Oleh Halim Abe
Pertarungan yang sesungguhnya ketika pemanggul senjata menggenggam pena. Permasalahan konflik regulasi terus terjadi pasca penanda tanganan nota kesepahaman antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, konflik regulasi yang tidak berkesudahan sejak lahirnya kekhususan Aceh seakan-akan menjadi pilihan satu-satunya untuk menyalurkan libido liar kedua belah pihak setelah berakhirnya konflik bersenjata.
Bersedianya GAM menempuh jalur politik praktis sebagai jalan damai penyelesaian konflik aceh menjadi tantangan tersendiri bagi mantan kombatan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan pola fikir yang berbeda.
Kasus penetapan tapal batas Aceh hanya menjadi salah satu diantara kasus-kasus lainnya yang akan terus terulang di masa yang akan datang bila semua komponen yang berkepentingan di Aceh tidak membangun kesadaran bersama.
Ada beberapa faktor penyebab kasus semacam ini terus terjadi tanpa penyelesaian:
Pertama Pemerintah Aceh.
Para birokrat dalam Pemerintah Aceh kurang memahami arti penting perundingan damai yang menjadi cikal bakal lahirnya kekhususan Aceh.
“Ureueng nyan ka meudarah-gapah ngen peukateun awai,” mereka sudah menempati post-post penting di pemerintahan jauh sebelum perdamaian antara GAM dan RI terjadi, jadi wajar bila mereka “kewalahan” untuk keluar dari pola lama yang terbiasa mengadopsi konsep copy paste dalam menjalankan administrasi pemerintah.
Perangkat kerja pemerintah Aceh harus memiliki komitmen yang jelas dalam semua aspek pelaksanaan kewenangan Aceh pasca damai, sehingga “Capaian keberhasilan” seperti yang dibanggakan Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Aceh, di Banda Aceh, Rabu (10/6/2020) terkait tapal batas tidak menimbulkan polemik dan kegaduhan, kesannya selama ini kekhususan Aceh hanya menjadi penghias konsideran di lembaran kerja pemerintah daerah, tanpa memahami isi yang terkandung di dalamnya.
Sosialisasi MoU dan UUPA harus difokuskan kepada para pengambil kebijakan di Aceh, bukan hanya kepada masyarakat awam yang sesungguhnya tidak punya kapasitas hukum untuk menjalankannya.
Kedua Pemerintah Pusat.
Pasca periode kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir, Pemerintah pusat terkesan seperti tidak mempunyai kepentingan lagi dengan MoU Helsinki, indikasi tersebut terlihat dari pembiaran lahirnya product hukum yang selalu bertentangan dengan butir-butir MoU Helsinki, amanah UUPA yang mewajibkan kordinasi dengan DPRA dalam setiap pengambilan keputusan juga terabaikan.
Kehadiran tokoh-tokoh muda yang menempati posisi-posisi strategis dalam kabinet pemerintah serta banyaknya badut politik yang lolos ke Senayan juga menjadi faktor pendukung terjadinya konflik regulasi di daerah-daerah yang mempunyai kewenangan khusus.
Sebenarnya keberadaan Forbers DPR-RI dan DPD-RI dapil Aceh bisa berperan untuk mengawal kekhususan Aceh di tingkat pusat sebelum pemerintah mengeluarkan aturan-aturan yang bertentangan dengan kewenangan Aceh.
Garis kordinasi antara Forbers, Pemerintah Aceh dan DPRA tidak boleh terputus, bek sabe pura-pura teukeujot lheuh kejadian.
Ketiga Eksistensi GAM
Pasca berakhirnya tugas Aceh monitoring mission (AMM) pada 15 Desember 2006 dan masa pemantauan International peace building alliance (Interpeace) di Aceh, eksistensi GAM sebagai salah satu stakeholder perdamaian seperti kehilangan gaung di tingkat internasional, mereka menganggap persoalan antara RI dan GAM telah selesai dengan baik, karena target interpeace bekerja di Aceh sampai tidak ada lagi gesekan-gesekan yang menghancurkan perdamaian seperti yang di katakan Farid Husein (Konsultan Indonesia). Artinya ketika tugas AMM dan pemantauan yang dilakukan interpeace berakhir tanpa adanya laporan-laporan terjadinya gesekan, maka persoalan Aceh selesai, Aceh is finished.
Mengacu pada hal tersebut, GAM sebagai organisasi (Bukan atas nama KPA) harus hadir dalam setiap persoalan yang berkaitan dengan politik, hukum dan keamanan di Aceh.
Bek sabe goeb maen bola siblah lapangan, wate tandeng sabe hana troh tanyoe.
Ketua AMM Peter Feith di hari terakhir tugasnya berharap proses reintegrasi menemukan integritasnya, “jika semuanya sudah membaik, saya pikir tidak perlu lagi lembaga monitor, tapi meski begitu, jika dibutuhkan maka AMM dapat membantu kembali.”
Ke-empat peran aktor politik Aceh
Aktor-aktor politik yang perduli dengan MoU dan UUPA ka meuhi gameum, Hana meu’oeh le cara peubuet.
Secara personal, kemampuan aktor-aktor politik di Aceh beretorika dan membangun narasi-narasi cemerlang memang patut kita acungi jempol, Sayangnya energi-energi positif tersebut masih tersumbat pada titik yang bernama wacana.
Hampir tidak terlihat tindakan secara kolektif untuk menterjemahkan ide-ide tersebut dalam bentuk kerja-kerja yang lebih konkrit, inisiatif-inisiatif personal tersebut yang seharusnya segera di tindak lanjuti secara kolektif oleh para pihak dan lembaga-lembaga pemerintah yang berkompeten, agar ekspektasi perubahan dari masyarakat Aceh pasca damai tidak menjadi bola salju yang bisa merusak tatanan hukum di Aceh.
Menurut saya ada solusi sederhana yang bisa kita jadikan langkah awal penyelesaian kewenangan Aceh secara hukum, 81 orang perwakilan partai di DPRA harus membangun konsolidasi politik, karena DPRA sebagai representatif rakyat Aceh mempunyai tanggungjawab bersama terhadap Aceh. DPRA harus berada di garda terdepan dalam mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang bertentangan dengan kewenangan Aceh. Terlepas dari perbedaan warna dan atribut, saya yakin individu-individu di DPRA juga punya semangat yang sama untuk mewujudkan sesuatu yang terbaik buat Aceh.
Semangat tersebut yang harus disatukan, tinggalkan perbedaan warna untuk menyamakan persepsi, Kesadaran kolektif akan menjadi formula terbaik dalam proses mewujudkan kedaulatan hukum di Aceh. Kepentingan dan Keterlibatan semua pihak di legislatif Aceh dalam menentukan skala prioritas menjadi mutlak sebagai nilai tawar agar pemerintah pusat bersikap lebih fleksibel terhadap permasalahan Aceh.
Bek siblah tarek u lhok, tujoh ploh tarek u cot.
Kita berharap dengan timbulnya kesadaran dan tanggungjawab bersama di internal lembaga legislatif Aceh, menjadi langkah lanjutan mempercepat lahirnya resolusi-resolusi terbaik untuk mewujudkan keinginan semua pihak, sehingga kekhususan Aceh yang telah diperjuangkan GAM dan disepakati bersama pemerintah pusat menjadi pintu masuk menuju kesejahteraan.
Penulis adalah penikmat kopi serta pemerhati sejarah konflik Aceh.