BANDA ACEH – Pengamat politik Aceh, Taufiq A. Rahim, mengatakan kondisi Aceh ini sangat memprihatinkan. Diperkirakan banyak penyelewengan anggaran berbalut pandemi covid-19.
Hal ini disampaikan Taufiq kepada atjehwatch.com, Minggu malam 3 Mei 2020.
“Sementara tidak dapat berharap banyak dari wakil-wakilnya di DPRA, seperti bukan era pemerintahan modern abad ke 21, namun seperti pemerintahan raja-raja dunia abad ke 12. Yang berkuasa terus memperlihatkan kekuasaan yang sumir tanpa kendali dan cenderung otoriter,” ujar Taufiq.
Kata Taufiq, para eksekutif terutama Plt. Gubernur dengan Sekretaris Daerah dan dikoordinasi oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Aceh/Bappeda Aceh, semestinya melibatkan dan mengikut sertakan DPRA sebagai legislatif dalam Pemerintahan Aceh.
“Bukan jalan sendiri dan menujukkan egosentris dalam pengambilan kebijakan publik dan politik anggaran Aceh. Sesuai dengan aturan pada poin 28 keputusan tersebut, mesti secara bersama keterlibatan DPRD untuk Aceh DPRA terhadap pengawasan, maka kehadiran DPRA mesti ada sebagai keputusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Aceh APBA Perubahan. Disamping itu secara politik dan etika politik bahwa DPRA mesti terlibat dalam keputusan atau kebijakan publik dan politik Aceh.”
“Bahwasanya secara melekat fungsi legislatif adalah, fungsi anggaran, pengawasan dan legislasi. Dalam hal ini anggaran belanja perubahan dalam masa darurat pandemi covid-19, secara legalitas mesti sangat diketahui dan dipahami oleh DPRA, jika tidak tidak, sangat berpotensi untuk dipertanyakan legalitasnya. Hal ini sesuai dengan fungsi legislatif, sehingga DPRA benar-benar berfungsi dalam Pemerintahan Aceh, meskipun berbagai alasan seperti sedang reses dan lain sebagainya, bukan malah bereaksi pada saat ada pemotongan dan pengalihan dana sebahagiannya menjadi sangat responsif ada yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat dan kepentingan politik,” ujarnya lagi.
Maka, kata dia, tidak mengherankan sebahagian masyarakat memiliki persepsi miring serta meragukan kapasitas dan kompetensi anggota DPRA, meskipun setelah pelantikan September 2019 yang lalu mendapatkan “coaching” dari para pakar dan ahli di Bukit Tinggi-Sumatra Barat.
“Tetapi pada realitas saat ini selalu ketinggalan dan ditingalkan eksekutif, bahkan jikapun diundang DPRA hanya Sekda dan Kepala SKPA yang hadir, mereka hanya pelaksana di Penerintah Aceh, bukan pengambil kebijakan dan keputusan untuk aktivitas demi kepentingan rakyat Aceh. Secara politik kekuasaa posisi eksekutif dan legislatif sama serta setara dalam demokrasi modern. Terlepas siapa memanfaatkan siapa atau siapa yang bodoh dan membodohi siapa.”