Oleh Weni Fadila. Penulis adalah mahasiswi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry.
Konflik, dalam berbagai bentuknya baik sosial, politik, maupun budaya, masih menjadi bagian dari realitas kehidupan masyarakat global, termasuk Indonesia. Di balik setiap konflik, selalu ada kerusakan yang ditinggalkan: kehancuran fisik, trauma psikologis, dan retaknya tatanan sosial. Di antara mereka yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan. Namun, ironisnya, ketika berbicara tentang resolusi dan rekonsiliasi, suara perempuan justru kerap terpinggirkan.
Perempuan tidak hanya menjadi korban dalam konflik. Mereka juga sering kali berperan sebagai penolong, penjaga keluarga, bahkan peredam ketegangan sosial. Di berbagai daerah, banyak perempuan tampil sebagai agen perdamaian menginisiasi dialog lintas kelompok, mendampingi korban, hingga menjadi pelopor pembangunan pasca-konflik. Di Aceh, misalnya, pasca konflik bersenjata yang berlangsung selama puluhan tahun, peran perempuan dalam merawat ruang sosial dan membangun kembali komunitas terbukti sangat penting, meskipun jarang terdengar dalam narasi besar perdamaian.
Sayangnya, dalam forum-forum formal penyelesaian konflik, perempuan masih sering tidak dilibatkan secara setara. Budaya patriarki yang kuat, stereotip gender yang menempatkan perempuan sebagai pihak lemah, serta minimnya representasi perempuan dalam kepemimpinan, menjadi tembok penghalang keterlibatan mereka. Padahal, pendekatan yang dibawa perempuan dalam menyelesaikan konflik sering kali lebih empatik, kolaboratif, dan berorientasi pada penyembuhan jangka panjang.
Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam proses perdamaian dapat meningkatkan kemungkinan tercapainya perdamaian jangka panjang hingga 35 persen. Ini bukan angka yang kecil. Fakta ini menunjukkan bahwa jika kita sungguh ingin membangun perdamaian yang berkelanjutan, maka tidak ada pilihan lain selain mengakui dan memberdayakan peran perempuan dalam setiap tahap resolusi konflik.
Selain peran langsung dalam proses perdamaian, perempuan juga memiliki kontribusi penting dalam pembangunan kembali sosial dan ekonomi pasca-konflik. Mereka sering menjadi ujung tombak dalam merevitalisasi kehidupan keluarga dan komunitas, mengelola sumber daya terbatas, serta membangun jaringan solidaritas yang memperkuat kohesi sosial. Dalam konteks ini, perempuan tidak hanya berperan sebagai penerima manfaat rekonstruksi, melainkan juga sebagai penggerak perubahan yang membawa stabilitas dan pertumbuhan inklusif.
Namun, tantangan struktural dan kultural yang dihadapi perempuan dalam konteks konflik juga sangat kompleks. Kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, seringkali meningkat selama dan setelah konflik, meninggalkan trauma mendalam yang berdampak pada kehidupan jangka panjang perempuan dan keluarga mereka. Kondisi ini menuntut pendekatan penanganan yang sensitif gender dan pemulihan holistik yang memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis, dan sosial perempuan korban konflik.
Di samping itu, pengakuan terhadap kearifan lokal dan peran perempuan adat juga sangat penting. Banyak perempuan di komunitas adat memegang peranan kunci dalam menjaga tradisi, nilai-nilai sosial, dan sumber daya alam yang menjadi basis kehidupan masyarakat. Peran ini menjadi modal sosial yang tak ternilai dalam proses rekonsiliasi dan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan. Pendekatan resolusi konflik yang menghargai dan memberdayakan perempuan adat akan memperkuat akar perdamaian yang autentik dan berkelanjutan.
Penting pula untuk mendorong kebijakan inklusif yang menjamin keterwakilan perempuan dalam semua tahapan proses perdamaian, mulai dari mediasi, perundingan hingga implementasi hasil perjanjian. Kebijakan ini harus dilengkapi dengan pelatihan, pendampingan, dan dukungan sumber daya agar perempuan dapat berpartisipasi secara efektif dan berdaya. Organisasi masyarakat sipil, pemerintah, dan lembaga internasional memiliki tanggung jawab bersama dalam memastikan hal ini.
Tidak kalah penting, pendidikan perdamaian yang menempatkan perspektif gender sebagai bagian integral juga perlu dikembangkan. Pendidikan ini harus membekali generasi muda, laki-laki maupun perempuan, dengan nilai-nilai kesetaraan, toleransi, dan dialog, sehingga budaya patriarki yang mengekang peran perempuan dalam perdamaian dapat terus dikikis dan digantikan oleh budaya inklusif yang menghargai semua pihak.
Sudah saatnya kita mengubah paradigma. Resolusi konflik tidak cukup hanya berbasis negosiasi kekuasaan dan kompromi politik. Ia juga harus berlandaskan pada keadilan, pemulihan, dan penyembuhan sosial—nilai-nilai yang justru sering dibawa oleh perempuan melalui pengalaman hidup mereka. Perempuan bukan hanya korban. Mereka adalah aktor penting yang mampu mengubah konflik menjadi ruang dialog dan luka menjadi harapan.
Jika bangsa ini ingin berdamai secara utuh, maka keterlibatan perempuan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. []