+++
DARA dan Ibnu memilih meja yang agak terpisah di pojok warung. Ini agar keduanya leluasa berbicara. Keduanya terlihat kaku meski telah saling mengenal sejak kecil. Mungkin karena terpisah belasan tahun. Keduanya kini tumbuh dewasa.
“Nu, aku minta maaf atas yang terjadi di masa lalu. Sebenarnya, yang menghasut nenek dan keluarga ayah yang datang dari Sumatera Barat untuk tidak mengajak serta kamu ke sana, adalah aku. Ego anak-anakku yang menyalahkanmu atas tragedy yang menimpa keluarga kita belasan tahun lalu,” ujar Dara memulai percakapan.
“Aku benar-benar menyesal. Bertahun-tahun aku merasa bersalah dan mencarimu. Namun tak pernah ketemu,” kata Dara lagi.
Ibnu terdiam. Ia kemudian tersenyum mendengar penuturan Dara. Sejak dulu, ia memang tak pernah menaruh dendam atau sakit hati kepada Dara dan keluarganya di Sumatera Barat yang datang pasca kecelakaan ayah dan ibu angkatnya.
“Jujur, kalau diajak pun aku akan menolak. Ini alasan aku pergi dari rumah. Kuburan ayah dan ibuku di Aceh. Tidak mungkin aku tinggalkan,” ujar Ibnu.
Ibnu kemudian memandang langit langit warung. Kilasan masa lalu muncul satu persatu dalam angannya. Ia kemudian mencoba tersenyum.
“Tak usah kita mengingat masalalu. Ayah dan ibuku, semasa hidup, selalu berpesan agar aku tidak terjebak dengan masa lalu. Mungkin setiap tragedy di masa lalu, ujian untuk kita agar tumbuh lebih baik di masa sekarang,” ujar Ibnu.
Dara mengangguk tanda setuju.
“Aku berpikir sama. Apa yang terjadi di sini adalah ujian untuk kita. Aku tetap mencintai Aceh. Daerah dan orang-orang di sini selalu kurindukan. Terutama kamu,” ujar Dara mencoba mengoda Ibnu.
Wajah Ibnu tiba-tiba merona. Ia tidak tahu jika Dara kini pandai mengoda. Padahal, belasan tahun lalu, mereka selalu bertengkar ketika berada di rumah atau di sekolah. Penyebabnya dimulai dari hal-hal yang sepele, seperti rebutan makanan dan boneka.
“Kakak Dara ternyata sudah pintar godain orang, sekarang ya. Kau pasti memperoleh pendidikan yang baik,” canda Ibnu. Ia sengaja menggunakan kata ‘Kakak’ untuk mengembalikan memori mereka soal status dalam keluarga.
Dara tertawa lepas. Ia kemudian buru-buru mengeleng kepala untuk klarifikasi.
“Aku menyelesaikan SD, SMP dan SMP di Padang. Pendidikan tinggi di Jakarta. Kini bekerja di Kementerian Pariwisata. Tugas inilah yang membuatku kembali ke Aceh. Kemudian mencarimu.”
“Kita bukan kakak-adik. Kita hanya saudara angkat. Aku hanya lebih tua dua tahun darimu. Jadi tak perlu formal,” ujarnya kemudian.
“Lantas bagaimana dengan dirimu, Nu? Kau pasti memiliki banyak rintangan selama ini,” kata Dara lagi.
Kini giliran Ibnu yang tersenyum.
“Jujur. Ada banyak rintangan dalam hidupku. Namun tubuhku telah memiliki antibodi dan daya tahan yang lebih baik setiap muncul masalah baru. Alam mendidikku dengan caranya sendiri. Aku SD hingga SMA di dayah terpadu di Bireuen. Kemudian pendidikan tinggi di Unsyiah. Selesai tiga tahun lalu,” ujar Ibnu.
Keduanya kemudian terdiam.
“Apakah kau sudah menikah?” tanya Dara tiba-tiba.
[Bersambung]