Lhokseumawe – Sudah satu Minggu lebih pengungsi etnis Rohingya menginap di posko penampungan sementara di Kota Lhokseumawe, Aceh. Impian para manusia perahu itu adalah menuju ke Negara Malaysia, namun di tengah perjalanan kapalnya rusak dan terombang-ambing.
Mereka telah melakukan perjalanan selama empat bulan, dengan menggunakan kapal yang berukuran kecil dan nekat menjelajah ke perairan Selat Malaka. Banyak hal yang telah dihadapi para etnis Rohingya itu selama di perjalanan. Mulai dari kekurangan makanan, minuman, serta kapal yang telah rusak dan tenggelam. Bukan hanya itu saja, bahkan berdasarkan kabar yang diperoleh, ada yang meninggal saat dalam perjalanan di tengah laut sebanyak 15 orang.
Tepatnya pada Hari Senin, 22 Juni 2020, sekitar pukul 17.00 WIB, nelayan Aceh Utara mendapatkan kabar tentang keberadaan etnis Rohingya, dengan jarak 80 mil dari bibir pantai Seunuddon.
Panglima Laot (struktur adat di kalangan nelayan Aceh) M Hasan mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pawang, kapal yang ditumpangi oleh warga Rohingya itu berukuran 10 Gross Tonnage (GT) dan kondisinya telah tenggelam.
“Jadi awalnya ada kapal nelayan dari Kecamatan Lapang, Aceh Utara, memberitahukan kepada pawang saya, bahwa ada kapal yang tenggelam di jarak 80 mil dari bibir pantai Seunuddon, maka dia langsung ke lokasi,” ujar M Hasan belum lama ini kepada Tagar.
Ketika berada di lokasi, maka dirinya melihat kondisi kapal yang sudah tenggelam sebagian, sehingga puluhan orang berada di atap kapal untuk menyelamatkan diri, lalu anak-anak kecil dipangku agar kondisinya tidak tenggelam di tengah laut itu.
Saat nelayan Aceh Utara mulai merapat ke lokasi, maka terdengar jeritan dan tangisan meminta pertolongan, agar para manusia perahu tersebut tidak tenggelam ke dasar lautan. Tanpa berpikir panjang, maka etnis Rohingya itu langsung dievakuasi ke kapal nelayan setempat.
“Setelah dilakukan evakuasi, maka rencananya akan dibawa ke wilayah Seunuddon. Namun ketika perjalanan tiba di sekitar 40 mil, tiba-tiba mesin kapal mati, sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan,” tutur M Hasan.
Keesokan harinya, Selasa, 23 Juni 2020, salah seorang nelayannya pulang dan memberitahukan berita penemuan manusia perahu tersebut kepada dirinya, sehingga langsung melaporkan ke Kantor polsek setempat.
Kemudian diperintahkan untuk bergerak ke lokasi 40 mil tersebut, bersama Kapolsek dan Koramil Seunuddon, personel Marinir. Sehingga informasi tersebut bahwa benar-benar terjadinya.
Tanpa berpikir panjang, maka M Hasan langsung menjumpai tekong dan menanyakan di mana kapal tersebut diambil. Berdasarkan pengakuannya, kapal yang ditumpangi para etnis Rohingya tenggelam di jarak 80 mil.
“Saat itu kami tidak tahu bahasa mereka dan hanya berkomunikasi pakai bahasa isyarat, hanya saja mereka terlihat menangis. Bahkan selama enam hari mereka tidak makan dan minum sama sekali saat masih berada di laut,” kata M Hasan.
Dirinya menambahkan, kemudian kapal yang membawa etnis Rohingya tersebut, ditarik dengan menggunakan kapal milik Pol Airud ke wilayah Perairan Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara, Aceh.
Saat sekarang ini, sebannyak 99 etnis Rohingya tersebut telah menempati bekas kantor Imigrasi Lhokseumawe, di Desa Punteut, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe dan telah ditangani dengan baik.
Negara ASEAN Harus Bertindak
Perhimpunann Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) di desak untuk segera bertindak untuk mengakhiri konflik terhadap warga Rohingya di Negara Myanmar, sehingga tidak ada lagi yang terdampar lagi perairan Selat Malaka.
Sekretaris Integrity Masriadi Sambo mengatakan, apabila hal tersebut tidak segera dilakukan, maka nantinya para warga Rohingya tersebut, akan terus mencari tempat-tempat perlindungan yang aman.
“Coba bayangkan saja, terdamparnya mereka ke wilayah Aceh bukan hal yang baru dan bahkan sudah cukup sering, jumlahnya juga tidak sedikit. Maka negara-negara ASEAN perlu bertindak terhadap persoalan ini,” tutur Masriadi.
Masriadi menambahkan, dirinya juga mendesak aparat keamanan agar lebih memperketat penjagaan di lokasi penampungan para manusia perahu itu, mengingat sangat berpotensi melarikan diri.
Apabila melihat pengalaman-pengalaman yang terjadi sebelumnya, maka ada pihak-pihak tertentu yang menjemput para etnis Rohingya tersebut dan melarikan diri dari lokasi penampungan.
“Kami belajar pengalaman yang lalu, di mana mereka secara umum lebih banyak yang melarikan diri dari lokasi penampungan. Maka kami berharap agar nantinya peristiwa-peristiwa ini tidak terulang kembali,” kata Masriadi.
Perkuat Penjagaan Laut
Pemerintah Republik Indonesia harus memperkuat sistem pengamanan di laut, sehingga setiap pendatang ilegal atau tidak resmi, tidak sembarangan bisa masuk ke wilayah perairan Indonesia.
Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Abdul Gani Haitamy mengatakan, kapal-kapal yang ditumpangi oleh etnis Rohingya saja bisa masuk ke wilayah Indonesia, apalagi dengan kapal-kapal canggih milik negara lain.
“Seharusnya etnis Rohingya tidak boleh masuk ke wilayah Indonesia, karena tidak ada satu negara pun yang membolehkan izin masuk bagi pendatang ilegal, sehingga segala kebutuhan logistik dan penyelesaiannya harus dilakukan di tengah laut,” kata Abdul Gani.
Tambahnya, untuk persoalan kemanusian memang lebih baik mereka ditampung sementara di darat, namun apabila ditinjau secara hukum maka kedaulatan Negara Indonesia menjadi lemah.
Saat ini karena telah ditarik ke darat dan diberikan tempat penampungan, maka pihak United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) harus segera mencari negara ketiga, yang bersedia menampung manusia perahu itu.
“Menurut saya, ini harus segera dicarikan negara ketiga yang bersedia menampung para etnis Rohingya tersebut. Sehingga persoalan ini bisa segera diselesaikan dengan baik,” kata Abdul Gani.
Perempuan Rohingya Menikah Usia Dini
Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Lhokseumawe, mendorong pemerintah Aceh agar segera melakukan pemulihan trauma bagi perempuan dan anak-anak pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh.
Ketua PMI Kota Lhokseumawe Junaidi Yahya mengatakan, secara umum mereka mengalami trauma mulai dari Myanmar, hingga melakukan perjalanan saat di kapal. Apalagi telah berbulan-bulan berada di kapal dan hanya bermodal logistik yang terbatas.
Junaidi Yahya menambahkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) terhadap perempuan Rohingya, yang terdampar di penampungan India, Malaysia dan Indonesia.
Maka menunjukkan bahwa, ada sekitar 60 persen perempuan tersebut terpaksa menikah dalam usia dini sebelum usia 16 dan 17 tahun. Sehingga pengantin anak-anak itu, disinyalir sebagai korban perdangangan manusia.
“Makanya program untuk pemulihan trauma itu penting untuk segera dilakukan, mengingat berbagai peristiwa yang telah dialami. Apalagi selama berada di kapal, mereka tidak mengalami suasana yang nyaman,” tutur Junaidi Yahya.
Tambahnya, terhitung sejak bulan Agustus tahun 2017, maka lebih dari 740.000 warga Rohingya telah meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, karena mengalami kekerasan secara brutal.
“Pengungsi Rohingya memiliki hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat, namun Pemerintah tidak diperbolehkan melakukan pemulangan kecuali hal tersebut berlangsung aman, sukarela, berkelanjutan dan bermartabat bagi para pengungsi Rohingya,” tutur Junaidi Yahya. []