Oleh Intan Wulandari. Penulis adalah mahasiswi dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Program Studi Ilmu Politik
Gender sering kali dipahami hanya dari sudut pandang biologis laki-laki dan perempuan namun pendekatan ini terlalu sempit untuk menggambarkan keragaman manusia. Dalam lensa interseksionalitas, gender tidak hanya tentang identitas, tetapi juga bagaimana seseorang dipengaruhi oleh kombinasi faktor seperti kelas sosial, etnis, usia, agama, hingga disabilitas.
Di Aceh, misalnya, para perempuan, minoritas, dan kelompok marginal lainnya seringkali menghadapi hambatan struktural yang mempersempit akses mereka terhadap pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Padahal, keadilan sosial yang berkelanjutan membutuhkan inklusi dan keberpihakan pada kelompok rentan secara langsung kemudian kehadiran mereka sangat penting dalam membangun sebuah kebijakan.
Ketika kita berbicara tentang keadilan sosial di Aceh, kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa perempuan, terutama dari komunitas marginal, sering kali terpinggirkan. Mereka menghadapi diskriminasi ganda baik karena gender maupun faktor-faktor lain seperti status ekonomi atau latar belakang etnis. Sebagai contoh, perempuan dari keluarga kurang mampu sering kali sulit mengakses pendidikan tinggi, yang mengurangi peluang mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan sosial maupun ekonomi karna yang padahal nya jika mereka dibri akses yang mudah dapat mendukung dan memperbaiki ekonomi.
Dalam konteks ini, pemberdayaan perempuan menjadi elemen penting untuk menciptakan keadilan yang lebih luas. Pemberdayaan ini tidak hanya berarti memberi mereka akses, tetapi juga ruang untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bebas dari tekanan dan diskriminasi. Pemberdayaan perempuan menjadi kunci untuk menciptakan keadilan sosial yang lebih luas. Namun, pemberdayaan ini tidak boleh hanya berhenti pada akses pendidikan atau pekerjaan harus ada pendekatan yang komprehensif. Misalnya, perempuan dengan disabilitas sering kali menghadapi hambatan tambahan, baik berupa aksesibilitas fisik maupun stigma sosial yang menghalangi mereka untuk mendapatkan pekerjaan layak atau bahkan berpartisipasi dalam kegiatan komunitasn dan mengambil peran aktif dalam masyarakat dan mennyediakan semua kebutuhan nya yang harus sesuai.
Pendekatan interseksionalitas mengajarkan bahwa keadilan sosial tidak dapat diseragamkan. Setiap kelompok memiliki kebutuhan spesifik yang perlu dipahami secara mendalam, mulai dari anak muda hingga orang tua. Generasi Z, misalnya, memiliki keistimewaan tersendiri akses terhadap teknologi, informasi yang luas, dan semangat kerelawanan yang tinggi. Mereka kerap menjadi motor penggerak perubahan sosial, namun tantangan yang mereka hadapi tetap nyata dan signifikan. Di Aceh, remaja perempuan yang termasuk dalam kelompok Gen Z menghadapi kendala-kendala yang berbeda dibanding generasi sebelumnya. Tantangan ini meliputi keterbatasan akses terhadap pendidikan yang relevan dengan kebutuhan era digital, minimnya ruang untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduksi yang inklusif, hingga terbatasnya peluang ekonomi berbasis teknologi. Padahal, mereka memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam pembangunan sosial dan ekonomi jika diberikan akses serta kebijakan yang mendukung.
Oleh karena itu, kebijakan publik yang berlandaskan keadilan sosial harus mengakomodasi kebutuhan anak muda, khususnya perempuan dari komunitas marginal. Kebijakan ini tidak hanya harus memberi akses, tetapi juga menciptakan ruang bagi mereka untuk mengembangkan potensi dan berpartisipasi aktif sebagai agen perubahan. Mengabaikan kebutuhan mereka berarti melewatkan peluang untuk membangun masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Pendekatan seperti Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) benar-benar penting untuk memastikan bahwa semua kelompok, terutama yang rentan, punya akses setara dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas, misalnya, sering kali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan yang justru menyentuh kehidupan mereka langsung. Di sinilah generasi muda punya peran besar. Dengan energi, kreativitas, dan semangat kerelawanan yang mereka miliki, anak muda bisa jadi penggerak perubahan sosial yang membawa isu kesetaraan dan inklusi ke garis depan. Tapi, potensi mereka nggak akan maksimal tanpa dukungan. Ruang untuk berkontribusi dan kebijakan yang mendukung perlu disediakan.
Keterlibatan anak muda ini seharusnya diarahkan ke upaya nyata, seperti advokasi berbasis komunitas yang nggak cuma bicara soal pembangunan, tapi pembangunan yang benar-benar inklusif. Untuk mewujudkan ini, kolaborasi adalah kuncinya. Pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas lokal harus bekerja sama. Dunia di mana perempuan dari semua kalangan, anak muda dengan semangatnya, hingga orang tua dengan pengalamannya, memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan menikmati hasil dari pembangunan. Di Aceh, perjuangan ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif kita sebagai masyarakat. Mari bergandengan tangan untuk membangun keadilan sosial yang benar-benar berkelanjutan, tanpa meninggalkan siapa pun di belakang. []