Oleh Nasywa Salsabila. Penulis adalah mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry.
Pengembangan diri adalah hak setiap individu, termasuk penyandang disabilitas yang memiliki kebutuhan khusus dan beragam. Namun, kenyataannya, kelompok ini masuk kedalam kelompok marjinal yang seringkali menghadapi pengabaian dan keterbatasan akses yang menghambat potensi mereka untuk berkembang secara optimal. Di Banda Aceh, meskipun berbagai regulasi dan program telah disusun untuk mendukung inklusi disabilitas, realisasi di lapangan masih jauh dari ideal dan belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat.
Pemerintah Kota Banda Aceh telah melakukan beberapa upaya untuk menyediakan fasilitas ramah disabilitas, seperti pembangunan trotoar dengan guiding block, perbaikan halte Trans Koetaradja dengan jalur khusus, serta penyediaan fasilitas ramah disabilitas di beberapa masjid dan institusi pendidikan seperti UIN Ar-Raniry. Namun, kenyataannya masih banyak fasilitas umum yang belum memenuhi standar aksesibilitas. Trotoar yang berlubang, tidak rata, dan minimnya guiding block membuat mobilitas penyandang disabilitas terganggu. Jalur pedestrian yang seharusnya aman seringkali terhalang pedagang kaki lima, menyulitkan pengguna kursi roda bergerak dengan nyaman dan aman. Transportasi publik pun belum sepenuhnya ramah disabilitas, dengan ramp yang kemiringannya curam dan bollard yang sempit di beberapa halte.
Lebih jauh, fasilitas pendukung seperti rambu braille, lampu lalu lintas dengan sinyal suara, serta kursi istirahat di trotoar masih sangat terbatas dan belum merata di seluruh kota. Toilet umum yang dapat diakses penyandang disabilitas juga masih sangat minim, termasuk di pusat perbelanjaan, tempat wisata, dan institusi pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Banda Aceh belum sepenuhnya menjadi kota inklusif yang menghormati hak dan kebutuhan penyandang disabilitas.
Salah satu masalah utama adalah kurangnya keterlibatan langsung penyandang disabilitas dalam proses perencanaan dan pembuatan regulasi. Padahal, partisipasi mereka sangat penting agar kebijakan dan program yang dibuat benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan dan dapat diimplementasikan secara efektif. Tanpa keterlibatan aktif komunitas disabilitas, regulasi yang ada berpotensi menjadi dokumen formalitas tanpa dampak signifikan bagi keseharian mereka.
Selain itu, setiap penyandang disabilitas memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda, sehingga pelayanan dan fasilitas yang disediakan harus disesuaikan secara spesifik. Pemerintah perlu memiliki data akurat mengenai jumlah dan jenis disabilitas di Banda Aceh agar layanan dapat tepat sasaran dan responsif. Data terbaru menunjukkan terdapat sekitar 900 penyandang disabilitas di Banda Aceh dengan berbagai jenis disabilitas, mulai dari fisik, intelektual, mental, hingga sensorik. Di sisi lain, pendatang dari luar daerah yang datang ke Banda Aceh untuk keperluan pariwisata, pendidikan, atau bisnis juga merasakan dampak keterbatasan aksesibilitas ini, sehingga pembangunan kota inklusif menjadi kebutuhan mendesak bagi semua pihak.
Selain regulasi yang sudah ada, seperti Peraturan Walikota Nomor 14 Tahun 2017 dan Qanun Penyandang Disabilitas Provinsi Aceh, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai kendala, termasuk pemotongan anggaran yang memperlambat pemenuhan hak penyandang disabilitas. Hal ini mengakibatkan mereka masih kesulitan mengakses pendidikan formal, transportasi umum, dan fasilitas umum lainnya secara layak.
Kepemimpinan Walikota Banda Aceh, Ibu Illiza Saaduddin Djamal, yang baru dilantik pada 2025, diharapkan dapat membawa perubahan nyata dengan komitmen kuat untuk memperbaiki dan merapikan fasilitas publik agar benar-benar inklusif. Pemerintah kota harus segera mengalokasikan anggaran memadai, menertibkan pedagang kaki lima agar tidak mengganggu jalur pejalan kaki dan akses pengguna kursi roda, serta meningkatkan standar desain ramp dan bollard di halte dan fasilitas umum lain. Penambahan fasilitas pendukung seperti rambu braille, lampu lalu lintas dengan sinyal suara, dan kursi istirahat di trotoar juga sangat dibutuhkan. Pelatihan bagi petugas pelayanan publik agar lebih peka terhadap kebutuhan disabilitas menjadi kunci keberhasilan.
Lebih dari itu, penyandang disabilitas harus dilibatkan secara aktif dalam setiap tahap perencanaan, pengambilan keputusan, dan evaluasi kebijakan agar kebutuhan mereka dapat terakomodasi secara nyata dan berkelanjutan. Tanpa partisipasi mereka, pembangunan inklusif hanya akan menjadi wacana tanpa implementasi yang berarti.
Dengan kerja sama semua pihak dan komitmen yang kuat, Banda Aceh berpotensi menjadi kota yang benar-benar ramah dan inklusif bagi penyandang disabilitas, mencerminkan masyarakat yang adil, beradab, dan menghargai keberagaman. Kota yang inklusif tidak hanya memberikan ruang bagi pengembangan diri kaum disabilitas, tetapi juga memperkaya kehidupan sosial dan budaya kota secara keseluruhan, serta meningkatkan kualitas hidup seluruh warganya.