Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
ABDYA-Telah lama dan acap kali terdengar oleh kita dari penyampaian lisan guru-guru, Ustadz-ustadzah dan bahkan dari kedua orang tua tentang anjuran dari sebuah hadits yang berbunyi : An Nadzafatu minal iman” yang artinya : “Kebersihan itu adalah sebagian dari iman”.
Para ulama berpendapat pendapat dalam menghukumi derajat hadits tersebut. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa hadits itu tergolong kepada hadits dhaif, seperti yang disampaikan Al ‘Iraqi dalam takhrij Ahadits al-Ihya’ 1/73. Begitu juga Ibnu Hibban dalam a Ad Dhu’afa.
Memang, ada hadis sahih dari Nabi SAW yang mirip dengan kalimat “Kesucian Sebagian Dari Iman”. Hadis itu adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi, “Ath-thahuuru syatrul iimaan” (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami Ash-Shaghir, II/57; dan Sya’bul Iman Li Al-Imam Baihaqi), hal. 66-67).
Namun demikian, kalimat “Kebersihan Sebagian Dari Iman” merupakan ungkapan yang baik, karena didukung sebuah hadits yang menurut Imam Suyuthi berstatus hasan, yakni sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya Allah Taala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.” (HR. Tirmidzi) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami Ash-Shaghir, I/70;
Keluar dari perbedaan pendangan terhadap status hadits tentang kebersihan sebagian dari iman tersebut, ada suatu nilai yang sebenarnya mesti kita sepakati bersama dan kemudian menjadikan amalan sehari-hari, yaitu pentingnya menjaga Thaharah (kesucian) dan Nazhafah (kebersihan). Apalagi jika kita kaitkan dengan kondisi sekarang di seluruh dunia sedang menghadapi penyebaran virus Covid-19 yang telah banyak menyusahkan dan menyisakan banyak masalah. Sekolah dan kampus diliburkan, kantor dan perusahaan di work from home, pasar dan perdagangan menurun tajam, kondisi sosial politik goyang dan bimbang dan bahkan kebebasan beribadah mulai dibatasi dari istilah “jama’ah.”
Sejalan dengan itu, telah banyak kita dapati himbauan dan seruan agar melakukan upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 ditengah-tengah masyarakat. Salah satu upaya efektif untuk melakukan pencegahan penyebaran Covid-19 tersebut adalah dengan membudayakan “cuci tangan”. Apakah itu sebelum dan sesudah melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan. Bahkan di seluruh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan seluruh Aceh sudah di pasang dan di sediakan westafel serta kelengkapan lainnya yang posisinya diluar kantor tepatnya di bagian depan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Dengan maksud agar seluruh ASN dan masyarakat pengunjung dan pengguna layanan pada Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan dapat mencuci tangan sebelum memasuki dan sesudah keluar dari KUA.
Padahal jika kita mau mencermati lebih jauh dalam keseharian kita umat Islam, seluruh upaya pencegahan penyebaran Covid-19 tersebut telah ada prakteknya dalam rangkaian ibadah yang kita lakukan setiap hari, yaitu berwudhu. Walaupun mencuci tangan bukan merupakan rukun atau wajib wudhu, namun dalam urusan berwudhu mencuci tangan mendapat giliran awal sebelum melakukan rangkaian kegiatan wudhu lainnya. Ditambah lagi memasukkan air ke dalam lobang hidung dan mengeluarkannya kembali yang juga bagian dari rangkaian sunnat wudhu. Tentu sangat erat kaitannya dengan pola penyebaran virus Covid-19 yang digambarkan berawal dari sentuhan tangan kemudian memasuki hidung sebelum memasuki paru-paru. Berarti dua praktek Sunnah dalam berwudhu tersebut merupakan bagian dari langkah solutif pencegahan penularan virus Covid-19 dalam diri kita. Bayangkan kita shalat tujuh kali sehari semalam, berapakali kah kita berwudhu dan kemudian sudah berapakali kah kita mencuci atau membasuh tangan dan berapa kali kita memasukkan dan mengeluarkan air kedalam hidung?
Belum lagi kita melihat kedalam dua buah hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga tentang pentingnya menjaga kebersihan dan adabnya.
Pertama; Hadits Tentang larangan berdahak sembarang
“Disodorkan padaku amal yang umatku yang baiknya dan yang buruknya. Maka aku dapatkan yang baik-baiknya adalah gangguan dari jalan dan atau dapatkan sejelek-jeleknya adalah mendahak di masjid” (HR.al-Tahabrani).
Kedua : Hadits adab ketika bersin.
“Sesungguhnya Nabi Saw ketika bersin, beliau menutup wajahnya dengan tangan atau kainnya sambil merendahkan suaranya.” (HR. Al-Tirmidzi)
Walau terkesan remeh dan ringan isi dari hadits tersebut, namun tentu sangat menarik jika kita kaitkan dengan salah satu praktek yang dilarang dilakukan apalagi di tempat ramainya orang, yaitu bersin seenak hati, batuk sembarang dan mengeluarkan dahak seenaknya saja di sembarang tempat. Hadits pertama tersebut tentu tak membatasi larangan prilaku buruk tersebut hanya di dalam mesjid, namun juga luas maknanya hingga di tempat-tempat umum yang ramai berkumpul masyarakat, apakah di rumah, kantor, pasar, jalan raya, halte, warung kopi, dan tempat umum lainnya. Ditambah lagi mendahak ditempat umum di sembarang tempat sangat tidak dianjurkan dalam kesehatan dan menurunkan nilai etika seseorang. sedangkan pada hadits yang kedua jelas tampak bagaimana adab yang mestinya dilakukan oleh seseorang yang bersin, yaitu menutup wajahnya dengan sesuatu agar tidak mengotori dan mengeluarkan kotoran yang dapat menggangu kenyamanan orang sekitarnya. Sungguh Islam sudah lebih dulu memberikan solusi pencegahan dari seluruh penyakit lewat praktek hidup sehat dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitarnya.
Mari kita petik pelajaran berharga dari penyebaran wabah Covid-19 itu dengan mengembalikan diri kita kepada praktek ibadah dalam keseharian diantaranya mencuci membasuh kedua tangan ketika berwudhu. Tidak sembarang berdahak dan menutup wajah ketika bersin. Corona mengajarkan kita agar peduli dengan kebersihan diri dan tempat.
*Penghulu Muda KUA Susoh dan Penulis Buku Memunguti Cahaya Al-Qadar (2020).
Discussion about this post