Oleh: Vina Wahyuni. Penulis adalah mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasin Universita Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.
GAMPONG atau desa di Indonesia, adalah entitas yang lebih dari sekadar wilayah administratif. Ia adalah rumah bagi jutaan jiwa, pusat kebudayaan, dan fondasi peradaban.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, gampong telah menapaki babak baru dalam sejarahnya, dengan otonomi dan kewenangan yang jauh lebih besar, ditopang oleh alokasi dana desa yang signifikan.
Ini adalah revolusi senyap yang berpotensi mengubah wajah perdesaan Indonesia. Namun, seperti layaknya pedang bermata dua, otonomi ini juga membawa serta tanggung jawab besar dan kompleksitas yang tak sederhana.
Di sinilah pendampingan pembangunan gampong muncul sebagai arsitek vital, sebuah investasi krusial yang menentukan apakah impian tentang desa yang mandiri dan sejahtera akan benar-benar terwujud, ataukah hanya berakhir sebagai angan-angan yang terganjal inefisiensi dan penyalahgunaan.
Undang-Undang Desa tahun 2014 bukan sekadar regulasi biasa; ia adalah mandat konstitusional untuk mengembalikan kedaulatan kepada gampong.
Dengan adanya dana desa yang mengalir langsung ke rekening gampong, harapan untuk pembangunan yang partisipatif, sesuai kebutuhan lokal, dan berbasis potensi asli gampong membuncah.
Gampong tidak lagi hanya menjadi objek pembangunan, melainkan subjek aktif yang merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembangunannya sendiri.
Inilah era dimana gampong memiliki kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri, dari pembangunan infrastruktur hingga pemberdayaan ekonomi lokal.
Namun, transisi menuju kemandirian ini tidaklah mulus. Banyak gampong, terutama yang terletak di daerah terpencil atau yang selama puluhan tahun terbiasa dengan pendekatan pembangunan sentralistik, menghadapi serangkaian tantangan akut yang memerlukan penanganan serius.
Salah satunya adalah kesenjangan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Aparatur gampong, mulai dari kepala desa, sekretaris, hingga bendahara, mungkin belum sepenuhnya memiliki pemahaman yang memadai tentang tata kelola pemerintahan yang baik, manajemen keuangan, perencanaan strategis, hingga pemanfaatan teknologi informasi.
Kurangnya literasi hukum dan regulasi juga menjadi hambatan, mengingat implementasi Undang-Undang Desa diiringi oleh banyak peraturan turunan yang kompleks.
Memahami dan mematuhi seluruh regulasi ini adalah tugas berat bagi aparatur gampong yang mungkin memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman terbatas.
Banyak gampong masih terpaku pada pola pembangunan fisik tradisional seperti jalan atau jembatan, dan kurang berani atau kurang memiliki ide untuk mengembangkan potensi ekonomi lokal yang lebih inovatif, seperti Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) yang produktif atau program pemberdayaan masyarakat yang kreatif.
Terakhir, meskipun Undang-Undang Desa menekankan partisipasi, dalam praktiknya, partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di gampong masih sering didominasi oleh elit atau kelompok tertentu, mengabaikan suara perempuan, pemuda, dan kelompok marginal yang sebetulnya memegang peran penting dalam pembangunan yang inklusif.
Inilah mengapa pendampingan menjadi imperatif.
Pendamping, baik yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun organisasi masyarakat sipil, mengisi kekosongan kapasitas tersebut.
Mereka berperan sebagai jembatan informasi, fasilitator, sekaligus katalisator perubahan, memastikan bahwa kewenangan dan dana desa benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat gampong, bukan sekadar menjadi sumber masalah baru.
Peran pendamping jauh melampaui sekadar teknis atau administratif. Mereka adalah fasilitator pembangunan partisipatif, penegak akuntabilitas, dan pendorong inovasi di tingkat gampong.
Tugas mereka sangat kompleks dan membutuhkan kombinasi unik antara keahlian teknis, keterampilan interpersonal, dan pemahaman mendalam tentang konteks lokal.
Peran pendamping pembangunan gampong sangatlah vital, melampaui sekadar teknis atau administratif.
Mereka adalah katalisator utama yang membantu gampong bertransformasi menjadi unit yang mandiri dan sejahtera.
Pada intinya, pendamping adalah mitra strategis yang memberdayakan gampong untuk mengoptimalkan otonomi dan dana desa mereka, membangun kapasitas internal, dan memastikan bahwa pembangunan benar-benar inklusif serta berkelanjutan, demi tercapainya kesejahteraan di tingkat akar rumput.
Oleh karena itu, pendekatan pendampingan haruslah partisipatif, non-instruktif, dan memberdayakan, dan juga harus diingat Pendamping bukanlah “bos” yang memerintah, melainkan “rekan” yang mendampingi, menginspirasi, dan memperkuat kapasitas internal gampong.
Target jangka panjang adalah agar gampong secara bertahap mengurangi ketergantungannya pada pendamping eksternal seiring dengan meningkatnya kemandirian dan kematangan tata kelola mereka.
Meskipun peran vital pendampingan jelas, implementasinya di lapangan tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satu isu krusial adalah kualitas dan kompetensi pendamping yang bervariasi.
Kualitas individu pendamping sangat menentukan keberhasilan program. Di lapangan, pendamping juga kadang menghadapi intervensi politik dan birokrasi yang dapat menghambat pekerjaan mereka.
Perlu ada dukungan kuat dari pemerintah daerah dan pusat untuk melindungi independensi profesional para pendamping yang tak kalah penting adalah isu keberlanjutan pendampingan.
Program pendampingan seringkali bergantung pada proyek atau anggaran tertentu yang memiliki batas waktu.
Penting untuk merancang strategi keberlanjutan jangka panjang, termasuk pengembangan “pendamping lokal” yang berasal dari masyarakat gampong sendiri, serta mendorong mekanisme “desa berbagi desa” atau “replikasi praktik baik” di mana gampong yang telah maju bisa menjadi mentor bagi gampong lain.
Pendampingan pembangunan gampong bukanlah sekadar program pelengkap, melainkan investasi strategis dan fundamental dalam mewujudkan cita-cita otonomi desa.
Ia adalah jembatan yang menghubungkan kebijakan makro di tingkat pusat dengan implementasi mikro yang paling konkret di tingkat akar rumput.
Tanpa pendampingan yang efektif, risiko kegagalan dalam pengelolaan dana desa akan semakin besar, dan tujuan pembangunan gampong yang mandiri, sejahtera, dan partisipatif akan sulit tercapai.
Para pendamping adalah arsitek di lapangan yang, dengan dedikasi dan keahlian mereka, membantu merajut kembali sendi-sendi kehidupan perdesaan.
Mereka mengawal gampong dalam setiap langkah, dari perencanaan yang cermat, pelaksanaan yang transparan, hingga pertanggungjawaban yang akuntabel.
Mereka tidak hanya membantu membangun jalan atau irigasi, tetapi juga membangun kapasitas manusia, memperkuat institusi lokal, dan menumbuhkan semangat partisipasi.