Oleh Dr. Rusli Yusuf
Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala
TAREK pukat merupakan aktivitas para nelayan di Aceh. Jaring besar akan dilempar ke laut saat sang pawang melihat ada kelompok ikan di sekitar bibir pantai dan kemudian ditarik bersama-sama oleh para nelayan.
Kebiasaan ini masih bisa dilihat di pesisir Aceh. Dimana, dalam setiap momen tarik pukat, masyarakat cenderung ikut bersama-sama bergotong royong, bahu membahu guna membantu keringanan beban para nelayan yang sedang bekerja.
Tak ada batasan dalam jumlah penarik pukat tersebut. Setiap masyarakat yang datang dibebaskan untuk membantu hingga akhirnya jaring berada di bibir pantai dan ikan dalam jaring berada di darat.
Di Aceh, setiap ikan yang berhasil ditarik ke darat, akan dibagi oleh pawang untuk semua warga yang datang membantu menarik pukat.
Inilah kearifan local di Aceh. Hasil tangkapan bahkan turut dibagi kepada warga yang ‘cuma melihat-lihat’ di sekitar lokasi.
Dalam tradisi Aceh disebut Hak Raheung. Ini dalam tanda kutip. Artinya mereka yang melihat juga mendapat jatah dari hasil tangkapan.
Kebiasaan ini diwarisi para nelayan pukat dari generasi ke generasi. Tak ada aturan tertulis. Namun masih dipatuhi dan wujud tradisi hingga sekarang.
Kearifan ini berlangsung secara turun temurun di Aceh. Kebersamaan yang terbangun dengan adat dan budaya yang kental di Aceh. Tak lekang oleh waktu dan bahkan bertahan hingga saat ini.

Secara keilmuan, konsep berbagi dalam tarik pukat mengajarkan kepada kita bahwa siapapun tak akan mengalami kekurangan jika mau ‘menyisihkan’ sedikit hasil yang didapatkannya untuk orang lain. Baik yang bekerja maupun yang hanya sekedar melihat ada ikan hasil tangkapan dalam jaring.
Tak hanya di Tarek Pukat, konsep Hak Raheung juga terjadi pada pembagian jatah ‘Boh Pinyeii’ atau telur penyu. Dimana, ketika seseorang menemukan telur penyu dan kemudian turut dilihat oleh orang lain, maka hasilnya wajib dibagi. Walau mereka hanya sekedar melihat dan tak pernah membantu mengumpulkan.
Ada kepercayaan di tengah-tengah masyarakat Aceh, bahwa dengan berbagi hasil temuan telur penyu tersebut akan membawa keberkahan.
Selain itu, konon jika tak dibagi kepada orang lain yang melihat, maka penyu tak akan lagi bertelur di daerah tersebut. Sang penemu juga harus menyisakan beberapa butir telur di sarang tadi.
Kearifan ini mengajarkan kepada masyarakat bahwa berbagi rezeki itu merupakan keharusan. Seseorang tak akan kekurangan rezeki atau pendapatan walau dia berbagi dengan orang lain. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan dalam Alquran.
Distribusi Pendapatan
Dua kearifan local yang berjalan secara turun temurun di Aceh ini, seperti halnya contoh di atas, merupakan bagian dari distribusi pendapatan. Dimana, ada hak orang lain dalam setiap rejeki yang kita dapatkan. Rejeki tersebut kemudian membantu orang di sekeliling untuk hidup lebih baik.
Kearifan ini, jika diterapkan dalam semua aspek kehidupan, maka akan membantu mencegah terjadinya kesenjangan social di tengah-tengah masyarakat.
Dalam bermasyarakat, diperlukan adanya kepekaan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan sekitar. Minimal dari tetangga masing-masing. Saling berbagi dengan tingkat kemampuan masing-masing.
Di kota-kota besar, konsep kearifan ini mungkin sedikit memudar. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan kesenjangan social yang tinggi.
Ada yang memiliki stok makanan yang banyak, tapi di sisi lain, ada juga yang tak memiliki stok untuk dimakan. Yang kekurangan tadi, adalah keluarga pekerja lepas yang sulit mencari rejeki selama wabah berlangsung.
Untuk kondisi ini, tak perlu menunggu turun tangan pemerintah untuk membantu. Cukup kepedulian dari tetangga atau masyarakat sekitar untuk membantu.
Dalam masa pandemi Corona seperti sekarang, konsep berbagi seperti yang diterapkan oleh para indatu kita, harus kembali dibumikan untuk mengatasi persoalan social yang sedang terjadi.
Semua beban akan ringan jika dipikul secara bersama-sama.