Penulis adalah dr. Nila Frisanti, mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat FK USK.
KESEHATAN mental merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian sejak pandemi Covid-19 melanda. Kehidupan biasa yang tiba-tiba berubah drastis dari keseharian masyarakat, bahkan awalnya begitu asing, tentu merupakan hal yang tidak mudah.
Keadaan yang tidak pasti kapan wabah berakhir, stressor ekonomi dan sosial yang semakin hari semakin meningkat, keadaan menderita penyakit Covid-19 yang menyebabkan harus menjalani karantina berminggu-minggu, belum lagi kehilangan orang terdekatnya karena Covid-19, stressor pekerjaan khususnya tenaga kesehatan, stigma negatif masyarakat yang berujung pengucilan pasien Covid19, juga peredaran informasi hoax yang begitu cepat dan mudah akan menyebabkan tekanan emosional yang serius pada orang tertentu yang dapat berkembang menjadi gangguan mental.
Dalam suatu web resmi organisasi profesi ahli jiwa di Indonesia, selama Oktober 2020 tercatat 5.661 responden yang berasal dari 31 propinsi yang melakukan swaperiksa, tercatat 32 % mengalami masalah psikologis. Selanjutnya sebanyak 67,4 % mengalami gangguan cemas, terbanyak kelompok usia di bawah 30 tahun, dan 67,3 % mengalami depresi selama pandemi ini. Survei pada 2.132 perawat seluruh Indonesia oleh peneliti dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia pada April – Mei 2020, menunjukkan angka lebih dari setengahnya mengalami kecemasan dan depresi, bahkan ada yang berpikir untuk bunuh diri.
Sehat mental adalah keadaan dimana ketika seseorang yang mengerti dan menyadari kemampuan yang dimilikinya, bisa mengatasi stress dalam kehidupan sehari-hari, dapat bekerja secara produktif dan berkontribusi di masyarakat dimana dia berada.
Perasaan takut, khawatir, cemas, depresi, dan trauma kehilangan merupakan keluhan-keluhan gangguan kesehatan mental yang semakin meningkat di masa pandemi ini. Ketika seseorang merasa mudah tersinggung, gelisah, takut, mengalami gannguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan pola makan, rasa sedih, putus asa, rasa bersalah terus menerus, merasa tidak berharga, menyendiri, bahkan merasa seperti sesak, sakit kepala, berdebar-debar tanpa sebab yang jelas, maka kemungkinan mengalami gangguan mental.
Kasus kesehatan mental merupakan fenomena gunung es di masyarakat, siapa saja, mulai anak-anak sampai lansia dapat beresiko mengalami gangguan kesehatan mental. Umumnya masyarakat tidak menyadari mengalami gangguan kesehatan mental. Jika pun sudah menyadari, akan merasa malu dan tidak mau mengakui dirinya atau keluarganya mengalami gangguan kesehatan mental sehingga mereka tidak akan mendatangi puskesmas, psikolog atau psikiater untuk mencari pertolongan. Dan masalah kesehatan mental ini pun menjadi terabaikan, dan bisa saja menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja.
Kasus gangguan mental sedini mungkin harus mendapatkan perhatian dan diterapi dengan benar. Jika tidak, maka akan berkembang menjadi penyakit kejiwaan yang lebih parah dan kronis serta mengganggu rutinitas harian, menurunkan produktifitas yang bersangkutan, dan dapat mengancam keselamatan jiwa, terutama pada pasien yang memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Peran aktif keluarga dan orang terdekat sangat dibutuhkan untuk mendampingi orang dengan gangguan mental ini. Tidak perlu merasa malu, karena semua orang bisa saja mengalami hal ini. Keluhan gangguan mental ringan dapat disembuhkan dengan terapi yang tepat serta dukungan keluarga dan orang-orang terdekat dan lingkungan pergaulannya.
Peran orang tua dalam pola asuh/didikan keluarga juga sangat penting dalam membentuk karakter seseorang agar lebih mampu bertahan terhadap masalah-masalah kehidupan. Edukasi masyarakat tentunya perlu terus ditingkatkan oleh pihak terkait sehingga pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan mental ini semakin membaik. Dengan demikian masyarakat tidak abai dan dapat lebih peduli dengan tanda-tanda gangguan mental dan memberikan dukungan sosial untuk penderita gangguan mental. Tubuh yang sehat tentunya berasal dari mental yang sehat. []
Discussion about this post