Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Panwas dinilai kembali berimbas pada kekhususan Aceh sebagaimana yang tercantum dalam UUPA dan qanun tentang penyelenggaraan pemilu di Aceh.
Dimana, UUPA mengamanahkan keberadaan Panwaslih dalam pelaksanaan pilkada di Aceh. Kemudian berdasarkan Qanun Aceh, Panwaslih bertugas mengawasi pilkada dan pelaksanaan pemilu di Aceh.
Para komisioner Panwaslih juga dipilih oleh DPR Aceh untuk Panwaslih Provinsi serta DPRK untuk Panwaslih kabupaten kota dengan masa tugas lima tahun.
Tapi dalam putusan MK pada Rabu siang tadi, 29 Januari 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah nama lembaga Panwaslu Kabupaten di UU Pilkada menjadi Bawaslu. Hal itu agar selaras dengan UU Pemilu yang telah menyebut Bawaslu Kabupaten.
Dengan demikian, efek dari putusan MK tersebut, ranah pengawasan pemilu dan pilkada adalah Bawaslu yang kini bersifat permanen dan tak lagi dipilih oleh DPRK dan DPRA, sebagaimana amanah UUPA dan Qanun Aceh.
“Menyatakan frasa ‘Panwas Kabupaten/Kota’ dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai Bawaslu Kabupaten/Kota,” kata ketua majelis hakim Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Menurut MK, dengan diadopsinya substansi UU 15/2011 ke dalam UU 7/2017, kelembagaan Panwaslu Kabupaten/Kota yang diubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai lembaga yang bersifat tetap (permanen), di mana keanggotaanya memegang jabatan selama 5 tahun. Komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi sebagaimana diatur dalam UU 15/2011 sebanyak 3 orang dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 orang.
“Dengan adanya pergantian undang-undang yang mengatur kelembagaan penyelenggara pemilu, komposisi anggota Bawaslu Provinsi menjadi 5 atau 7 orang, dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 atau 5 orang,” ujarnya.
Selain, komposisi jumlah keanggotaan, perubahan juga terjadi terkait dengan mekanisme pengisian anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. Awalnya, melalui UU 15/2011, anggota Panwaslu Kabupaten/Kota diseleksi dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi, kemudian melalui UU 7/2017 diubah menjadi proses seleksi melalui Tim Seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu.
MK mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018:
“…..Sekalipun rezim hukum Pemilu dan Pilkada dianggap berbeda, namun penyelenggara Pilkada yang diberi tugas oleh UU 10/2016 untuk melaksanakan Pilkada adalah penyelenggara Pemilu yang dibentuk sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Oleh karena itu, struktur penyelenggara Pemilu dan Pilkada seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat dari dua undang-undang yang berbeda.”
“Menyatakan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi putusan MK yang juga diketok oleh Aswanto, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P. Foekh.