Seulimum dan Saree. Sedangkan jalur timur Peukan Ateuk, Sp Tungkop dan Baitussalam-Krueng Raya. Jadi, Disperindagkop Aceh Besar dapat memastikan “Supply and Demand” di Pasar regional Lambaro Kaphee sehingga mendorong Dinas lainnya agar mengembangkan program sesuai dengan permintaan pasar. Jika langkah ini dilakukan maka petani, nelayan dan pelaku UMKM lainnya dapat tumbuh, sehingga PAD Aceh Besar meningkat di sektor ril.
Untuk itu, politik pertanian mestilah dikembangkan secara lebih strategis dan dijalankan secara serius, sistematis dan terintegrasi. Pertimbangannya 72 % warga Aceh Besar adalah petani, nelayan dan peternak, sehingga konsesntrasi program pembangunan ekonomi semestinya agribisnis. Selain ketersediaan lahan yang luas, ketersediaan air pun cukup dan bahkan lebih. Jadi sarana prasarana agar Aceh Besar menjadi penghasil produk pangan dan hortikultura sangat besar. Untuk itu, perlu dipastikan waduk, embung dan irigasi dibangun dan dirawat, perlu dikuatkan penyuluh pertanian, dioptimalkan balai benih, pupuk dan teknologi agar produksi meningkat dan berkualitas. Pemulihan tanah yang rusak menjadi prioritas, karena pengaruh plastik dan soda selama ini telah ikut menurunkan produksi dan kualitas produk.
Ketersediaan lahan cukup luas, dapat kita bayangkan Aceh Besar memiliki lahan persawahan 25,000 ha, maka lahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memproduksi padi, jagung dan kedelai (Pajale). Begitu pula lahan untuk hortikultura, perbukitan bukit barisan dan pegunungan seulawah, Lhoknga dan peukan bada merupakan potensi penghasil produk horti dan rempah-rempah. Status lahan seperti dikuasai oleh perusahaan dengan dalih Hutan Tanaman Industri (HTI) selama ini terbukti tidak bermanfaat bagi petani sehingga kawasan tersebut ikut menyumbang kemiskinan.
Tantangan 2020 adalah merebaknya wabah Covid-19, meskipun demikian bukan berarti alasan bagi kita untuk tidak membangun. Situasi ini perlu dikelola dengan baik, dan bahkan dapat kita jadikan semangat dan momentum untuk mempersiapkan dan membangun masa depan Aceh Besar yang terencana dan berkelanjutan.
Rencana dan Program strategis 2020-2040 dapat disiapkan agar generasi politik 2020 Aceh Besar dapat mereorintasikan arah pembangunan Aceh Besar, perlu mempersiapkan satu generasi emas (20 tahun) untuk mewujudkan Aceh Besar sebagai kota baru Aceh di masa depan, maka yakinlah atas niat, rencana, kerja dan doa, Allah memberikan segala kemudahan bagi warga Aceh Besar. Seulamat Ulang tahun Kota Jantho ke-36.