Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan istilah perda syariah tidak dikenal dalam perundang-undangan di Indonesia. Namun hukum dan nilai-nilai ajaran agama menjadi salah satu sumber hukum dalam membuat undang-undang.
“Jadi gini, sebenarnya perda syariah itu tidak dikenal dalam konstitusi, coba dicari di peraturan perundang-undangan. Yang dikenal itu adalah dalam undang-undang kita bahwa sumber pembuatan hukum ada di nilai-nilai agama, Pancasila, budaya, yang berkembang di negara kita,” kata Wasekjen MUI bidang Informasi dan Komunikasi Amirsyah Tambunan di gedung MUI Pusat, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (8/1/2020).
Dia mengatakan istilah perda syariah merupakan interpretasi yang dikembangkan ahli hukum tata negara. Amirsyah mengatakan nilai agama dijadikan sumber hukum bukan merupakan hal yang baru.
“Peranan hukum Islam di Indonesia bisa mewarnai dari peraturan perundang-undangan, yang jadi syarat sumber. Dan dalam peraturan perundang-undangan pun bukan sesuatu yang baru, jadi itu yang saya maksud istilah undang-undang syariah tidak dikenal dalam nomenklatur perundang-undangan kita. Tapi bahwa hukum dan ajaran Islam di Indonesia berkembang baik karena itu merupakan bagian dari sumber hukum dalam membuat suatu perundang-undangan,” jelasnya.
Amirsyah kemudian mencontohkan perda soal wisata halal yang berlaku di Nusa Tenggara Barat (NTB). Perda tersebut didasari pada nilai agama dan budaya atau kearifan lokal yang berkembang. Namun tidak lantas peraturan tersebut disebut perda syariah.
“Sebenarnya ada satu perda yang menarik di Mataram, yaitu wisata halal. Ini sebenarnya bagus. Nah, apakah itu diklaim jadi perda syariah? Nah, nggak juga. Jadi, nomenklatur Perda Syariah itu enggak ada, tapi bahwa daerah menjunjung kearifan lokal yang bersumber dari nilai agama, budaya, dan masyarakat, itu sih enggak masalah. Bahkan itu berkembang di banyak daerah,” jelas Amirsyah.
Hal senada dikatakan Wasekjen MUI bidang Ukhuwah Islamiyah, Zaitun Rusmin. Zaitun mengatakan perda syariah sebetulnya peraturan yang dibuat berdasarkan kearifan lokal.
“Sekarang kabupaten-kabupaten bangun kearifan lokal. Kesepakatan DPRD-DPRD dengan bupatinya bikin perda untuk mengurangi kemaksiatan, atau langsung menanggulangi minuman keras, atau perda menghapus buta aksara Al-Qur’an. Semua itu kearifan lokal,” kata Zaitun.