Oleh Farah Salsabila
“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) karena pembahasanya agak sulit” (Marwan Dasopang wakil ketua komisi VIII DPR)
Peryataan di atas adalah sepenggal dari polemik terkait Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) di tanah air. Kembali menjadi persoalan RUU-PKS diusulkan ditarik dari daftar Program Legislasi Nasional (Proglegnas) prioritas 2020 dan dialihkan ke tahun 2021. Hal ini menjadi suatu persoalan besar mengingat semakin tingginnya lonjakan kasus kekerasan seksual di Indonesia dengan berbagai motifnya.
Sudah kesekian kali penundaan terkait RUU-PKS ini ditunda, RUU ini diajukan sejak tahun 2017 namun sampai saat ini belum ada titik temu juga, masih ditunda dengan berbagai alasan. Penundaan pembahasan RUU-PKS memiliki dampak yang mengkhawatirkan untuk masyarakat terkhususnya perempuan, mengapa demikian?
Perempuan yang sering menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual, menurut data dari Komnas perempuan lonjakan kasus korban kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu 12 tahun, meningkat sebanyak 792% (hampir 800%). Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun terakhir meningkat hampir 8 kali lipat. Sepanjang tahun 2019 telah ada laporan kasus kekerasan sekitar 431,471 kasus kekerasan. Jumlah kasus kekerasan 2019 naik 6 persen dari tahun 2018.
Dari data tersebut di atas dapat disimpulkan bagaimana meraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, masih menganggap hal ini tidak penting? Sampai saat ini perlindungan terhadap korban kekerasan seksual masih sulit untuk memperoleh perlindungan melalui aspek penanganan kasus dan pemulihan, melihat berbagai kasus kekerasan seksual yang terus terjadi sayangnya sampai saat ini tidak adanya intervensi yang berarti dari negara.
Peraturan kekerasan seksual pun tidak diatur secara menyeluruh, peraturan tentang kekerasan seksual yang diatur pada KUHP hanya terbatas, secara garis besar hanya mengatur tentang pemerkosaan dan pencabulan. Peraturan yang tersedia ini pun belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap korban. Perlindungan terhadap korban dan akses pendampingan terhadap korban kekerasan seksual menjadi prioritas, namun akses perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang sangat minim membuat para korban enggan untuk melapor. Jika dilihat dari laporan tahunan LSK 2019 korban kekerasan seksual yang terlindungi hanya 507 orang.
Pengaturan akan hak-hak korban hanya diatur dengan UU tertentu seperti, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak dan Korban dan UU Perlindungan Saksi dan Korban, pengaturan ini hanya mengatur secara spesifik untuk korban tindak pidana yang dimaksud dalam UU tersebut. Tidak adanya ketentuan dasar dan khusus untuk menjamin bahwa hak korban akan terpenuhi dan diwujudkan untuk semua korban kekerasan seksual, termasuk yang diatur dalam KUHP.
Pada posisi saat ini korban kekerasan seksual sering mendapatkan stigma dan perlakuan tidak adil dari masyarakat, persoalan ini lah yang sering membuat korban kekerasan seksual enggan untuk melapor, para korban merasa takut terhadap stigma masyarakat yang akan kembali menyalahkannya atas perlakuan pelaku terhadap korban. Padahal hal ini sangat berdampak pada psikolog korban yang seharusnya membutuhkan penanganan dan respon yang serius. Pencegahan dan penanganan terhadap korban kekerasan seksual harus dilakukan secara optimal.
Anggapan publik yang sebagian besar masih menggunakan paradikma patriarki membuat para perempuan sering sekali dipandang lemah dan tidak didengarkan padahal hal itu berdampak bagi perempuan. Stigma masyarakat yang sering reviktimisasi terhadap perempuan korban kekerasan seksual membuat para korban makin enggan untuk menyuarakan persoalannya. Seharusnnya dalam keadaan seperti ini harus ada produk hukum yang dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual, namun apa boleh buat DPR-RI yang sepertinya tidak mengerti apa yang dibutuhkan masyarakat seperti buta dengan banyaknya kasus yang begitu merak dengan persoalan ini.
Jika payung hukum RUU-PKS tidak efektif dibuat oleh DPR-RI, maka di sinilah dibutuhkan dorongan dari bawah, DPRD untuk menciptakan produk hukum yang yang seirama dengan RUU-PKS. Misalnya berkaca dari kasus di Aceh, dapat dipahami bahwa dalam persoalan kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan Aceh juga tampak mengkhawatirkan menurut data kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dirilis Pusat Perlayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Aceh (P2TP2A) mencatat 1376 kasus pada tahun 2018. 1044 kasus pada tahun 2019, serta di pertengahan tahun 2020 sudah 379 kasus. Jumlah kasus sedemikian menampilkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di Aceh harus dipandang sebagai persoalan yang genting dan patut disikapi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Mencermati tarik-ulur hukum diatas dapat di pahami bahwa bangsa kita ini masih gemar bermain main dengan waktu dalam proses penciptaan payung hukum, apakah itu karna tarik-ulur kepentingan di dalamnya atau kegagapan para wakil rakyat dalam memenuhi kebutuhan bangsa. Terlepas dari itu semua rakyat semestinya tidak dibingungkan oleh wakilnya sendiri karna persoalan wakil rakyatnya yang terlalu asyik dan nyaman dalam menciptakan produk hukum yang tak tahu kemana arahnya. Disinilah sepatutnya kita sebagai warga negara tidak boleh berhenti untuk mengawal kinerja wakil rakyat kita. Atas dasar kawalan warga negara inilah kita dapat menemukan esensi demokrasi Indonesia yang sesungguhnya.
Penulis adalah mahasiswi Fakultas Hukum Unsyiah & Siswa Sekolah Kita Menulis