Oleh Mulia Mardi
DALAM sejarah banyak menceritakan bahwa Aceh salah satu daerah yang sangat strategis pertukaran budaya secara signifikan yang datang dari berbagai bangsa ke Aceh sebagai tempat persinggahan para pedagang antar negara. Sehingga, melahirkan peradaban dan kebudayaan serta terjadinya transmisi dalam hal keagamaan.
Pada abad ke 16 banyak orang-orang datang ke Aceh dari berbagai negara serta berbagai tujuan masing-masing.
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Ar-Raniry. Dipanggil Ar-Raniry karena beliau dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak bagian pesisir Gujarat (India). Ia adalah keturunan campuran India-Arab dari keluarga sufi dan ulama. Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian melanjutkan ke Tarim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian ia pergi ke Mekkah pada tahun 1030 H (1582 M) untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah. Dan meninggal dunia pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India.
Kedatangan Ar-Raniry untuk pertama kali di Aceh tidak mendapatkan sambutan dari sultan yang berkuasa saat itu (Iskandar Muda 1636). Hal ini disebabkan ia membawa ajaran yang menentang paham yang berkembang saat itu “wujudiyyah”. Paham wujudiyah tersebut menjadi keyakinan Sultan Iskandar Muda dan tersebar di seluruh negeri, ulama yang sangat berperan yaitu Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin Sumatrani muridnya Hamzah Fansuri yang merupakan orang kedua setelah Sultan yang bertindak sebagai penasehat dan Mufti kerajaan. Melihat kondisi ini maka Ar-Raniry melanjutkan perjalanannya ke Pahang dan tinggal disana beberapa tahun. Saat itu, kerajaan Pahang dipimpin oleh Sultan Ahmad.
Pada zaman Iskandar Tsani ia kembali lagi ke Aceh, dan menetap dari tahun 1637 sampai 1644 di bawah perlindungan sultan Iskandar Tsani. Ketika berada di Aceh untuk yang kedua kalinya ini, ia mendapat tempat di istana, dan banyak menghasilkan tulisan.
Pada saat Syaikh Nuruddin kembali lagi ke Aceh untuk yang kedua kalinya, suasana politik dan agama Aceh sudah berubah. Syekh Syamsuddin Sumatrani sudah meninggal dan enam tahun berselang Sultan Iskandar Muda juga meninggal.
Kemudian kerajaan Aceh dipimpin oleh Iskandar Tsani berasal dari Pahang yang tidak lain merupakan menantu dari Sultan Iskandar Muda. Pada masa inilah Nuruddin Ar-Raniry bisa berkiprah di Aceh karena selain dipercaya oleh Sultan, ia juga mendapat kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Mufti pengganti dari Syamsuddin Sumatrani.
Syaikh Nuruddin Ar-Raniry juga sering dikenal sebagai seorang Syaikh dalam Tarekat Rifa’iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i (Wafat 578H/ 1181 M). Ia ditunjuk oleh Ba Syaiban sebagai khalifah dalam tarekat Rifa’iyyah dan beliau bertanggung jawab untuk menyebarkannya di wilayah Melayu-Indonesia. Kendati Ar-Raniry dianggap sebagai khalifah tarekat Rifa’iyyah tetapi tarekat ini bukan bukanlah satu-satunya tarekat yang dikaitkan dengan beliau, ia juga mempunyai silsilah dari Tarekat Aydarusiyah dan tarekat Qadiriyyah.
Nuruddin Ar-Raniry, Tokoh tasawuf yang terkenal dan sebagai pelopor anti paham wujudiyyah di Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Tsani. Dengan segala keilmuan beliau berhasil menjatuhkan dan melenyapkan paham Wujudiyyah yang sedang berkembang saat itu. Dengan ilmu yang dimiliki serta keahlian selain sebagai sufi, juga ahli teolog, ahli fikih, ahli hadits, sejarahwan, ahli perbandingan agama, dan politisi. Kemudian menjadi referensi dalam pengembangan islam di nusantara Melayu dengan tarekat rifa’iyah.
Pada zaman Sultan Iskandar Tsani (1641-1675 ) Nuruddin Ar-Raniry diangkat menjabat sebagai syeikh al-Islam atau mufti penasihat raja. Selama di Aceh 7 tahun waktu yang tergolong sangat singkat dalam menyebarkan ajarab islam sesuai kaidahnya hingga disaat itulah beliau bekerja keras dengan selalu menulis karya karyanya yang dominan menentang doktrin Wujudiyyah yang dianut oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani.
Membumikan hukum Islam di Kerajaan Aceh Darussalam Pada masa tersebut, sebagai usaha Ar-Raniry dalam membersihkan hukum Islam (Syariah) dari pengaruh aliran-aliran wujudiyah; “penyatuan Tuhan pada manusia” yang banyak tersebar di masayrakat Aceh Darussalam saat itu. Karena itulah, Ar-Raniry sebagai Qadli Malikul Adil Kerajaan Aceh Darussalam, melakukan pembersihan Syariah dari aliran-aliran wujudiyah. Salah satu persoalan yang diputuskan dalam fatwanya adalah melarang kegiatan-kegiatan kelompok wujudiyah dan melarang mereka membaca dan mengkaji karyakarya ulama wujudiyah. (Hasjmy, 1977).
Disamping itu, dalam upaya membumikan hukum Islam di Kerajaan Aceh Darussalam, Arraniry membuat karya besar yang disebut as-Shirathal Mustaqim (jalan yang lurus). Kitab ini ditulis Ar-Raniry pada awal tahun masa Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pemerintahan Ratu Shafiyyatuddin Syah puteri Sultan Iskandar Muda dan istri Sultan Iskandar Tsani yang berkuasa antara tahun (1641-1675 M). Kitab ini ditulis oleh Ar-Raniry atas permintaan salah seorang ulama agar ia bersedia menulis kitab fikih Islam Madzhab Syafi’i dengan bahasa Jawi (Melayu) bukan berbahasa Arab untuk memudahkan masyarakat Nusantara saat itu.
Memperkaya kitab As-Shirathal Mustaqim, Ar-Raniry menggunakan kitab-kitab induk dalam madzhab Syafi’iyang ditulis oleh para ulama Madzhab Syafi’I dalam berbagai masanya. Seperti kitab Minhaj al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftiyn yang ditulis oleh Imam Muhyiddin Abu Zakariya bin Syaraf an-Nawawi al-Damasyqi (1233-1277 M), Manhaj al-Thullab berserta syarahnya Fathu al-Wahhab yang ditulis oleh Syaikhul Islam Abu Zakariya Yahya al-Anshari al-Qahiriy (1421-1520 M), Hidayah al-Muhtaj Syarh Mukhtashar Ibnu Haj yang ditulis oleh Imam Syihabuddin Ahmad bin Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki (w. 1566); murid Syaikhul Islam al-Anshari, Kitab al-Anwar li A’mal.
Berikut ini adalah beberapa hasil karya Nuruddin Ar-Raniry, antara lain sebagai berikut:
1). Lathâif al-Asrar (Kehalusan Rahasia), sebuah kitab berbahasa Melayu yang membahas ilmu tasawuf.
2). Nubdzah fi Da’wa azh-Zhil ma’a Shâhibih, yang berisi soal-jawab mengenai kesesatan ajaran Wujudiyyah.
3). Asrâr al-Insân fi Ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahmân (Rahasia Manusia dalam Mengetahui Roh dan Tuhan), sebuah kitab berbahasa Melayu dan Arab yang membahas manusia, terutama roh, sifat, hakikatnya, serta hubungan manusia dengan Tuhan.
4). Hill azh-Zhill (Menguraikan perkataan “Zhill”), sebuah kitab berbahasa Melayu yang bersifat polemik tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah.
5). Mâ’al-Hayât li Ahl al-Mamat (Air Kehidupan Bagi Orang-orang yamg Mati), sebuah kitab berbahasa Melayu tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam dan manusia dengan Tuhan, keqadiman jiwa dan perbedaan syariat dengan hakikat.
6). Fath al-Mubîn ‘ala al-mulhidin
7). Hidayat al-Habib fi al Targhib wa al-Tarhib. Kitab hadits ini berisi 831 Hadits dalam bahasa Arab dan Melayu dan ditulis pada tahun 1045 H (1635 M). dua kitab ini (No.2 dan 3), ditulis di Semenanjung Tanah Melayu dan dibawa ke Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani
8). Jawahir al-‘ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
9). Aina al-A’lam qalb an Yukhlaq.
10). Kaifiyat al-Salat.
Dalam kajian yang dilakukan al-Attas mengenai Ar-Raniry, ia cenderung mendukung argumen Ahmad Daudy. Ia mengatakan Ar-Raniry sebagai ulama yang cerdas, yang dikaruniai kebijaksanaan dan diberkati karena beliau seorang sufi yang tidak toleran dan ortodoks, yang tidak menghargai karya dan pemikiran orang lain apabila ada kesalah pahaman dalam karya karya sebelumnya. Tetapi disisi lain ia dianggap berjasa dalam mengembangkan ilmu keislaman yang integral antara syariat dan tasawuf.
Bukti kecerdasan dan pengetahuan Ar- Raniry yang luas dalam ilmu keagamaan terlihat dari banyaknya karya yang dapat kita peroleh hingga kini. Ia menulis dalam bidang tauhid, tasawuf, fikih ushul dan fikih praktis serta menulis sejarah Aceh masa itu yang sampai sekarang menjadi referensi utama dalam sejarah Aceh.
Sebagian besar karya karyanya berhubungan dengan masalah Tasawuf diantaranya berkaitan dengan penolakannya terhadap paham panteisme yang di nilainya sesat dan uraian lengakap tentang perdebatan melawan pengikut Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada mereka. Nubzah fi Da’wah az-Zil, misalnya memuat topik pemaparan tentang tasawuf dan merupakan penegasan aliran pemikirannya yang menilai konsep panteisme sesat seperti At-Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf.
Pemikiran-pemikiran Nuruddin Ar-Raniry baik yang ditujukan kepada tokoh dan penganut Wujudiyyah maupun pemikirannya secara umum, sesungguhnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bidang pembahasan. Untuk itu kendati pemikiran tasawuf Nuruddin terkesan sangat luas. Tetapi sesungguhnya pemikiran beliau dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Tentang Tuhan. Pendirian Ar-Raniry dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriyah dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah. Pandangan Ar-Raniry hampir sama dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah. Namun, tafsirannya di atas membuatnya terlepas dari label pantheisme Ibn’Arabi.
2. Tentang Alam. Ar-Raniry berpendapat bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh (emanasi) al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan wadah tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang konkret. Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal; nama Rahman ber-tajalli pada arsy; nama Rahim ber-tajalli pada kursy; nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya
3. Tentang Manusia. Menurut Ar-Raniry merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Sebab, merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Juga karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibn ‘Arabi.
4. Wujudiyyah. Inti ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniry, berpusat pada wahdat al- wujud, yang disalahartikan kaum Wujudiyyah dengan arti kemanunggalan Allah dengan alam.
Hubungan syariat dan hakikat. Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut Ar- Raniry, merupakan sesuatu yang tidak benar karena beliau sangat menekankan syariat sebagai landasan esensial dalam tasawuf.
Sanggahan Terhadap Doktrin Wahdatul Wujud Hamzah Fansuri
Kritik utama yang paling banyak diberikan Ar-Raniry kepada Hamzah Fansuri adalah pemikiran tentang wujudiyyah. Sanggahannya tersebut terhadap wujudiyyah Hamzah Fansuri dipaparkan dalam berbagai karangannya dengan mengutip langsung apa yang ditulis Hamzah dalam kitab-kitabnya, terutama kitab: Al-Muntahi, Syaräbu’l ‘Asyiqin, Asrärul’l-‘Arifin. Selain itu, ajaran Hamzah Fansuri juga disanggah secara langsung lewat berbagai polemik terbuka.
Adapun masalah yang terkandung dalam filsafat mistik Hamzah yang disanggah oleh Nuruddin Ar-Raniry dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hamzah mengajarkan ajaran wujudiyyah dalam arti Tuhan berada dalam kandungan (imanen) alam ini. Artinya, Tuhan adalah hakikat fenomena alam empiris.
Menurut Nuruddin Ar-Raniry, menyatakan emanasi Tuhan sama saja dengan menyamakan Tuhan dengan alam/makhluk adalah sesat. Karena dalam pandangannya, Tuhan adalah Transenden yang tidak mungkin dapat ber-maqam dalam diri makhluk, sehingga Ia sama sekali berbeda dengan makhluk. Ar-Raniry menuduh Hamzah telah melakukan hal ini, katanya:
“Katanya bahwa segala arwah dan segala sesuatu itu daripada suku-suku Allah dari kerana Ia berbuat dan menjadikan segala sesuatu. Maka perbuatannya dan yang demikiannya itu jadi daripada-Nya dan kembali pula kepada-Nya jua. Maka segala makhluqat itu suku-suku daripada Allah.”
Dari kutipan di atas jelas bahwa dalam pandangan Ar-Raniry, Hamzah berkeyakinan kalau Allah dan alam pada hakikatnya sama. Hamzah telah menempatkan alam dan Tuhan memiliki hakikat yang sama dan tidak ada bedanya. Hal ini lebih jelas dengan perumpamaan Hamzah tentang Tuhan dengan sebiji pohon kayu. Ar-Raniry mengatakan:
“Maka sekarang kun yatakan pula kepadamu setengah daripada i’tiqad kaum wujudiyyah yang dibawa angin, yaitu Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as- Sumatrani dan segala yang mengikut keduanya. Kata Hamzah Fansuri dalam kitabnya yang bernama muntahi pada merencanakan sabda Nabi (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu) barang siapa mengenal dirinya bahwasanya mengenal Tuhannya; arti mengenal Tuhannya dan mengenal dirinya, nyakni Diri (kuntu khanzan makhfiyyan) itu dirinya, dan semesta sekalian alam dalam ilmu Allah. Tamsil seperti biji dan pohon; pohonnya dalam biji itu lengkap serat dalam biji itu. Maka nyatalah dari perkataan wujudiyyah itu bahwa seru semesta alam sekaliannya ada lengkap berwujud dalam Haq Ta’ala. Maka keluarlah alam dari padanya-Nya seperti pohon keluar kayu keluar daripada biji. Maka i’itiqad yang demikian itu kufur”.
2. Hamzah mengatakan bahwa nyawa itu bukan Khalik dan bukan makhluk. Ar-Raniry mengutip perkataan Hamzah dalam kitabnya Asräru’l-‘Arifin sebagai berikut: “Adapun barang yang jadi di bawah kun fayakun, syu’un žäti dinamai ahlussuluk Kata ahlussuluk nyawa amr Allah itu belum datang kebawah ‘kun fayakun’ kata ahlussuluk, titah di atas ‘jadi kau’, menjadi! apabila di atas ‘jadi kau’ menjadi khalik pun tiada, makhluk pun tiada karena itu kata ahlussuluk: Khalik pun tiada, karena ia titah Allah Subhanahu wa ta’ala.”
Ar-Raniry menolak perkataan Hamzah bahwa semua ahlussuluk berpendapat seperti itu, yakni nyawa manusia itu bukan Khalik dan bukan makhluk. Menurut Syekh Nuruddin, semua ulama berpendapat bahwa nyawa itu makhluk karena dijadikan Allah dengan ciptaan kun. Syekh Nuruddin mengiyakan, dan karena itu nyawa manusia itu baharu. Sedangkan Hamzah mengatakan bahwa nyawa itu Amr Allah, bukan ciptaan dari firman Kun, dan karena itu ia qadim berbeda dengan ciptaan alam ini.
3. Hamzah mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Menurut Ar-Raniry, Hamzah keliru menyatakan Alquran sebagai makhluk sebagaimana kaum Qadariyah dan Mu’tazilah dalam sejarah Islam. Ar-Raniry mengatakan:16 “Dan setengah daripada mereka itu (Qadariyyah, Mu’tazilah) i’tiqadnya bahwa Alquran itu makhluk. Maka i’tiqad yang demikian itu kufur, seperti sabda Nabi saw: “Man qala inna Alquran makhlukun fahuwa kafir”. Demikian lagi i’tiqad Hamzah Fansuri dalam kitab yang berjudul Asrarul ‘arifin, katanya bahwa Alquran yang dibawa Jibril itu dapat dikatakan makhluk.
4. Hamzah mengatakan bahwa nyawa berasal dari Tuhan dan akan kembali bersatu dengan-Nya, seperti ombak kembali ke laut. Tentang hal ini Syekh Nuruddin menulis sebagai berikut: “Dengar pula olehmu kata kaum wujudiyyah yang mulhid pada menafsirkan firman Allah: Ya ayyatuha’l-nafsul mutmainnah irji’i ilä rabiki rädiyatan mardiyyah, yakni datang nafs mutma’in itu pun daripada allah jua dan kembali nya pun kepadaNya jua; demi Allah!, jangan lagi syak. Soal betapa arti firman Allah ta’ala itu? Jawab : adapun artinya itu seperti semisal … ombak itu daripada laut jua dan kembalinya pun kepadanya jua. Artinya karena wujud kita itu wujud Allah, nyakni zat Allah Ta’ala jua demi Allah tiada lain demi Allah manakala luputlah kita daripada pengetahuan dan dari pada pihak ta’ayyun dan daripada pihak batin kitapun, maka sampailah kepada kunhi kita, yakni zat Allah Ta’ala.
Apa yang disebut oleh syekh Nuruddin itu memang ada ungkapan dalam kitab Muntahi, di mana Hamzah menulis sebagai berikut: “Yä ayyatuha’l-nafsu l-muthmainnah, irj’I ilä rabbika rädhiyatan mardhiyyah; fa dkhuli fi’ibädi wa dkhuli jannati. Hai segala kamu bernyawa muthmainnah! Pulanglah kamu kepada Tuhan kamu radhi Ia akan kamu. Maka masuklah surga- Ku, hai hamba-hamba-Ku! Artinya datangnya pun daripada laut, pulangnya pun kepada laut juga karena pada orang berahi wasal, jannah itulah yang dikatakan dalam ayat: fa dkhuli fi’ibädi wa dkhuli jannati. Pulanglah ia kepada tempat kuntu khanzan makhfiyyan.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Hamzah dalam masalah ini sesuai dengan ajaran yang tidak menyalah aturan yang dianutnya, akan tetapi banyak yang salah mengartikan tentang wajdatul wujud yang disampaikan oleh hamzah fansuri. Seperti, Jika Tuhan memang imanen dalam alam empiris ini, maka kematian manusia berarti kepulangannya bersatu dengan Tuhannya, seperti halnya ombak yang berasal dari laut juga kembali bersatu dengan laut. Dari itu wajarlah apabila Hamzah menafsirkan ayat-ayat Alquran seperti di atas yang berbeda dengan pengertian yang dianut dalam kalangan ahlussunnah. Oleh karena itu, sanggahan Syekh Nuruddin terhadap masalah ini merupakan lanjutan dari sanggahannya terhadap Wujudiyyah. Bagi Syekh Nuruddin, yang ada hanyalah Tuhan, sedangkan yang selain-Nya tidak ada. Karena itu mustahil manusia yang tidak ada akan bersatu dengan Tuhan yang maha ada. Ia menolak tamsil ombak yang kembali bersatu dengan laut:
“Ombak dengan laut yang ditamsilkan arif itu tiga perkara: pertama air, kedua laut, ketiga ombak. Maka tiada ada di dalam tiga itu melainkan esa jua, yaitu air yang mutlak. Dan laut itu nama sesuatu kelakuan airkan dirinya, maka dinamai akan dia laut, maka nyatalah tiada wujud pada laut itu hanya nama I’tibari juga, demikian lagi ombak itupun nam sesuatu kelakuan air jua, apabila ia menimbulkan dirinya dengan merendah tinggi sebab ditiup angin, maka dinamai akan dia ombak. Dan apabila teduhlah ombak, maka tiadalah dinamai akan dia ombak. Maka nyatalah namanya itu pun I’tibari jua, sekali-kali tiada baginya wujud. Maka betapa ia kembali kepad air dari karena adalah ia ‘adam.”
Selanjutnya Syekh Nuruddin mengatakan bahwa penafsiran yang dilakukan Hamzah Fansuri terhadap ayat tersebut, di atas (Q.S 2: 156) dapat menimbulkan pengingkaran adanya surga dan neraka seperti yang diajarkan dalam agama.
“Maka dimaknakan oleh kaum Wujudiyyah yang zindik itu seperti makna pada ayat “inna li’l-lähi wa innä ilaihi räji’ün’, adalah maksud mereka itu bahwa alam itu keluar daripada Wujud Allah dan kembali ia jua menjadi bersatu dengan Dia. Karena pada mereka itu tiada surga dan neraka dan tiada ada pada mereka itu Tuhan, hanya ia bertuhankan dirinya sendiri.”
Sedangkan arti yang diberikan oleh para mufassirin terhadap ayat-ayat tersebut, kata Syekh Nuruddin, adalah bahwa manusia itu milik Allah dan juga segala amalnya akan kembali kepada-Nya. Jika amalnya baik, ia akan dimasukkan ke dalam surga, dan jika buruk dimasukkan kedalam neraka.
Peranan Nuruddin Ar-Raniry Terhadap Perkembangan Dunia Islam
Nuruddin Ar-Raniry adalah salah satu orang yang sangat berjasa dalam perkembangan dunia Islam (khusunya; Melayu-Indonesia; Aceh), meskipun masa kariernya di Nusantara relatif sebentar. Ada beberapa poin signifikansi yang dilirik Ar- Raniri dalam kekiprahannya tersebut, yaitu:
1. Memperkenalkan tokoh-tokoh terkemuka ke Nusantara. Melalui karya-karyanya tidak dapat disangkal kalau Ar-Raniry juga memainkan peranannya dalam penyebaran pembaruan. Kebiasaannya mengutip banyak tokoh ahli terkenal dan karya-karya standar untuk mendukung argumen-argumennya di seluruh tulisannya yang merupakan sarana penting bagi penyebaran gagasan pembaruannya. Dengan cara ini, ia memperkenalkan para tokoh ahli kepada kaum Muslim di Nusantara. Lebih jauh lagi, dengan memperkenalkan dan menyebarkan ke Nusantara penafsiran Islam yang dipegang aliran utama kaum ulama dan sufi di pusat-pusat pengetahuan dan keilmuan Islam, dia memberikan daya dorong yang kuat untuk lahir dan berkembangnya pembaruan di kalangan Muslim Melayu. Penguasaan Ar-Raniry atas bahasa Arab, Persia, Urdu, Melayu dan Aceh sangat membantunya dalam membangun reputasi ilmiahnya
2. Dengan karya-karya polemiknya melawan apa yang dianggapnya sebagai Wujudiyyah “sesat”, Ar-Raniry merupakan orang pertama di Nusantara yang menjelaskan perbedaan antara penafsiran dan pemahaman yang salah maupun yang benar atas doktrin-doktrin dan praktik-praktik sufi.
3. Dalam hal tulisan-tulisan Ar-Raniry mengenai syariat dan fiqih (kitab: Shirath Al- Mustaqim), ia adalah ‘alim pertama di Nusantara yang mengambil inisiatif menulis semacam buku pegangan standar mengenai kewajiban-kewajiban agama (fiqih) yang mendasar bagi semua orang. Meskipun aturan-aturan syariat atau fiqih dalam batas- batas tertentu telah terkenal dan dipraktikkan sebagian kaum Muslim MelayuIndonesia, tidak satu pun karya Melayu yang dapat diacu sebelum munculnya karya ar- Raniry. Karena itu, tidak sulit memahami mengapa karya ini menjadi sangat populer dan masih digunakan sampai hari ini di beberapa bagian dunia Melayu-Indonesia.
4. Dalam bidang politik. Ar-Raniry selama kariernya di Aceh, sebagai Syaikh Al-Islam Kesultanan. Di antara tugas-tugasnya adalah memberi nasihat kepada Sultan Iskandar Tsani -yang baru saja naik takhta- dalam berbagai masalah, baik yang bersifat religius maupun politis. Dalam karyanya Bustan al-salathin, dia mengungkapkan bagaimana dia menasihati Sultan dalam fungsinya sebagai penguasa dan khalifah Tuhan di bumi. Dengan mengutip ayat al-Qur’an, dia menjelaskan kepada Sultan tanggung jawab dan kewajibannya kepada rakyat; melindungi yang lemah dan mendatangkan kebaikan bagi rakyat akan membuatnya dilindungi dan dirahmati Tuhan. Barangkali karena nasihat- nasihatnya, Sultan Iskandar Tsani menghapuskan hukuman-hukuman yang tidak Islami bagi para penjahat, seperti “mencelup minyak” dan “menjilat besi”.
5. Bidang hadist Nabi Saw. Menurut, ar-Raniry, penerapan syariat tidak dapat ditingkatkan tanpa pengetahuan lebih mendalam mengenai hadis Nabi. Karena itu dia mengumpulkan dalam karyanya Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tartib sejumlah hadis yang ditrjemahkannya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu agar penduduk Muslim mampu memahaminya secara benar. Dalam risalah ringkas ini, dia menginterpolasikan hadis-hadis dengan ayat-ayat Alquran untuk mendukung argument-argumen yang melekat pada hadis-hadis tersebut. karya ini merupakan rintisan dalam bidang hadis di Nusantara dan karenanya, menunjukkan pentingnya hadis dalam kehidupan kaum Muslim.
6. Di Bidang sejarah. Pengaruh Ar-Raniry dalam bidang sejarah tidak kalah besarnnya. Dialah penulis pertama di tanah Melayu yang menyajikan sejarah dalam konteks universal, yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan sejarah Melayu. Bustan al- Salathin merupakan salah satu buku terpenting tentang sejarah awal Melayu-Indonesia. Ia merupakan sumber yang tak tergantikan untuk rekontruksi sejarah awal Islam di wilayah Melayu-Indonesia. Makna pentignya semakin jelas mengingat kenyataan, bahwa sejarah Islam di wilayah ini kebanyakan ditulis berdasarkan sumber-sumber Barat. Keahlian Ar-Raniry menyangkut sejarah Nusantara jelas luar biasa.
7. Dalam bidang perkembangan bahasa Melayu sebagai lingua franca di wilayah MelayuIndonesia. Dia bahkan diklaim sebagai salah seorang pujangga Melayu pertama. Meski bahasa ibu Ar-Raniry bukanlah Melayu, penguasaannya terhadap bahasa ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Seorang ahli bahasa Melayu-Indonesia menyatakan, bahasa Melayu klasik Ar-Raniry tidak menunjukkan kekakuan yang sering terlihat dalam bahasa melayu pra-klasik. Dengan demikian, karya-karya Ar-Raniry dalam bahasa Melayu juga dianggap sebagai karya sastra dan, sebab itu, memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan bahasa Melayu sebagai bahas ilmu pengetahuan.[]