Oleh : Roni Haldi
“Hidup di bawah naungan Al Qur’an adalah nikmat, tak ada yang mengetahuinya kecuali yang telah merasakannya sendiri. Nikmat yang memberkahi mensucikan dan mengembangkan umur.”
Itulah ungkapan penulis Tafsir kontemporer Fi Dzilalil Qur’an, Sayyid Qutub. Di bawah naungan Al Qur’an takkan ada orang yang merasa hina karena himpitan kemiskinan, sombong karena limpahan kekayaan, angkuh besar kepala karena dalamnya ilmu pemahaman dan takut gentar menunggu lahzhah hadirnya kedahsyatan kematian.
Semua isi semesta adalah ciptaan Allah Ta’ala. Kecil maupun besar adalah bersumber semua dari-Nya. Tak ada yang sia-sia dari penciptaan-Nya. Sekecil atau sekedar apa pun dari penciptaan-Nya tetap miliki ibrah berharga. Dengan Al Qur’an, Allah telah mengangkat sebagian manusia dan Ia jatuhkan sebagian lainnya. Yang berinfaq tak pernah dijatuhi kemiskinan, yang berpuasa menahan lapar dahaga tak pernah di dera kematian, yang beramal shaleh tak pernah dirugikan ganjarannya. Setiap hamba diberi ruang dan peluang untuk meneguhkan rasa kehampaannya secara sukarela tanpa ditekan dipaksa. Sebagaimana alam semesta berjalan atas pengamatan dan pengawasan-Nya. Udara diberi sifat berhembus, air disifatkan mengalir, tanah ditugaskan menumbuh membiakkan dan api diberikan wewenang panas membakar.
Siklus kehidupan di dunia terus berjalan dan mengalami taghyir (perubahan). Dari dilahirkan berubah kecil menjadi remaja lalu dewasa kemudian tua dan akhirnya asbab sakit salah satunya membawa menemui ajal akhir episode hidup. Disana ada nilai besar tersembunyi kecuali bagi hamba yang miliki bashirah penuntut hidup. Nilai yang dibantah diragukan para penganut materialisme kebendaan. Bahwa di balik taghyir (perubahan) yang berlaku, ada kekuatan Maha Kuasa dari Allah SWT.
Lihatlah bangsa-bangsa besar sebelum kita, sungguh banyak capaian kemajuan meyakinkan diraih dibukukan oleh sejarah peradaban. Sebutlah tujuh keajaiban dunia, dari piramida di Mesir, tembok besar di China atau Borobudur di Indonesia. Semua itu adalah produk peradaban tinggi manusia. Apakah itu semua dijadikan alat ukur akhir dari sebuah keberhasilan dan kemajuan?
Ka’bah bangunan monumental dalam sejarah, yang tak ditemui pahatan atau lukisan Tuhan sembahan. Ka’bah dan hajarul Aswad tak pernah ada perintah untuk disembah dipuja penduduk dunia. Tak ada tersebut kisah kerja paksa raja penguasa untuk mendirikan membangunnya. Ka’bah yang menjadi pusat bumi dikunjungi saban tahun oleh ummat Islam ternyata hanya dirintis bangunannya oleh seorang ayah dan anaknya, bukan seorang raja dengan kekuatan kekuasaannya.
Perhatikanlah bagaimana taghyir (perubahan) fundamental dilakukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang dimulai diproklamirkan dakwah ilallah dari bukit Shafa. Juga bukan dengan kekuatan kekuasaan, sebagaimana para kaisar dan raja di dunia.
Apa yang sebenarnya diwariskan oleh para Nabi dan Rasul? Bukan kejayaan berbungkus materi peradaban, bukan bangunan yang tinggi menjulang, bukan limpahan kekayaan dan bukan juga pengaruh kekuasaan yang dititipkan turun temurun. Kepada kita hanya diwariskan kalimah baqiyyah (kalimat keabadian). Kalimah tauhid yang berhasil mengukuhkan kecemerlangan akhlak budi pekerti, kemajuan ilmu pengetahuan dan persaudaraan setara tanpa diskriminasi berujung perpecahan. Kalimah itulah yang memantapkan para Nabi dan Rasul serta orang-orang shaleh sebelum kita meraih hakikat kemenangan bukan besarnya kemenangan.
Dibawah naungan Al Qur’an berpindahnya orientasi kehidupan. Berpindah dari poros materialis menuju hakikat tauhid. Dipindahkan dari kehidupan berkumur khamr menindas wanita menuju dakwah membangun peradaban. Mengubah arah kerahiban berselimut ketaatan yang mematikan gairah hidup menuju rabbaniyyah melahirkan dua keshalehan (individu dan sosial).
Dalam Ma’alim fi Ath Thariq, Sayyid Qutub mencatat ada tiga hal utama yang menjadikan taghyir (perubahan) pada generasi awal dakwah Islam. Pertama, menuntut ilmu untuk perubahan bukan semata koleksi panjangan. Kedua, memutuskan hubungan dengan kejahatan untuk selamanya.
Ketiga, Tegak lurus bersama Al Qur’an bagai seorang prajurit di Medan perang.
Risalah kenabian yang berlandaskan Wahyu dari Allah SWT menjadikan orientasi tegak lurus tak
tergoyahkan. Orientasi Ilahiyyah (ketuhanan) bukan maddiyyah (materialis). Standar arahnya keikhlasan bukan pamrih menagih. Tak kenal kata tenang tak bergelombang, tapi jalan yang dipenuhi hentakan dan hempasan gelombang tinggi menjulang. Al Qur’an sandaran yang tak bisa dilampaui akal dijadikan narasi berpikir mengubah kejumudan berbalut ketaatan menuju obsesi penuh tumuhat (optimis) membaca dan menyimpulkan, bahwa setiap masalah yang hadir menerpa pasti akan mengalami perubahan. Tinggal bagaimana kita menggunakan potensi akal yang dituntun Wahyu melampaui ketidakpastian yang menakutkan.
لا تستخفَّنَّ بنعمة مهما قلّت؛ فإن القليل من الكريم كثير
Janganlah engkau meremehkan suatu nikmat meskipun sedikit; karena yang sedikit dari Dzat Yang Maha Mulia itu sesungguhnya banyak. (Syaikh Musthafa As-Siba’i).
Nikmat paling berhaga itu adalah dibukakan akal kita memahami Al Qur’an karena merasakan kehadiran dan dampaknya dalam diri dan kehidupan. Pedoman tunggal yang menyatukan segala bentuk perbedaan pandangan. Kalam mulia yang memberikan kabar buruk dari efek perpecahan. Karena di bawah naungan Al Qur’an membuka akal menyatukan hati.