Sosok itu adalah Nasruddin A. Wahab. Pria berusia 43 tahun ini didakwakan melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara dan ujaran kebencian melalui media sosial.
Konon, pada Minggu 11 Oktober 2020, sekitar pukul 17.00 WIB, bertempat di Jalan Umum Gampong Glee Gapui, Kecamatan Indrajaya, kabupaten Pidie dan di Gedung Non Gelar Teknologi Universitas Jabal Ghafur, gampong Glee Gapui, Kecamatan Indrajaya, kabupaten Pidie, terdakwa bersama dengan saksi bernama Zulkifli alias Rafli alias Si Li bin M. Rasyid dan M. Jafar Bin Umar (DPO-red) memasang spanduk bertuliskan, “Kamoe simpatisan ASNLF, meununtut Acheh pisah deungoen indonesia, Acheh Merdheka.”
Artinya,“Kami Simpatisan ASNLF, Menuntut Aceh Pisah dengan Indonesia, Aceh Merdeka.” Ada gambar bendera bintang bulan warna merah bergaris pinggir hitam dan putih yang diikat pada dua bilah bambu.
Yang mana, saksi Zulkifli alias Rafli Alias Si Li bin M. Rasyid dan M. Jafar Bin Umar (DPO) sedang mengikatkan spanduk tersebut pada 2 bilah bambu masing-masing di ujungnya.
Sedangkan terdakwa Nasruddin Alias Din A. Wahab yang merekam atau membuat video dengan menggunakan sebuah Handphone pada saat pemasangan dan menaikkan spanduk tersebut bertempat di Jalan di Gampong Glee Gapui dan di Gedung Non Gelar Teknologi Universitas Jabal Ghafur.
Nasruddin kemudian ditahan oleh aparat keamanan setempat. Ia didakwa kasus “kejahatan terhadap keamanan negara.”
“Nasruddin dan Zulkifli adalah simpatisan ASNLF,” tulis salah seorang petinggi ASNLF di mail yang terkirim ke redaksi atjehwatch.com, Kamis malam 11 Februari 2021.
ASNLF adalah kepanjangan dari Aceh-Sumatra National Liberation Front. Organisasi ini memakai nama yang sama dengan gerakan sebelumnya dan menuntut kemerdekaan Aceh.
ASNLF meminta media memantau proses peradilan Nasruddin.
Dari mail yang dikirim ASNLF, dua simpatisan tadi dijerat dengan Pasal 106 dan 160 KUHPidana dan Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena melakukan “tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara dan ujaran kebencian” melalui media sosial pada Minggu 11 Oktober 2020.
“Informasi akurat yang kami terima, bahwa pihak Pengadilan Negeri Sigli dituding tidak transparan, karena adanya terjadi ketidak konsistensi informasi tentang bagaimana proses persidangan digelar,” tulis ASNLf di mail tadi.
“Sejatinya persidangan pertama berlangsung pada 26 Januari, namun para terdakwa berkeberatan untuk disidang tanpa didampingi oleh penasehat hukum, sehingga persidangan ditunda sampai 2 Februari. Kemudian diketahui bahwa ketidakhadiran penasehat hukum, disebabkan oleh tidak adanya pemberitahuan sebelumnya dari pihak berwenang,” tulis mereka lagi.
Dalam mail tadi, ASNLF mengklaim bahwa proses peradilan di Pengadilan Negeri Sigli telah melanggar Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipill dan Politik (ICCPR) dimana Indonesia telah ikut meratifikasinya.
“Konvensi hak-hak sipil dan politik ini menjamin setiap warga negara bebas untuk berpendapat, berekspresi dan berkumpul,” tulis mereka.
Sementara itu, pantauan atjehwatch.com di situs sipp.pn-sigli.go.id, dalam sidang tanggal 2 Februari, pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), Dahnir SH, telah membaca surat dakwaan dalam kasus makar tersebut dan selanjutnya pihak penasehat hukum dari LBH Banda Aceh juga telah menyampaikan eksepsinya terkait dakwaan JPU.
Dalam kasus ini, JPU telah menggunakan pasal 106 (pasal makar) KUHPidana dengan ancaman hukuman seumur hidup terhadap aksi-aksi damai seperti yang dilakukan oleh kedua terdakwa.
Sedangkan jajaran PN Sigli yang coba dikonfirmasi oleh wartawan terkait mail tadi mengaku enggan berkomentar. []