+++
Akhir 2016
HARI hari berlalu dengan cepat. Semangat Ibnu untuk melanjutkan studi ke Australia belum menemui titik kejelasan. Sejumlah program beasiswa yang diajukannya menuai hasil yang kurang mengembirakan.
Ia mengajukan program beasiswa ke LPSDM Aceh. Namun syarat dengan waktu yang ditetapkan terlalu mepet. Ia akhirnya dipaksa menyerah dengan keadaan yang terjadi. Pimpinan di lembaga itu meminta Ibnu untuk memperoleh rekomendasi dari sejumlah orang yang tak dikenalnya.
“Mungkin beasiswa itu bukan untuk kita, wak. Meskipun kini yang berkuasa adalah orang-orang seperti ayahku dulu, namun aku tak mengenal satupun petinggi itu sekarang,” keluh Ibnu saat menikmati angin malam di depan kos usai pulang bekerja. Saat itu, ada Ahmadi yang menemaninya ngopi bersama.
“Kalau bukan untuk orang-orang sepertimu, lantas untuk siapa?” tanya Ahmadi kemudian.
Ibnu terdiam. Seusai meninggal ayahnya, ia mencoba untuk tidak mengeluh dalam menapaki kehidupan. Namun ujian demi ujian tetap menghadang.
Seusai damai, dia melihat banyak ketimpangan yang terjadi di Aceh. Para pejuang seperti ayahnya, sedikit demi sedikit tersingkirkan. Sedangkan kekuasaan tetap dikuasai para birokrasi yang sudah beranak binak sejak masa orde lama.
“Kau tahu, wak. Karakter birokrasi di daerah kita kini mengharuskan siapapun untuk menjadi penjilat demi dekat dengan kekuasaan. Sayangnya, aku belum bisa melakoni karakter itu,” kata Ibnu.
“Ayahku pernah perpesan bahwa seorang pemberontak itu lebih mulia dari penjilat. Namun keadaan yang kulihat saat ini kembalikan dari pernyataan tadi,” ujarnya lagi.
Ahmadi tertawa keras mendengar pernyataan dari Ibnu. Apa yang disampaikan oleh Ibnu memang benar adanya. Di Aceh, tak butuh skill atau kemampuan tinggi, tapi kalau mau sukses cukup menjadi penjilat para penguasa.
“Mungkin ada benarnya agar orang-orang sepertimu keluar dari Aceh sementara waktu. Pulanglah 350 tahun ke depan. Mungkin saat itu keadaan di Aceh akan berubah,” kata Ahmadi menyindir.
“Sama seperti cerita Ashabul Kahfi. Karena tidur di gua tak mungkin, ya terpaksa pergi dulu ke luar negeri. Karena seperti katamu, Aceh sedang tak butuh orang-orang idealis sepertimu,” ujarnya lagi.
Ibnu terdiam mendengar kalimat yang disampaikan Ahmadi. Meski dalam kalimat setengah bercanda, Ahmadi berkata benar adanya. Birokrasi yang melilit di Aceh membuat siapapun akan berubah menjadi jahat. Termasuk untuk mereka yang hari ini mengaku sebagai pejuang nanggroe.
“Kalau mau jujur, wak. Hanya soal waktu konflik kembali meletus di Aceh. Jika itu terjadi, mereka yang mengaku pejuang hari ini adalah musuh utama di masa depan. Sama seperti pejuang DI TII saat awal-awal AM meletus,” ujar Ibnu.
“Aku akan mencoba bertahan dengan prinsipku saat ini. Minimal aku tak akan mengkhianati perjuangan ayah dan dua saudaraku demi harta dan ambisi pribadi. Masalah yang terjadi sekarang adalah urusan para tetua perjuangan yang masih hidup. Biar mereka yang menanggung segala dosa apa yang terjadi,” kata Ibnu.
Ahmadi meneguk kopi hitam miliknya. Sama seperti anak Aceh lainnya, keluarganya turut merasakan konflik di masa lalu. Namun ia tidak seperti Ibnu yang masih kukuh mempertahankan prinsip kehidupan.
“Haruskah aku mengaminkan kalimatmu yang terakhir Nu?” ujarnya kemudian.[]