Oleh Septian Fatianda, S. Hum
Sebuah tragedi kemanusiaan kembali menggemparkan masyarakat dunia, dimana Aceh sebagai salah satu provinsi di Indonesia seolah tidak habis-habisnya menjadi sorotan. Kasus terbaru ialah sebuah aksi heroik dari masyarakat Aceh yang telah menyelamatkan puluhan pengungsi dari etnis Rohingya yang telah lama terombang ambing di lautan tanpa adanya bantuan dari pihak manapun sebelumnya.
Aksi kemanusiaan ini bermula ketika sekelompok nelayan lokal menemukan para pengungsi Rohingya ini pada hari Rabu (24/6/2020) dengan kondisi kapal yang hampir karam berlokasi di laut lepas sekitar 4 mil dari pesisir pantai Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara. Melihat kondisi para pengungsi yang sudah sangat mengkhawatirkan tersebut nelayan lokal ini tergugah rasa kemanusiaannya lalu mengevakuasi para pengungsi untuk dimasukkan kedalam kapal mereka untuk selanjutnya dibawa ke daratan agar mendapat pertolongan lebih lanjut.
Awalnya puluhan warga etnis Rohingnya ini sempat ditolak untuk dievakuasi ke daratan oleh Pemerintah karena dianggap sebagai pengungsi ilegal apalagi ditakutkan mereka bisa saja membawa dan menularkan virus corona ke masyarakat Aceh. Namun ketakutan-ketakutan seperti ini seketika dikalahkan oleh rasa kemanusiaan masyarakat Aceh yang sangat peduli dengan nasib sesama manusia apalagi sesama umat muslim Rohingya. Akibat pelarangan ini masyarakat di kawasan pantai Lancok, Aceh Utara melakukan aksi demo kepada pemerintah dan aparat yang berjaga di tepi pantai agar para pengungsi Rohingya segera dievakuasi ke daratan untuk diberi pertolongan. Setelah didesak oleh masyarakat akhirnya Pemerintah Kabupaten Aceh Utara melakukan evakuasi terhadap para pengungsi internasional tersebut setelah berkoordinasi dengan lembaga PBB yang bergerak di bidang penanganan pengungsi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).
Para pengungsi Rohingya ini berjumlah 99 orang yang mayoritas perempuan dan anak-anak dengan kondisi lemas karena kekurangan makanan dan minuman selama di lautan. Selanjutnya mereka dievakuasi dan ditempatkan sementara waktu di gedung bekas kantor Imigrasi Punteut, Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. Selama di tempat pengungsian para pengungsi ini ditampung oleh Pemerintah dengan menyediakan makanan, minuman, dan juga obat-obatan. Tak hanya itu masyarakat Aceh yang berada di sekitar lokasi pun turut serta membantu memberikan makanan kepada warga etnis Rohingya ini.
Fenomena ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Aceh melainkan sudah cukup banyak pengungsi yang merupakan warga etnis Rohingya Myanmar ini yang telah diselamatkan oleh Pemeritah dan masyarakat Aceh. Sebelumnya pada bulan April 2018 para pengungsi Rohingya yang terdampar dilautan juga diselamatkan oleh warga di pantai Kuala Raja, Bireuen dan ditempatkan di barak pengungsian namun kemudian setelah lama tinggal di pengungsiaan mereka kabur melarikan diri. Begitu juga pada bulan desember 2019 lalu dimana sebanyak 20 warga etnis Rohingga yang lari dari negara asalnya dan terombang-ambing dilautan kemudian diselamatkan dan ditampung oleh Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Aceh.
Melihat kondisi etnis Rohingya yang selalu mengungsi ke negara lain dalam beberapa tahun belakangan ini kita patut iba dengan nasib mereka yang di daerah asalnya sendiri di Rakhine, Myanmar. Mereka diperlakukan secara diskriminatif dan semakin hari semakin terpinggirkan. Ada begitu banyak tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar terhadap etnis yang menjadi minoritas di negara Burma tersebut. Mulai dari aksi penangkapan secara sewenang-wenang, perbudakan, pemerkosaan, pembantaian, pembakaran secara hidup-hidup, larangan beribadah, hingga pengusiran secara paksa. Hal inilah yang menyebabkan banyak dari warga etnis Rohingya yang lari untuk mengungsi ke negara lain dengan harapan mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Sayangnya saat ingin berlabuh ke negara lain etnis Rohingya ini selalu ditolak kedatangannya dengan berbagai alasan khususnya oleh negara-negara di ASEAN dan Asia Selatan.
Beda ceritanya dengan Aceh yang dikenal sebagai Provinsi termiskin nomor satu di Sumatra dan nomor enam di Indonesia namun mau dan sangat terbuka menerima para pengungsi etnis Rohingnya untuk dibantu keberlangsungan hidup mereka. Hal ini secara tidak langsung telah membuktikan kepada dunia bahwa Aceh yang bahkan sering dicap sebagai daerah yang “radikal” dan “terbelakang” akan tetapi sangat peduli terhadap isu-isu kemanusiaan. Sontak saja ini hal ini sangat mengejutkan publik dunia hingga banyak media asing yang menyoroti aksi kemanusiaan yang dilakukan oleh masyarakat kabupaten Aceh Utara ini. Begitupun dengan media sosial twiter dimana tagar ‘Aceh’ sempat menduduki trending topik di Indonesia.
Melalui peristiwa ini kita bisa melihat bahwa para elit dan pemangku kebijakan dunia seakan “tersentil”. Dimana mereka yang dalam setiap slogan dan kampanyenya selalu mengagung-agungkan bahwa isu kemanusiaan harus selalu diutamakan diatas kepentingan lainnya. Namun yang terjadi seakan berbeda 180 derajat, para pemangku kebijakan dunia ini khususnya di Komisi Hak Asasi Manusia PBB terlihat sering bungkam dan lambat bergerak dalam menangani nasib etnis Rohingya yang sudah bertahun-tahun diperlakukan secara tidak manusiawi oleh Pemerintah Myanmar.
Menilik lebih jauh ternyata tindakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh ototitas militer Myanmar ini juga disponsori oleh negara Tiongkok yang dalam keanggotaan PBB memiliki posisi sentral sebagai salah satu dari lima negara pemegang hak veto bersamaan dengan negara Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan Perancis. Kilima negara besar tersebut yang penulis maksud sebagai penentu setiap kebijakan dunia. Dengan demikian cukup jelas bahwa “kampanye kemanusiaan” yang selalu digencarkan tersebut hanyalah sebagai sebuah “gimik” mereka dalam menarik simpati masyarakat dunia.
Melalui kajian ini penulis mengumbarkan tesis kepada publik terkait dengan posisi negara-negara pemiliki hak veto PBB tersebut yang sering dibanggakan bahkan menjadi arah kiblat terhadap penanganan isu-isu kemanusiaan dunia. Mereka terkesan terlalu banyak bicara dan sangat kurang terhadap aksi nyata. Namun kita patut berbangga dengan Aceh yang hanya daerah kecil bahkan tidak mempunyai kekuatan politik besar dalam tatanan global akan tetapi sangat tinggi tingkat kepeduliannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tidak mencengagkan pula jika Aceh harus menjadi kiblat bagi dunia untuk belajar akan ketulusan dalam menghadapi problematika kemanusiaan.
Oleh sebab itu dengan segala tragedi kemanusiaan yang telah menimpa etnis Rohingya dan etnis-etnis lain di dunia ini, Sudah saatnya kekuatan kemanusiaan global tidak boleh dibungkus oleh kepentingan politik global karena hal ini sangat membahayakan keberlangsungan hidup masyarakat dunia.
Penulis adalah alumnus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry & Siswa Sekolah Kita Menulis. Email: septianfatianda@gmail.com.