Oleh Muhammad Yusran. Penulis adalah mahasiswa program Magister USK Banda Aceh.
PROSES seleksi kepala Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) mendapat sorotan dari berbagai kalangan di Aceh. Para pihak menduga ada sejumlah kepentingan dibalik seleksi tersebut. Apalagi seleksi ini berlangsung saat Aceh masih dipegang oleh seorang penjabat atau pemerintah transisi.
Sebagaimana yang perlu diketahui, tugas seorang penjabat sebenarnya adalah melaksanakan pemerintahan dengan membangun komunikasi yang intensif dengan DPRD, Pimpinan OPD, dan seluruh Forkompimda dalam rangka mengefektifkan pemerintahan daerah. Hal ini mungkin sudah terlaksana dengan baik.
Kemudian penjabat gubernur juga perlu membangun koordinasi yang baik dalam melaksanakan bantuan dan fasilitasi Pelaksanaan dengan unsur Forkopimda, KPU dan Bawaslu dalam rangka menyukseskan Pilkada. Poin ini juga sudah terlaksana dengan baik dan pasangan Mualem-Dekfadh dinyatakan sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh terpilih untuk saat ini.
Maka untuk Aceh, tugas Pj Gubernur Safrizal seharusnya sudah bisa dibilang cukup berhasil. Pertama, menyukseskan pelaksanaan PON dan kedua menyukseskan pelaksanaan pilkada serentak.
Namun kondisi perpolitikan di Aceh justru beriak saat Pj Gubernur Safrizal bergerak lebih maju saat membentuk Tim Seleksi Kepala BPM Aceh. Pasalnya, badan ini dinilai memiliki nilai strategis untuk kepentingan Aceh. Salah satunya untuk pengelolaan Migas Aceh kedepan.
Peran strategis ini harusnya ditanggani serta diurus oleh pemimpin definitif di Aceh serta bukan dikelola oleh seorang penjabat.
Bagaimana jika Kepala BPMA yang terpilih nanti tidak sinkron dengan pemimpin definitif Aceh nantinya?
Masyarakat Aceh memiliki sejarah kelam saat Penjabat Gubernur berpengalaman melepas 4 pulau di Aceh ke Sumut. Kekhawatiran inilah yang muncul saat seleksi kepala BPMA berlangsung.
Jangan sampai seleksi kepala BPMA merupakan awal dari kemungkinan melepas Blok Migas Aceh.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi, pasal 26 huruf (d) dengan tegas mengatur bahwa calon Kepala BPMA harus memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan manajerial di bidang minyak dan gas bumi. Penjabat Gubernur Safrijar menerjemahkan aturan dalam PP Nomor 23 Tahun 2015 dengan pengumuman seleksi kepala BPMA.
Namun public di Aceh khawatir jika ada pihak yang ingin bermain api dibalik seleksi tersebut.
Jika persyaratan yang ditetapkan oleh panitia yang dibentuk oleh Penjabat Gubernur kontraproduktif dengan dasar hukum BPMA Aceh, tentu Safrijar diduga melanggar hukum secara sistemik karena ini menyangkut dengan pasal yang mengatur, “kewajiban pengetahuan manajerial di bidang minyak dan gas bumi, maka seluruh calon yang tidak memenuhi kriteria tersebut seharusnya gugur dalam seleksi administrasi.”
Rakyat Aceh masih ingat betul bahwa dulu 4 pulau milik Aceh di kawasan Singkil, yang kini masuk dalam adminitrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yaitu Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan dan Pulau Panjang.
Demikian juga dengan kekhawatiran public soal seleksi Kepala BPMA di masa penjabat gubernur sekarang. Ada Apa? Padahal 7 Februari 2025, Aceh sudah memiliki gubernur dan wakil gubernur defenitif?
Ada beragam asumsi yang berkembang. Salah satunya, soal keinginan ‘cawe-cawe’ penjabat gubernur melalui orang-orangnya sekarang yang dibungkus dalam panitia seleksi dengan tujuan agar Blok Migas Aceh yang telah berhasil minta kembalikan dari Pertamina, untuk dilepas nilai murahan. Benarkah? []