Oleh Abu Mustafa. Penulis adalah pengamat media dan isu politik di Aceh.
Kabarnya, Qanun Bendera Aceh sudah sah dan dilembar Aceh-kan. Tiang untuk ‘Bulan Bintang’ pun bahkan sudah lama dibuat dan berdiri. Salah satunya di depan DPR Aceh. Tinggal menunggu keberanian dari pimpinan tertinggi eksekutif Aceh untuk mengeksekusi aturan tersebut supaya berjalan di seluruh Aceh. Kalau mau, selembar surat masalah bisa selesai.
Seperti halnya intruksi penghentian aktivitas saat azan tiba. Pengibaran Bendera Bulan Bintang juga bisa dilakukan melalui intruksi yang sama atau Ingub. Apalagi gubernur Aceh dan pimpinan tertinggi di Aceh adalah Muzakir Manaf atau Mualem. Namun harapan tersebut belum terjadi hingga kini. Apakah Mualem juga tak berani?
KEBERADAAN Bulan Bintang sebagai bendera Aceh sudah lama menimbulkan polemic di Aceh. Harusnya persoalan tersebut bisa tuntas jika eksekutif Aceh berani mengambil sikap.
Diketahui, Pemerintah Aceh telah mensahkan penggunaan bendera GAM menjadi bendera Provinsi Aceh melalui qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh. Hal ini dilakukan semasa pemerintah ZIKIR atau Zaini Abdullah sebagai gubernur dan Muzakir Manaf sebagai wakil gubernur Aceh pada saat itu.
Pendirian tiang bendera untuk Bulan Bintang yang berdampingan dengan tiang Merah Putih juga telah dilakukan. Hal ini bisa di lihat di depan DPR Aceh. Namun hal serupa belum diikuti oleh sejumlah dinas lainnya di Aceh. Termasuk kabupaten kota di Aceh.
Persoalnya muncul saat Pemerintah Pusat kabarnya telah membatalkan Qanun Bendera Aceh.
Dikutip dari berbagai media, Kementrian Dalam Negeri pernah menyurati Presiden Joko Widodo, soal pembatalan Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh. Hal itu dilakukan karena Pemerintah Aceh dan DPRA dianggap tidak merespon perihal tersebut.
Dalam surat bernomor 188.34/2723/SJ yang dikeluarkan di Jakarta, 26 Juli 2016, sehubungan dengan rapat koordinasi terkait isu strategis tentang otonomi khusus di Kementerian Koordinator Polhukam dilaporkan kepada Presiden.
Dalam surat yang ditandatangani oleh almarhum Tjahjo Kumolo tersebut juga menyebutkan, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan kementerian atau lembaga dan TNI, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung disepakati untuk qanun tersebut untuk dibatalkan.
“Tujuan pembatalan qanun dimaksud adalah untuk menjamin kepastian hukum, mengutamakan kedaulatan NKRI serta meredam munculnya gerakan anti pemerintah Republik Indonesia,” tulisnya saat itu.
Sebelum surat Mendagri itu terbit, Cahyo Kumulo mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) nomor 188.34-4791 tahun 2016, tanggal 12 Mei 2016 tentang pembatalan beberapa ketentuan dari Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Kepmen tersebut memutuskan pertama, membatalkan beberapa ketentuan dari Qanun Aceh nomor 2 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, sebagaimana tercantum dalam lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan menteri ini.
Kedua, Gubernur Aceh segera menghentikan pelaksanaan beberapa ketentuan dari qanun yang dibatalkan dimaksud, dan selanjutnya gubernur bersama DPRA mencabut qanun yang dibatalkan dimaksud paling lambat 7 (tujuh) hari menghitung sejak diterimanya keputusan menteri ini.
Ketiga, dalam hal Gubernur Aceh dan/atau DPRA tidak dapat menerima keputusan menteri ini dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan undang-undangan, Gubernur Aceh dan/atau DPRA dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan menteri ini diterima.
Keempat, keputusan menteri ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
Semestinya persoalan bendera Aceh sudah selesai dengan adanya keputusan tadi. Namun yang jadi persoalan, DPR Aceh ternyata bersikeras kalau Qanun Bendera Aceh masih sah.
DPR Aceh beralasan pihaknya dan eksekutif tak pernah menerima surat pembatalan tersebut. Dengan kata lain, legislative Aceh masih menyakini jika Qanun Bendera Aceh sudah sah.
Lantas kenapa juga bendera Bulan Bintang belum berkibar di lingkup SKPA di seluruh Aceh? DPR Aceh beralasan bahwa tanggungjawab eksekusi Qanun Bendera Aceh berada di tangan eksekutif atau dengan kata lain, ‘eksekutif Aceh’ tak berani menjalankan amanah qanun tersebut. Yang mana perlu diketahui, pemerintah Aceh di periode yang lalu dijabat oleh Irwandi-Nova.
Di lapangan, isu Bendera Bulan Bintang juga masih hangat diperbincangkan. Dalam setiap momen kampanye, persoalan bendera selalu jadi ‘dagangan politik.’
“Tapileh awak droe teuh. Supaya Bulan Bintang berkibar.” Begitu bahasa yang umum terdengar saat itu.
Demikian juga saat Pilkada 2024 lalu di Aceh. Isu bendera Bulan Bintang dan ‘orang dalam’ Prabowo di Aceh, membuat Muzakir Manaf dan Fadllullah terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh.
Sebagai ‘ureung droe teuh‘ persoalan Bulan Bintang sebagai bendera Aceh harusnya bisa segera selesai. Apalagi Muzakir Manaf adalah gubernur sekaligus orang terdekat presiden untuk Aceh.
Namun dalam realisasinya, persoalan bendera kini justru tak terdengar ada tindaklanjut yang berarti. Mualem bahkan tidak berani memerintahkan SKPA untuk mengibarkan bendera Bulan Bintang di seluruh Aceh. Konon lagi untuk perintah ke Lembaga vertical di Aceh. Baik melalui Ingub atau lainnya. Inilah yang menjadi persoalan serius.
Muzakir Manaf harusnya menuntaskan persoalan bendera Aceh. Kalau memang Bulan Bintang sudah sah, maka kibarkan. Kalau memang belum, Muzakir Manaf bisa lebih arif dan mengungkapkan ke public Aceh. Bendera Aceh bisa diganti dengan gambar lain sehingga polemic selesai.
Seperti kata Abu Doto semasa menjabat Gubernur Aceh. “Geutanyoe bek abeh batere bak peu bulat-bulat lampu senter.”
Penulis hanya berharap agar polemic Bulan Bintang selesai di Aceh serta bukan isu politik saat pilkada belaka.