BANDA ACEH – Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menilai Surat Keputusan Mendagri terkait pembatalan Qanun Bendera dan Lambang Aceh tidak memiliki payung hukum.
Hal ini disampaikan Ketua YARA, Safaruddin, kepada media, Selasa malam 7 Desember 2021.
“Surat Keputusan Mendagri Nomor 188.34-4791 Tahun 2016 tentang pembatalan beberapa ketentuan dari Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, payung hukumnya itu pasal 251 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dijadikan landasan hukumnya sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi pada 2017 sehingga SK tersebut kehilangan sandaran hukumnya,” kata Safar.
Kata dia, walaupun Kemendagri berasumsi bahwa Keputusan tersebut dibuat sebelum adanya putusan nomor 56/PUU-XIV/2016.
“Jika ini yang dijadikan alasan oleh Menteri Dalam Negeri maka UU Nomor 27 tahun 2006 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi 7 Desember 2006 tetap berlaku untuk Aceh, karena UU No 11 tahun 2006 (UUPA) disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006, empat bulan sebelum MK mencabut UU KKR, yang di dalam Pasal 229 mengatur tentang KKR Aceh yang dalam penjelasannya di ayat (3) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah ketentuan yang di dalam UU No 27 tahun 2006 tentang Komisi Kebenaran dan Rekoensiliasi.”
“Jika logika hukum yang di pakai Mendagri untuk melegitimasikan SK tentang Pembatalan Qanun Bendera dan Lambang Aceh sebagaimana surat balasan somasi yang kami terima dari Kemendagri Oktober lalu, maka UU KKR masih berlaku untuk Aceh karena pembatalannya empat bulan setelah UU PA disahkan,” kata Safar.
Kemudian, kata dia, terkait surat dari Mendagri yang meminta untuk memahami dan mendukung kebijakan pemerintah, pihaknya mengaku selalu berkomitmen untuk mematuhi konstitusi.
“Terhadap kebijakan pemerintah yang sesuai dengan konstitusi tentu akan kami dukung, tapi kalau bertentangan dengan konstitusi tentu akan kita tolak, karena konstitusi adalah hukum tertinggi dalam bernegara.”
“Kami juga meminta Mendagri untuk menghargai keberadaan MoU Helsinki yang menjadi landasan perdamaian Pemerintah Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian lahirlah UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini dapat dibaca dalam lampiran SK Mendagri tersebut pada angka 1 yang menyebutkan konsideran menimbang huruf a, huruf dan huruf d yang terkait dengan Memorandum of understanding between The Government of Republik Indonesia and the Free Aceh Movement Helsinki 15 Agustus 2005 tidak perlu dimuat karena subtansi MoU telah diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.”
“Menurut kami, Kementerian Dalam Negeri tidak membaca UU Nomor 11 tahun 2006 yang di dalam paragraf 9 penjelasan menyebutkan nota kesepakatan ( Memorandun of Understanding) antara Pemerintah Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat,” katanya.
Menurut Safar, hal ini patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politikdi Aceh secara berkelanjutan.
Kata Safar lagi, dalam UUPA saja kalimat “Memorandum of understanding between The Government of Republik Indonesia and the Free Aceh Movement Helsinki 15 Agustus 2005 atau Nota kesepakatan ( Memorandun of Understanding) antara Pemerintah Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka yang di tandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 disebut dengan jelas.
“Lantas mengapa Kementerian Dalam Negeri harus melarang penggunaan kalimat tersebut dalam Qanun Aceh? Jadi sangat jelas bahwa secara subtansinnya SK Mendagri ini juga sudah bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 11 tahun 2006, dan karena dari awal SK Mendagri ini sudah bertentangan peraturan perundangan yang lebih tinggi.”
“Oleh karena itu sudah tepat jika Mendagri menerima koreksi dari masyarakat jika memang salah maka harus mengakui karena negara kita adalah negara hukum bukan negara kekausaan.”
“Kami juga mendorong agar Pemerintah Aceh dan DPRA memberikan perhatian terhadap hal ini karena secara langsung SK Mendagri ini juga telah merendahkan MoU Helsinki dan UUPA yang menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh,” ujar Safaruddin lagi.
Sebelumnya diberitakan, YARA melayangkan surat somasi ke Kemendagri terkait pembatalan qanun bendera dan lambang Aceh.
YARA melakukan somasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian agar mencabut Surat Keputusan (SK) Mendagri Nomor 188.34-4791 tentang pembatalan beberapa ketentuan dalam Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Surat somasi itu dikirim melalui jasa pengiriman JNE pada Senin (11/10/2021). Dalam suratnya, YARA mengultimatum Tito Karnavian agar meresponnya selama 14 hari kerja untuk mencabut SK Mendagri Nomor 188.34-4791.
Surat itu sendiri baru dibalas pada 25 Oktober 2021.







