Sikap DPR Aceh yang tak kunjung menetapkan paripurna penandatanganan kesepakatan menjalankan MoU Helsinki bagi pasangan Cagub dan Cawagub Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi, hingga Jumat malam 21 September 2024, menimbulkan tanda tanya bagi public Aceh.
Kenapa DPR Aceh begitu ‘menganak-tirikan’ pasangan Bustami-Fadhil? Apakah DPR Aceh yang mayoritas diisi oleh partai pengusung Muzakir Manaf-Fadhlullah, ingin agar pasangan ini gagal dan kemudian melempar ‘bola panas’ kembali ke KIP Aceh.
Agar KIP Aceh bisa menetapkan Bustami-Fadhil berstatus Tidak Memenuhi Syarat (TMS) yang kemudian pasangan ini gugur sebagai peserta pemilu, dan kemudian menjalankan scenario Mualem-Dekfad melawan kotak kosong.
Atau ini cara lain dari DPR Aceh untuk meningkatkan simpati masyarakat agar elektabilitas Bustami-Fadhil meningkat dan memenang pilkada Aceh 2024.
Sikap DPR Aceh yang ‘agak lain’ ini memang harus disorot dari berbagai sudut. Bukan cuma sisi negative, tapi jadi pendorong simpati public Aceh.
Ini karena sikap DPR Aceh terkesan sangat ‘kekanak-kanakan.’
Keberpihakan mereka terlihat jelas jelang pilkada Aceh 2024. Mereka (DPR Aceh-red) terlihat begitu melatih ‘Bustami-Fadhil’ dari dua sosok yang bukan apa-apa menjadi dua pribadi yang kuat.
Yang oleh DPR Aceh, terutama anggota Banmus, harus dipotong ‘pucuknya’ sebelum ditetapkan sebagai calon.
Padahal, berdasarkan hasil survei LSI yang dipublikasi oleh sejumlah media online, elektabilitas Muzakir jauh lebih unggul dari Bustami per Juli 2024.
Semestinya, DPR Aceh melalui Banmus, membuka ruang bagi pasangan lainnya untuk ikut bertarung di pilkada Aceh. Tok, hasilnya belum tentu juga dimenangkan oleh Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi.
Dari sisi isu, apa yang dilakukan Banmus DPR Aceh, tak lebih dari upaya meningkatkan elektabilitas Bustami-Fadhil.
Kini, setelah DPR Aceh tak kunjung menggelar paripurna untuk agenda penandatanganan sepakat menjalankan butir MoU Helsinki, bola panas Kembali ke KIP Aceh.
Keputusan mereka juga akan menjawab asumsi public Aceh selama ini. Bahwa proses seleksi KIP Aceh juga hasil ‘kompromi politik’ atau memang mereka independent setelah terpilih.
Tanggal 22 September 2024 menjadi jawaban bagi public terkait independensi komisioner KIP Aceh.