RUMAH-rumah itu dibangun usai Tsunami. Terletak di pesisir Aceh Besar, Lamnga terbilang padat penduduk. Desa ini berjarak lebih kurang 12 kilometer dari Kutaradja atau Banda Aceh sekarang.
Ada tambak udang dan sungai kecil di sisi kanan. Sementara laut dan sungai besar di sisi kiri. Beberapa ladang sira atau garam yang ditinggal pekerja hingga ratusan kuburan tanpa nama yang bernisan khas Aceh tempo dulu. Konon di desa ini lah para pejuang lahir dan kemudian mencatat sejarah Aceh.
Saat para Teuku atau bangsawan lain merapat ke Belanda, Ulee Balang Lamnga menjawab dengan perang.
Di masa lalu, Desa Lamnga adalah tempat kedudukan Uleebalang. Mukim Lamnga termasuk XXVI Mukim Aceh Besar, yang pada zaman kerajaan Aceh merupakan daerah Bibeueh (Bebas Langsung) di bawah Sultan, yang wilayah mencakup mukim Ie Meule Sabang (Pulau Weh).
Mukim Lamnga berada di pesisir pantai laut pada persimpangan Selat Malaka dan Selat Benggala, dan merupakan perlalulintasan perjalanan kapal laut ke dari nusantara.
Ada Teuku Nyak Makam yang dikenal dengan Panglima Nyak Makam. Ia lahir di Desa Lamnga sekitar tahun 1838 M. Ayahnya bernama Teuku Abbas gelar Ujong Aron bin Teuku Chik Lambaro, bin Imam Mansur, bin Imam Manyak bin Teuku Chik Mesjid. Mereka secara turun temurun pada zamannya menjadi Ulee Balang dari mukim daerah Bibueh.
Ayahnya sendiri abang kandungnya Teuku Ibrahim Ujong Aron, dan saudara sepupunya Teuku Chik Ibrahim suami Cut Nyak Dien, dan Teuku Ajad turut gugur secara beruntun waktu dalam pertempuran.
Perlawanan Lamnga menjadi momok tersendiri bagi Belanda. Setiap upaya Belanda dan para cuak mencoba menyeberang, selalu dijawab dengan pedang dan rencong. Salah satu sudut di Lamnga kemudian diberi gelar Abah Darah atau mulut darah. Dimana para marsose serta serdadu Belanda menuai ajalnya di sana.
Nyak Makam sendiri dipancung lehernya pada 22 Juli 1896. Ia ditangkap dalam keadaan sakit. Namun tak pernah tunduk pada Belanda.
“Sebenarnya Nyak Makam hendak dilarikan oleh beberapa pengikutnya sebelum ditangkap Belanda, tapi ia tidak ingin menjadi beban. Karena ia yakin, sosoknya akan tergantikan dalam waktu singkat. Perang akan melahirkan pemimpin,” kisah tetua Desa Lamnga kepada atjehwatch.com, beberapa waktu lalu.
Tak hanya Panglima Nyak Makam, Lamnga juga mengisah tentang Ibrahim atau dikenal dengan sebutan Ibrahim Lamnga. Ia lelaki yang saleh dan cerdas.
Waktu perang Aceh meletus pada tahun 1873, Cut Nyak Din telah menikah dengan Ibrahim Lamnga. Pernikahan itu bahkan sudah dilaksanakan secara kawin gantung pada 1862 sewaktu Cut Nyak Din masih berumur 12 tahun. Suami isteri baru berkumpul kemudian setelah sang isteri cukup umurnya. Waktu perang meletus, mereka sudah dikaruniai seorang anak.
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan. Sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873. J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada 24 Desember 1875. Suaminya, Ibrahim Lamnga, selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada 29 Juni 1878. Sejak itu Cut Nyak Din menjadi janda dengan seorang anak. Namun Ia tetap ikut berperang melawan Belanda. Baginya tidak ada damai dengan musuh. Musuh itu kaphe (kafir) mereka telah menyebabkan suaminya tewas.
“…Mengungsilah! Semoga Tuhan melindungimu! Tujuh puluh pengawal bersenjata aku tinggalkan untuk mengawanimu. Sekalian mereka itu adalah kawan-kawan terpilih yang setia. Sekiranya kita tidak bertemu, kawan yang tujuh puluh orang itulah yang akan bersamamu berjuang di jalan Allah…”
Itulah pesan akhir Ibrahim Lamnga pada isteri tercintanya, Cut Nyak Dien. Dan perjuangan Ibrahim mempertahankan tanah airnya, makin menambah rasa cinta isterinya Cut Nyak Dien. Serpihan sejarah kisah cinta dua pejuang sejati itu dikisahkan dalam buku M.H. Szekely-Lulofs, seorang puteri Lulofs, yang pernah bertugas di Sumatra Utara. Kisah cinta heroiik itu dapat dibaca dalam buku Tjoet Nya Din: Riwajat Hidup Seorang Puteri Atjeh yang kemudian diterjemahkan A. Muis, setelah beberapa tahun Indonesia merdeka.
Kematian Ibrahim membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Ia mewarisi tekad Ibrahim. Ibrahim adalah guru dan cinta pertamanya. Pada Ibrahim ia belajar komitmen dan seni pedang. Ia bertekad hanya akan menikah lagi dengan lelaki yang bisa membalas kematian suaminya, Ibrahim Lamnga.
Komitmen ini terdengar hingga ke telinga Teuku Umar, sepupunya yang tinggal di Meulaboh. Umar pun datang untuk melamar Cut Nyak Dhien, tapi ditolak mentah-mentah. Bisa jadi karena saat itu, Umar telah beristri dua. Mereka adalah Nyak Malighai dan Nyak Sofiah.
Namun bukan Umar namanya jika mudah menyerah. Ia akhirnya berpura-pura terluka akibat serangan Belanda untuk merebut simpati dari Cut Nyak Dhien.
Alkisah di suatu hari, Teuku Umar ditandu hingga ke depan rumah Cut Nyak Dhien. Teuku Umar terlihat berdarah-darah.
“Pakon nyan?” tanya Cut Nyak Dhien penasaran.
“Lon keuneuk jak woe,” jawab Umar.
“Bek. Ta peu ubat dilee. Harus ta peu ubat. Bek putoh asa,” kata Cut Nyak Dhien.
“Bah mate mantong. Cut Nyak tulak (menolak lamaran-red) lon,” ujar Teungku Umar lagi.
Mendengar hal ini, Cut Nyak Dhien tereyuh. “Bek. Tapeu ubat nyoe dilee. Ban leuh nyan baroe ta peu ubat luka nyan (hati-red),” kata Cut Nyak Dhien.
“Hana peu. Cut Nyak jok ubat mantong bak lon,” ujar Teuku Umar lagi.
Siasat Teuku Umar berhasil. Pernikahan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pun kemudian berlangsung pada 1880 atau 2 tahun setelah Ibrahim meninggal. Suatu ketika, saat Teuku Umar mandi, Cut Nyak Dhien melihat badan Teuku Umar tak ada lagi bekas luka seperti saat ditandu beberapa waktu lalu.
“Teuku, pat luka,” tanya Cut Nyak Dhien. Teuku Umar tahu maksud Cut Nyak Dhien. Dia pun mengaku kalau luka itu hanyalah akal-akalannya agar Cut Nyak Dhien mau menikah dengan dirinya.
Keromantisan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien tak berlangsung lama. Harapan Cut Nyak Dhien agar Umar menjadi sosok pengganti Ibrahim hilang pada 1883 atau tiga tahun usai mereka menikah. Hati Cut Nyak Dhien semakin hancur, saat Umar membelot ke Belanda. Ia terlibat perang dengan para pejuang Aceh, menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh, salah satu unit pejuang Aceh yang terdiri dari pasukan perempuan.
Teungku Fakinah kemudian menemui Cut Nyak Dhien.
“Yu Jak beureujang Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee.”
Perkataan ini menusuk sanubari Cut Nyak Dhien, melalui Pang Karim, sosok yang dikenal dengan Teuku Meulaboh, panggilan Teuku Umar, Dhien menitip pesan ke suaminya itu yang berada di markas Belanda itu.
“Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran (Markas Sukey Fakinah). Sekarang, barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi, pria melawan wanita yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan: jangan- lah menyusu pada badak,” kata Cut Nyak Dhien dalam bahasa Aceh.
Pesan ini sampai ke telinga Teuku Umar dengan cepat. Teuku Umar gundah. Ia tidak ingin cintanya kembali tersakiti. Sekitar tahun 1884, Umar kembali membelot ke pejuang Aceh.
Namun September 1893, Teuku Umar kembali menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaradja bersama 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan.
Kemudian pada 30 Maret 1896, Teuku Umar kembali keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter.
Teuku Umar sendiri meninggal pada 1899, tertembak dalam gempuran pasukan Van Heutsz. Cut Nyak Dhien meneruskan perjuangan hingga dibuang ke Sumedang. []