Sampai hari ini tidak ada satupun wakil rakyat, pemimpin kota dan daerah yang membela nyata Darussalam. Jika hanya dengan seekor kejahilan rektor mereka takluk, jangan harap mereka bisa berbuat banyak untuk hal lain demi kepentingan rakyat.
Membela Darussalam dari tangan jahil dan kesewenang-wenangan elit kampus Darussalam adalah membela jeritan hening orang tua sesepuh Darussalam, mereka tak mampu lagi bersuara, tenaga pun hanya tersisa untuk berdoa.
Tapi kini, jangankan pemimpin yang dipilih rakyat hingga hidup mapan dari pajak rakyat, para pemuda, dosen dan elit kampus Darussalam, masih bertenaga dan punya kuasa membela kini tak berdaya. Mereka diam seribu bahasa melihat kezaliman di depan mata. Jalan umum ditutup, mempersulit umat beribadat dan silaturrahim di Masjid Fathun Mubin yang legendaris, menjadi tempat hajat hidup orang banyak ini.
Seumur hidup saya tinggal di kawasan ini, masa-masa kecil saya habiskan di Masjid ini sehingga punya ikatan emosional yang kuat dengan Masjid ini, jalan ini juga setiap hari saya lalui sehari-hari sejak puluhan tahun lalu.
Masjid ini dulu termasuk Masjid yang pertama di kawasan Darussalam, dulu diselenggarakan Jum’at, shafnya sampai ke jalan, air sumurnya dianggap “keramat” tidak pernah kering dan sangat bersih sehingga menjadi tumpuan warga, dan sampai sekarang masih jadi tempat singgah utama para mahasiswa khususnya warga dan pedagang sekitar, dan mahasiswa pasca sarjana.
Ciri berkahnya Masjid ini. Tapi sekarang umat dihalang-halangi dan dipersulit aksesnya oleh Iblis berdasi dengan membangun pagar tembok di jalan umum depan Masjid ini.
Pernah saat Masjid ini mau dibongkar oleh rektor Unsyiah, ramai-ramai tokoh sesepuh Darussalam mendatangi kantor rektor tanpa protokoler dan meminta jangan dibongkar karena nilai sejarah dan manfaat Masjid ini sangat besar. Akhirnya Masjid ini selamat dari pembongkaran berkat perjuangan orang-orang tua sepuh bukan oleh dosen-dosen muda yang nyalinya seupil itu.
Sekarang para sesepuh sudah renta dan suaranya disepelekan oleh tuan Rektor. Bahkan kepala desa pun dihina oleh tuan rektor. Hebatnya para pemuda kampus, dosen masih punya tenaga dan menetap di kampus ini diam seribu bahasa orang tua kita dihina, harga dirinya diinjak-injak. Nafsi-nafsi katanya.
Mungkin karena mereka tidak punya rasa memiliki dan tidak pernah shalat disini, tidak punya naluri mencintai Masjid. Inilah wajah topeng-topeng intelektual masa kini. Perkataan tak sesuai aksi.
Hanya melawan pagar dua ratus senti saja tak berdaya, sembunyi dibelakang meja apalagi menghadapi penjajah sesungguhnya, mungkin merrka memilih kabur atau lebih baik dikubur saja.
Menyelamatkan Darussalam dari kerakusan segelintir oknum akademisi jauh lebih penting dari pada tujuan meraih akreditasi. Karena keberkahan dan terpeliharanya silaturrahim lebih berharga dibanding prestasi semu.
Semoga cepat atau lambat pagar keangkuhan ini akan roboh sebagai simbol bahwa masih ada jiwa-jiwa yang merdeka di kalangan civitas kampus Darussalam.
Penulis adalah warga Kopelma Darussalam. Nama dan alamat ada di redaksi. Tulisan ini murni opini penulis.