RABU pagi, Syech Fadhil dan rombongan bergegas menuju Desa Wih Ilang, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah.
Ada Dr. Abdiansyah, Ansori, Teungku Hambali serta beberapa perwakilan organisasi lainnya yang ikut serta dalam perjalanan ini.
Agam yang baru tiba Rabu dini hari tadi juga ikut ke Wih Ilang. Jarak dari pusat Kota Takengon ke Wih Ilang memakan waktu hingga 45 menit hingga satu jam. Kami tiba di Wih Ilang sekitar pukul 08.10 WIB. Di sana, rombongan disambut petinggi desa setempat dan beberapa pemuda yang sering melalui rute ke Kala Wih Ilang.
Petinggi desa setempat meminta kami ganti baju dari kemeja ke kaus biasa.
“Jalan berdebu. Jadi kalau kotor tidak masalah,” ujar seorang tetua di sana.
Di Wih Ilang, rombongan juga ganti mobil. Mobil Toyota yang kami kendaraan dititip di rumah Reje setempat. Sementara untuk Kala Wih Ilang, kami dipinjami mobil berban besar sebanyak tiga unit. Para pemuda setempat menjadi sopir serta pengarah perjalanan.
Mobil yang atjehwatch.com tumpangi bersama Teungku Hambali berada di urutan pertama. Sementara Syech Fadhil berada di mobil kedua, serta staf DPD RI Agam berada di mobil urutan ketiga.
Dari pusat desa, perjalanan kemudian menembus semak-semak serta jalan berlumpur ke Dusun Kala yang berada di pedalaman. Jaraknya hampir sejauh satu kecamatan jika dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Debu dan terik matahari menyegat sepanjang perjalanan. Ilalang setinggi pria dewasa membuat jarak pandang tertutup. Namun kelihaian para sopir membuat rintangan tadi tak menjadi persoalan.
Semakin memasuki pedalaman, jalan semakin sempit dan terjal. Kiri kanan, terlihat jurang yang dalam. Sedikit salah belok, maka mobil akan masuk jurang.
Melewati sungai kecil, jalan terjal menanti. Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba masuk lubang besar. Lumpur berterbangan akibat geseran ban depan.
Keadaan ini membuat dua mobil lainnya di belakang tertahan di tengah. Teungku Hambali mengajak atjehwatch.com turun dan berjalan kaki ke atas bukit. Syech Fadhil juga terlihat turun dari mobil. Baru beberapa menit kami meninggalkan kendaraan, mobil di urutan pertama terlihat mundur tiba-tiba.
Kemudian mobil di urutan kedua, ikutan oleng karena menghindari tabrakan. Sedangkan mobil ketiga tergelincir dan terbalik hingga menyentuh dasar bukit. Mobil itu ditumpangi Agam yang baru beberapa jam pulang umrah.
Keadaan sempat panik. Beberapa warga yang berada di sekitar lokasi datang untuk menolong. Kami turun bukit untuk memastikan Agam dan rombongan yang berada di mobil terakhir, baik-baik saja.
Agam beruntung, mobil yang ditumpanginya tertahan dengan batang pohon. Jika tidak, mobil itu akan terguling ke kebun kopi yang medannya seperti jurang.
Menurut Hendri, 36 tahun, warga Kala Wih Ilang, jalan yang kami tempuh itu memang menjadi momok yang menakutkan bagi warga setempat selama ini. Warga, katanya, lebih memilih jalan lain yang memutar sejauh 10 kilometer jika harus ke pusat desa Wih Ilang.
“Jika ada yang sakit, ya seperti tadi. Memutar jauh dari jalan sana,” ujar Hendri sambil menunjuk jalan alternative lainnya di atas bukit.
Hendri mengaku tinggal di Kala Wih Ilang sejak 2005. Namun hingga kami datang ke sana, ia mengaku baru 10 kali turun ke Takengon. Demikian juga dengan anak dan istrinya.
“Itu sudah senang sekali (bisa turun ke Takengon-red),” ujar Hendri yang mengaku asal Sumatera Utara dan menjadi mualaf sejak 2018 lalu. Ia mualaf bersama istri dan ketiga anaknya yang masih kecil.
Sekitar dua jam di lokasi, berkat bantuan warga, ketiga mobil tadi bisa mencapai bukit. Perjalanan diteruskan hingga meunasah Kala Wih Ilang. Sejumlah warga menanti kami di sana.
Demikian juga dengan para guru MIS Kala Wih Ilang. Warga yang datang, mayoritas para mualaf asal Sumatera Utara yang kini berKTP Wih Ilang.
Di meunasah, warga mengeluh banyak hal ke Syech Fadhil. Mulai dari akses jalan yang masih jauh dari kata layak dan pembangunan terhalang izin kementerian karena melintasi hutan lindung, fasilitas kesehatan yang nyaris tak ada, serta sarana pendidikan yang masih kurang.
Syech Fadhil mengaku akan menyampaikan keluhan warga ini ke jajaran kementerian saat kembali ke Jakarta nantinya.
Hendri juga datang ke meunasah yang menjadi lokasi pertemuan. Ia memperkenalkan ayahnya yang bernama Muslim. Meski memilki nama berbahasa Arab, tetapi ayah Hendri baru mualaf pada 2018 seperti dirinya.
Di akhir pertemuan, Syech Fadhil menyerahkan sejumlah buku untuk meunasah Kala Wih Ilang. Buku dengan jumlah yang sama juga diserahkan untuk MIS Kala Wih Ilang. Sedangkan Teungku Hambali turut menyerahkan zakat berupa uang kepada Amalan Shalihan untuk diserahkan kepada anak-anak mualaf yang mau belajar di sana.
Syech Fadhil berharap bisa kembali ke Kala Wih Ilang suatu saat nanti. Dia berharap ada perubahan besar di Kala Wih Ilang di masa depan.
Sekitar pukul 13.00 WIB, rombongan izin pamit pulang. Kami kemudian memilih jalan alternative yang memutar jauh daripada kembali menempuh jalan terjal saat datang tadi. Kami tiba di rumah reje setempat sekitar pukul 14.30 WIB.
Rombongan salat dan kemudian dijamu makan siang dengan menu mie rebus oleh salah satu warga Wih Ilang.
Usai kembali tukar mobil, kami kembali ke pusat kota Takengon. Di sana, Syech Fadhil pamit kepada Abdiansyah, Teungku Hambali, Ansori, serta sejumlah tokoh lainnya yang menyertai perjalanan ke Kala Wih Ilang.
Dari Takengon, kami kemudian melalui jalan ke Linge hingga akhirnya tiba di Gayo Lues sekitar pukul 23.00 WIB.
Sejumlah tokoh masyarakat menyambut kedatangan Syech Fadhil. Pertemuan berlangsung hingga pertengahan malam.
Subuh Kamis, Syech Fadhil juga dijadwalkan memberi ceramah singkat di salah satu masjid di Gayo Lues serta dilanjutkan dengan mendatangi sejumlah SKPD guna penyamaan persepsi dan silaturahmi.
Kamis siang, Syech Fadhil mengisi materi untuk mahasiswa di kampus Unsyiah cabang Gayo Lues dan baru selasai usai Ashar. Di semua tempat yang dikunjungi, Syech Fadhil menyerahkan buku sebagai hadiah.
Rombongan baru kembali ke Blang Kejeren, sore harinya. Syech Fadhil sendiri masih sempat bertemu dengan bupati Gayo Lues serta meminta izin pamit ke Kutacane.
Kami kembali menempuh jalan yang berliku di perbatasan Gayo Lues-Aceh Tenggara hingga akhirnya tiba di Kutacane sekitar pukul 22.00 WIB.
[Bersambung]