“Assalamualaikum Wr Wb. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Telah berpulang keramatullah saudara kita Budi Satria atau Pang Sumatra di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa pukul 14.50 WIB. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi Allah Swt.”
Pesan singkat ini masuk dalam handphone atjehwatch.com sekitar pukul 15.22 WIB.
Pesan ini adalah kabar yang menyentakan. Penulis menelepon dua kali ‘Si Pengirim’ informasi untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Pasalnya, sehari sebelumnya, kami berdua sempat berkomunikasi lama.
“Bang. Harta nyan jeut tamita. Yang penting ayah dan droneuh sehat geubri lee poe,” ujar dia melalui telepon pada Sabtu siang, 19 Maret 2022 lalu.
Dan, komunikasi tersebut adalah telepon kami untuk yang terakhir kalinya.
Durasi telepon nya sekitar 20 menit lamanya. Dan hari ini, penulis mendengar kabar kalau pria yang memiliki ‘seribu julukan’ itu telah pergi selamanya.
Penulis mengenal sosok pria yang diberi gelar ‘Pang Sumatera’ ini sejak lama. Namun baru akrab sejak 2015 lalu.
Ia adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka Angkatan 1997. Ia dan beberapa anggota GAM lainnya kemudian di-BKO-kan ke wilayah Langkat, Sumatera. Mereka ditugaskan menghidupkan ideologi Aceh merdeka di wilayah Langkat.
Mereka ditugaskan menjadi Pasukan Sumatera. Selain Langkat, juga ada Deli dan Asahan.
Dari sinilah gelar Pang Sumatera akhirnya muncul. Di sisi lain, ia juga disebut sebagai Wakil Panglima (Wapang) Langkat.
Demikian juga dengan nama.
“Saat konflik, saya pernah memakai KTP Musliadi. Makanya ada yang memanggil Muh Wapang. Namun ada juga yang memanggil dengan nama Ameng,” cerita Pang Sumatera beberapa tahun lalu.
“Nama Ameng karena karakter saya yang mudah marah. Makanya rekan rekan seperjuangan memberi gelar itu. Soalnya dulu ada Raider asal Batak yang dikenal garang,” katanya lagi saat itu.
“Nama saya itu Budi Satria. Namun ada yang dipanggil Muh Wapang. Ada Ameng. Di Jakarta, ada yang memanggil Marzuki. Karena semasa konflik, untuk bertahan hidup butuh berbagai cara untuk menyamar,” kata Pang Sumatera tersenyum.
Usai penandatangan damai. Aceh berdamai. GAM turun gunung. Namun persoalan tak sesederhana bagi Pang Sumatera.
“Damai yang diakui hanya dari Tamiang ke Banda Aceh. Sedangkan kami di Langkat dianggap criminal,” kata Pang Sumatera semasa hidup.
“Ada banyak anggota GAM kelahiran Langkat di penjara sebagai criminal. Ada banyak tentara GAM Langkat yang dikubur tanpa status.”
Hal ini pula yang membuat Pang Sumatera semasa hidup ngotot agar batas Aceh kembali sesuai peta 1 Juli 1956.
“Kami tidak ingin minta apa-apa. Kami hanya ingin keberadaan anggota GAM Langkat yang meninggal selama konflik dihargai.”
“Saya tak ingin perjuangan mereka sia-sia. Mereka martir perjuangan,” katanya.
Usai damai, Pang Sumatera lebih memilih menghabiskan waktu di Desa Masjid, Myak Payet, kabupaten Tamiang. Di sana, ia juga sempat ditunjuk sebagai Wapang KPA wilayah Tamiang.
Kini, almarhum Pang Sumatera menghembuskan nafasnya yang terakhir pukul 14.50 WIB di Rumah Sakit Langsa. Namun cita-cita besarnya tak kunjung terwujud.
“Saya mungkin preman. Saya orang yang berlumur darah semasa konflik. Tapi saya tak akan pernah rela teman-teman saya dianggap criminal.”
Ia hanya berharap agar suatu saat ‘para martir’ GAM yang terkubur di wilayah Sumatera diakui oleh pimpinan KPA saat ini.
Selamat jalan Pang Sumatera. Selamat jalan ‘Sang Martir’ Aceh. Semoga kau tenang dalam keabadian.