MATA Sakdiah tiba tiba terserang rasa kantuk yang luar biasa. Tubuhnya tersungkur dalam sajadah lusung miliknya. Entah berapa jam ia tertidur di sana. Kemudian ada tangan kecil yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya.
Ada malaikat kecil yang seolah memberinya kehangatan yang luar biasa. Kekuatan untuk melawan dinginnya angin malam serta membuatnya nyaman meski cuma tidur dengan alas sajadah tipis.
Saat matanya terbuka. Anaknya Ibnu, tertidur di sisinya. Padahal, sebelumnya bocah itu tertidur di atas ranjang kecil yang dimiliki mereka.
Sakdiah memandang bocah itu dengan seksama. Ia tidak mau membangunkan anaknya itu. Wajahnya itu lumayan ganteng untuk bocah seumurannya. Namun ia telah melalui hari-hari kelam dan penderitaan yang tiada ujung.
Hati Sakdiah tersentuh ketika melihat anaknya itu. Ia belum mampu memberikan kebahagian bagi satu-satunya harta berharga yang dimilikinya kini. Harta yang tidak akan ditukarnya dengan apapun di dunia ini.
“Tidurlah buk. Aku tak ingin mendengar ibu menangis tiap malam. Aku akan memeluk ibu biar hangat,” ujar sang bocah itu tiba-tiba.
Sakdiah terkejut. Ternyata anaknya itu mendengar setiap doa yang dilafadzkan saat solat malam tadi. Ia mendengar tangisannya.
“Kau belum tidur ternyata nak!” ujarnya kemudian.
Ibnu membuka mata. Tangannya kemudian menyentuh wajah Sakdiah dan menyekat bekas air mata ibunya itu.
“Berjanjilah buk, jangan lagi menangis. Aku tak ingin mendengar ibu menangis setiap malam. Seburuk apapun hidup kita sekarang. Aku akan bahagia jika tetap bersama ibu,” ujar Ibnu.
Sakdiah terdiam. Ia tak menyangka anaknya bisa mengeluarkan kata-kata yang menyentuh hatinya. Anaknya yang terkecil itu telah tumbuh menjadi lebih dewasa dari umurnya dan penyayang.
“Kita pasti bisa melalui ini semua buk. Ibnu akan bersekolah lebih giat dan membuat ibu bangga suatu saat nanti. Ibnu berjanji akan jadi kebanggaan ibu. Akan patut dan mendengar apapun perkataan ibu. Asal ibu janji tak akan lagi menangis kala malam tiba seperti sekarang,” ujar Ibnu lagi.
Mendengar hal ini, air mata Sakdiah kembali berlinang. Ia mendekap erat anaknya itu dalam pelukannya.
“Tue-kan ibu kembali menangis. Padahal tadi udah janji tak lagi menangis,” ujar Ibnu yang turut berlinang air mata.
Sakdiah menggeleng kepala. Ia cepat-cepat menyekat air matanya dengan ujung mukena yang masih dikenakannya.
“Tidak. Ini air mata bahagia. Ibu bahagia kau tumbuh menjadi anak yang berbakti dan pinter seperti sekarang. Ibu tak akan menangis dan membuatmu tak bisa tidur seperti sekarang. Tidurlah anakku. Nanti pagi, ibu akan mengantarmu ke sekolah,” ujar Sakdiah lagi.
Ibnu terdiam. Ia kemudian tersenyum lebar.
“Kita tidur di atas ranjang yok buk. Nanti ibu masuk angin kalau tidur di atas lantai seperti sekarang,” ujarnya kemudian.
“Kalau ibu sakit, Ibnu tak mau sekolah,” katanya lagi.
Sakdiah mengangguk. Ia kemudian bangun dan membuka mukenanya. Jam sudah menunjukan pukul 02.34 WIB. Masih beberapa jam lagi untuk menunggu azan Subuh berkumandang.
“Kau tidurlah kalau begitu. Ibu akan memelukmu seperti seperti tadi. Selama kau tersenyum bahagia, ibu tak akan menangis lagi. Ibu janji,” ujar Sakdiah.
[Bersambung]