Jakarta – Gencatan senjata sementara antara dua faksi militer yang bertikai di Sudan gagal saat rentetan tembakan terkadi di di ibu kota Khartoum, Sabtu (18/12).
Pertempuran baru antara pasukan para jenderal yang berseteru ini pun memasuki pekan kedua usai menewaskan ratusan orang dan melukai ribuan lainnya.
Dikutip dari AFP, pada Jumat (21/4) malam, ledakan-ledakan besar yang sebelumnya mengguncang kota itu dalam beberapa hari terakhir telah mereda. Pada Sabtu (22/4) pagi, tembakan kembali terdengar.
Sebelumnya, konflik pecah pada 15 April antara pasukan yang setia kepada panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan wakilnya yang kini menjadi saingannya, Mohamed Hamdan Daglo, yang mengomandani Rapid Support Forces (RSF).
Mereka sempat bersekutu saat merebut kekuasaan dalam kudeta 2021. Namun, keduanya kini berselisih.
Tentara Nasional mengumumkan pada Jumat bahwa mereka telah “menyetujui gencatan senjata selama tiga hari” untuk momentum Idulfitri.
Gencatan itu juga telah diserukan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken sehari sebelumnya.
Daglo mengatakan dalam sebuah pernyataan ia telah “membahas krisis saat ini” dengan Guterres, dan “fokus pada gencatan senjata kemanusiaan dan melindungi pekerja kemanusiaan”.
Dua gencatan senjata 24 jam sebelumnya yang diumumkan pada awal pekan ini juga tidak dihiraukan.
Di Kota Khartoum, konflik membuat 5 juta warganya hidup dalam ketakutan di dalam rumah tanpa listrik di tengah cuaca yang panas terik selama berhari-hari.
Banyak warga sipil yang keluar rumah hanya untuk mendapatkan pasokan makanan.
“Idul Fitri seharusnya dihabiskan dengan permen dan kue-kue, dengan anak-anak yang gembira, dan orang-orang yang menyapa sanak saudara,” kata seorang warga, Sami al-Nour, kepada AFP.
Namun, yang terjadi justru “suara tembakan dan pertumpahan darah di sekeliling kami”.
Pada Jumat malam, tentara menuding RSF melakukan serangan di kota kembar Omdurman, di mana mereka membebaskan “sejumlah besar narapidana” dari sebuah penjara.
Pertempuran juga terjadi di Darfur, di mana tim medis di kota El Fasher mengaku merasa kewalahan menangani pasien dengan luka tembak. Bahkan banyak di antaranya berasal dari kalangan anak-anak.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan 413 orang terbunuh dan 3.551 lainnya terluka dalam pertempuran di hampir seluruh Sudan sejauh ini.
Namun, jumlah korban tewas sebenarnya diperkirakan lebih tinggi, dengan banyak korban luka yang tidak dapat tertolong di rumah sakit.
Lebih dari dua pertiga rumah sakit di Khartoum dan negara bagian tetangga kini “tidak beroperasi”. Rumah sakit lainnya telah dijarah, dan setidaknya empat rumah sakit di negara bagian Kordofan Utara ditembaki.
Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan kekerasan tersebut dapat menjerumuskan jutaan orang ke dalam kategori kelaparan.
Para pengamat khawatir negara-negara di seluruh wilayah tersebut berisiko terseret ke dalam konflik. Diperlukan langkah-langkah mendesak untuk menghentikan “perang saudara besar-besaran ini”.
Sebelumnya, militer menggulingkan presiden otokratis Omar al-Bashir pada April 2019 menyusul protes besar-besaran terhadap pemerintahan otoriter selama tiga dekade.
Pada Oktober 2021, Burhan dan Daglo bergabung untuk menggulingkan pemerintahan sipil yang dibentuk setelah kejatuhan Bashir, sehingga menggagalkan transisi menuju demokrasi yang didukung oleh dunia internasional.
Daglo mengatakan bahwa kudeta itu adalah “kesalahan” yang gagal membawa perubahan, sementara Burhan percaya perlu memasukkan lebih banyak kelompok ke dalam politik.