JAKARTA – Terpidana kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), Setya Novanto, mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) usai mengklaim adanya bukti baru dalam kasus tersebut, Rabu (28/8/2019).
“Ada novum (bukti baru). Kami menilai ada cacat hukum, khilaf hakim, dan ada pertentangan antara pertimbangan masing-masing perkara antara yang satu dengan yang lainnya,” kata pengacara mantan Ketua DPR RI itu, Maqdir Ismail.
Maqdir enggan menjelaskan detail bukti baru yang ditemukan pihak terpidana.
“Nanti akan dibuktikan sesuai waktunya,” ujarnya.
Peninjauan Kembali diajukan setelah Novanto gagal dalam permohonan kasasi ke MA. MA tetap meneguhkan Novanto dipidana 15 tahun penjara.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Novanto 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, karena terbukti menerima fee senilai AS$ 7,3 juta dari Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudiharjo, dan Presiden Direktur Biomorf, Johannes Marliem.
Duit diberikan lewat money changer melalui pengusaha Made Oka Masagung dan keponakan Novanto, Irvanto Hendra Pambudi.
Novanto terbukti mengawal anggaran mega proyek ini. Mulanya, sumber biaya dari Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN), tetapi diganti jadi anggaran rupiah murni yang butuh persetujuan DPR. Di sinilah Novanto bereaksi bersama anggota Komisi II DPR.
Usai eksekusi putusan, Novanto diharuskan membayar uang pengganti senilai AS$ 7,3 juta atau senilai Rp 66 miliar, sesuai dengan nilai tukar dolar Amerika pada 2010. Jika tak mampu membayar, Novanto akan dapat pidana tambahan 2 tahun penjara.
Selain pidana penjara, hak politik Novanto juga dicabut. Artinya, ia tak dapat memilih atau dipilih dalam Pemilihan Umum baik legislatif maupun presiden selama lima tahun ke depan.
Novanto dijerat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Jajaran Legislator jadi Koruptor
Nama Novanto menambah jajaran legislator yang terjerat kasus korupsi. Sepanjang tahun 2004 hingga 31 Desember 2018, terdapat 998 orang pejabat negara atau swasta yang melakukan tindak pidana korupsi, menurut data dari Anti Corruption Clearing House (ACCH) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Profesi yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi yakni anggota DPR dan DPRD sebanyak 247 orang. Kemudian, pelaku terbanyak selanjutnya yakni pegawai swasta, 238 orang. Selanjutnya, pejabat eselon I, II, dan III di pemerintahan, sejumlah 199 orang.
Dalam kasus e-KTP, sejumlah nama legislator atau mantan legislator yang ikut terseret diantaranya Anas Urbaningrum yang diduga menerima AS$ 5,5 juta, mantan Ketua Banggar DPR, Melcias Marchus Mekeng, sebanyak AS$ 1,4 juta, Olly Dondokambey senilai AS$ 1,2 juta, dan Tamsil Linrung senilai AS$ 700.000.[]
Sumber: Beritagar.id