Oleh Syahril Maulid. Penulis adalah warga Aceh yang sedang belajar di Jawa Tengah serta aktif bermedia sosial.
ENTAH apa yang dipikirkan oleh pimpinan eksekutif di Aceh saat ini. Ada sejumlah kebijakan yang kontradiktif selama pemerintahan baru berkuasa.
Dari sejumlah ke-anehan, seperti penunjukan para pejabat tanpa proses pertimbangan yang mantang, seperti Plt Dirut Bank Aceh Syariah hingga Plt Sekda, serta keberadaan ratusan anggota Tim RPJM yang menguras APBA.
Padahal pemerintahan baru berjalan serta belum genap 100 hari kerja. Namun satu persatu kebijakan kontradiktif mulai terbuka satu persatu. Hal ini menjadi sorotan warga Aceh di dunia maya.
Sebagai contoh soal efisiensi anggaran. Seperti halnya pemerintah pusat, efisiensi anggaran ala Pemerintah Aceh seakan menjadi lelucon baru yang menjadi pembicaraan hangat di warung kopi dan media social.
Di satu sisi, kebijakan ‘efisiensi anggaran’ yang didengungkan oleh Presiden Prabowo membuat Pemerintah Aceh melakukan diet ketat untuk seluruh ASN serta tenaga kontrak dan honorer di Satuan Kerja Pemerintahan Aceh. Pos anggaran perjalanan dinas, kegiatan serta belanja ATK serta kebutuhan penunjang kegiatan dikurangi besar-besaran.
Kinerja dituntut maksimal tapi kebutuhan penunjang dibatasi.
Sementara di sisi lain, anggaran rumah tangga gubernur dan wakil gubernur Aceh justru mencapai puluhan miliar. Termasuk juga pembentukan tim RPJM yang berjumlah ratusan orang yang beban kinerjanya diperkirakan bakal ditanggung dalam APBA.
Menurut Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar, dalam rilisnya beberapa waktu lalu, anggaran yang dialokasikan Biro Umum Setda Aceh untuk kebutuhan rumah tangga Gubernur dan Wakil Gubernur, terdapat 138 kegiatan dengan total anggaran mencapai Rp61,7 miliar.
Nilai ini tentu bukanlah sedikit untuk satu tahun. Di antaranya, pengadaan kendaraan dinas yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah untuk pengadaan Toyota Zenix senilai Rp 1,87 miliar, kendaraan dinas Pajero Sport sebesar Rp 3,85 miliar, serta mobil operasional lainnya senilai Rp 3,5 miliar.
Pemerintah juga mengalokasikan anggaran belanja untuk perangkat elektronik pimpinan sebesar Rp 140 juta untuk iPhone, Rp 60 juta untuk iPad, Rp 120 juta untuk tablet, Rp 120 juta untuk MacBook, serta Rp 199 juta untuk alat komunikasi pimpinan.
Kemudian, pengadaan kamera untuk dokumentasi pimpinan senilai Rp 200 juta.
Tak kalah mencengangkan, pengadaan gorden untuk pendopo Gubernur dan Wakil Gubernur masing-masing dianggarkan sebesar Rp 300 juta. Sementara itu, belanja makan-minum serta pakaian dinas tembus diangka lebih dari Rp 11 miliar.
Dengan rincian, makan dan minum rapat Rp 6,6 miliar, makan dan minum aktifitas lapangan mencapai Rp 3,7 miliar dan pengadaan pakaian jas dan baju safari mencapai Rp 1,2 miliar.
Semua nilai ini tentu tak sedikit. Kebijakan yang kontradiktif dengan kebijakan umum ‘efisiensi anggaran’ yang ditaburkan pemerintah saat ini.
Satu sisi, para ASN di sejumlah SKPA diminta berhemat untuk ikat pinggang. Namun di sisi lain, gubernur dan Wagub justru jor-joran untuk kebutuhan mereka. Kebijakan ini tentu bikin geleng-geleng kepala.
Tak hanya itu, baru-baru ini juga menyebar SK tim RPJM Aceh yang berjumlah 436 orang. Keberadaan tim ini merupakan jumlah ‘paling gemuk’ dalam beberapa dekade terakhir.
Seolah-olah pemerintah sekarang ingin agar semua tim sukses-nya, masuk dalam tim RPJM. Ini agar mereka legal dan bisa ‘mencicipi’ anggaran dalam APBA. Tak peduli nanti, tim ini benar-benar bisa bekerja merumuskan RPJM Aceh atau cuma numpang nama agar bisa mengambil honor semata.
Semua ini jelas lelucon yang sedang dipertontonkan di Aceh. Gaya kepemimpinan yang ‘galak-galak lon’ akan berimbas tak baik bagi masa depan Aceh.