DARI Matang, Bireuen, mobil Dam Truk yang disupiri oleh Ridwan memutar ke arah timur. Melintasi jalan raya untuk menuju Panton Labu. Tak ada rintangan yang berarti sepanjang perjalanan. Minimal hingga Lhokseumawe. Baik Teungku Fiah dan Mustafa lebih banyak tidur dan terdiam sepanjang jalan.
Semalam mereka tak bisa tidur sama sekali. Suara jeritan dan letusan senjata api seolah masih terdengar di telinga mereka.
Mereka sering melalui perang besar. Bahkan beberapa anggota pasukan Teungku Fiah syahid dalam pertempuran. Namun itu adalah jalan hidup mereka. Mereka sudah siap untuk menuai ajal dalam kondisi apapun.
Namun kali ini, kasus sedikit berbeda. Yang meninggal adalah Teungku dayah yang mengabdi diri di jalan agama.
Ridwan sendiri tahu dengan kondisi yang terjadi. Setidaknya, Lemha telah melaporkan beberapa keadaan pada dirinya sebelum diminta untuk menjemput dua petinggi sagoe Simpang Ulim itu.
Ridwan focus pada jalanan yang masih sepi. Hari memang masih pagi. Biasanya tak ada razia di pagi hari. Hal ini pula yang membuatnya yakin jika perjalanan kali ini lebih aman dari biasanya.
Di beberapa tempat, Ridwan melihat tulisan ‘Referendum’ yang dicat dengan warna merah.
Masyarakat dan mahasiswa mulai bergerak akibat penekanan yang kuat dari Pemerintah Pusat selama ini.
“Semalam di sini ada perang tengku. Aku tak tahu dari kelompok mana. Perangnya hampir dua jam,” kata Siwan tiba-tiba saat mereka melintasi Lhoksukon.
Teungku Fiah terdiam. Sedangkan Mustafa tertidur.
“Apakah ada korban jiwa,” tanya Teungku Fiah kemudian.
“Tidak tahu teungku. Aku hanya mendengar informasi dari masyarakat,” ujar Ridwan.
Keduanya kemudian terdiam. Tatapan Teungku Fiah terlihat kosong. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.
“Sampai kapan darah terus mengalir di Aceh. Ya tuhan, lindungi negeri ini dan tempatkan para syuhada Aceh di tempat yang layak di sisi-MU,” kata Teungku Fiah tiba-tiba.
“Amin,” balas Ridwan.
Teungku Fiah menarik nafas panjang. Seolah ada beban yang dipingkulnya dan terasa sangat berat. Tubuh tua itu kian kurus selama mereka tak bertemu.
“Apakah teungku merasa bersalah dengan kondisi yang sedang terjadi,” tanya Ridwan sambil tetap mengemudi truk.
“Ia Wan. Sebagai salah seorang yang dituakan, aku merasa bertanggungjawab dengan mereka yang ikut bergerilya bersama. Beberapa tahun terakhir, banyak tentara nanggroe yang tewas. Istri mereka menjadi janda dan anak mereka menjadi yatim. Tanggungjawab ini harus aku pikul,” ujar Teungku Fiah.
“Kalau perjuangan ini suci, mereka yang meninggal akan mendapat syurga. Tapi kalau ternyata salah, dosa mereka aku yang tanggung,” kata Teungku Fiah.
Penjelasan Teungku Fiah sangat singkat. Namun kata-katanya cukup menusuk hati Ridwan yang mendengarkannya.
“Apakah Teungku mulai ragu dengan perjuangan ini?” tanya Ridwan kemudian.
[Bersambung]