JAKARTA — Puluhan penyair akan ikut serta dalam pembuatan Antologi Puisi Bunga Rampai Puisi Indonesia. Antologi tersebut akan diberi judul Jakarta seperti Belanda, yang diambil dari salah satu naskah peserta, yakni puisi Fikar W. Eda.
“Ingatan kolektif kolegial terkait Aceh, rasanya perlu diperkuat dengan berbagai macam tindakan. Baik berupa opini, esai atau tulisan bersifat cerpen dan novel. Ingatan ini harus mampu merujuk berbagai kejadian di suatu tempat dalam satu waktu berbeda,” kata inisiator pembuatan buku ini, Pilo Poly, Kamis, 7 Agustus 2020.
Pilo yang merupakan penyair Aceh kelahiran Pidie Jaya itu mengatakan, ide awal pembuatan antologi puisi tersebut untuk mengumpulkan sejumlah syair dalam rentang waktu sejak masa konflik, hingga perdamaian yang ditulis oleh berbagai penyair dari seluruh indonesia.
Menurut lelaki bernama lengkap Saifullah S itu, penyair adalah pencatat yang baik. Mereka menuliskan berbagai banyak persoalan di berbagai tempat dan waktu berbeda, termasuk menulis puisi tentang Aceh dan berbagai masalah yang dihadapinya baik pada saat masa lalu atau masa kini.
“Buku ini, tentu saja tidak dimaksudkan untuk mengecilkan atau pun membesarkan pihak manapun. Namun bertujuan guna memugar sejarah di suatu tempat dari beberapa waktu yang telah lalu, bahkan saat Aceh sudah masuk dalam masa damai ini,” jelas dia.
Apalagi, tambah penulis buku Arakundoe itu, buku itu juga dibuat untuk menyambut 15 Tahun Perdamaian Aceh pada 15 Agustus 2020 nanti. Sebagaimana diketahui, setelah Tsunami meluluhlantakkan Aceh, beberapa bulan berikutnya, pertikaian antara RI-GAM masuk pada masa perdamaian, hingga melahirkan kesepakatan Helsinki yang ditandatangani kedua belah pihak di Helsinski, Finlandia, 5 Agustus 2005.
“Kita bahagia dengan kesepakatan damai itu. Dengan perdamaian, karena mampu menggerakkan masyarakat. Ekonomi jadi tumbuh. Masyarakat pun tidak lagi was-was untuk keluar malam, misalnya,” kata Pilo, yang pernah menerima beasiswa Tempo Institute angkatan IV tahun 2017.
Diharapakan, antologi Bungai Rampai Puisi Indonesia tersebut dapat menjadi bahan untuk melihat jatuh bangunnya Aceh dari masa 1989 hingga 2005 pasca penandatanganan Momerendum of Understanding (MoU) antara RI-GAM hingga melahirkan perdamaian.
Adapun penyiar yang ikut serta dari seluruh Indonesia antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Zawawi Imron, Fikar W. Eda, LK. Ara, Nasir Djamil, Isbedy Stiawan ZS, Rida K. Liamsi, Ahmadun Yosi Herfanda, Fakhrunnas MA Jabbar, Salman Yoga, Husnu Abadi, Sulaiman Juned, Ayi Jufridar, Arafat Nur, Syarifuddin Arifin, Hasbi Burman, Herman RN, Ihan Sunrise, Putra Gara, Teuku Dadek, dll.