TAPAKTUAN – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Selatan, Adi Samridha memperingatkan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dan pihak terkait lainnya agar, termasuk lembaga konservasi yang bekerja di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), agar tidak mengorbankan masyarakat kecil dalam menjaga ekosistem tersebut, termasuk yang berada di SM Rawa Singkil.
“Saya ingatkan jangan main-main dan asal-asalan dalam menindak warga, kalau ingatkan selamatkan KEL dan SM Rawa Singkil, jangan lupa masyarakat juga harus diselamatkan,” kata anggota DPRK Aceh Selatan, Fraksi Partai Aceh, Adi Samridha, Selasa (17/12/2024).
Samridha juga memperingatkan BKSDA Aceh serta lembaga konservasi yang bekerja di KEL dan SM Rawa Singkil agar tidak melibatkan TNI dalam melakukan pengawasan. Ini akan membuat masyarakat trauma dan menciptakan konflik baru dengan pihak institusi TNI. Seharusnya TNI sebagai alat Negara untuk melindungi dan mencegah ancaman dari luar negeri.
“BKSDA itu jangan benturkan TNI dengan masyarakat, karena tidak mampu kelola dan kendalikan SM Rawa Singkil itu, ini langkah keliru. BKSDA juga jangan hanya berani dengan masyarakat kecil. Tetapi harus berani ungkap actor dan pemilik modal di balik yang merusak kawasan tersebut,” tegasnya.
Menurutnya, KEL itu tidak haram untuk dipergunakan, sejauh itu kebutuhan masyarakat untuk ruang hidup. Jadi, jangan hanya ruang hidup satwa liar saja yang diperjuangkan dan dibela oleh BKSDA dan lembaga konservasi yang bekerja di KEL dan SM Rawa Singkil.
Selama ini, Samridha mengaku mendapat laporan dari warga ada banyak perkebunan dan pertanian warga yang sudah lama digarap ternyata berada dalam KEL. Bahkan dapur rumah pendudukpun juga masuk ke dalam KEL, sehingga hal ini telah menimbulkan keresahan dan kepanikan masyarakat karena sudah sangat terbatas ruang gerak mereka dalam mencari rezeki.
“Kalau gak ada manfaat untuk masyarakat kecil, hilangkan saja KEL itu dari Aceh Selatan, dari pada dengan adanya KEL itu masyarakat kecil yang jadi korban,” tegasnya lagi.
Kata Samrida, jika dilihat dari sejarah zaman dulu sudah duluan masyarakat berada dalam wilayah KEL tersebut baik untuk bercocok tanam sebagai penghasilan mata pencahariannya maupun membangun rumah dibandingkan penetapan wilayah KEL di Kabupaten Aceh Selatan.
Akibatnya, kata Samrida, keberadaan KEL dalam wilayah pemukiman penduduk serta lahan pertanian dan perkebunan warga tersebut sangat sering memicu terjadinya konflik antara pihak masyarakat dengan pihak pengelola KEL serta melibatkan aparat penegak hukum.
“Satu sisi kita menilai bahwa masyarakat wajar mempertahankan lahan pertanian dan perkebunan serta wilayah pemukimannya karena sudah duluan mereka hadir di wilayah itu dibandingkan penetapan KEL oleh pihak pemerintah,” ujar dia.
Dikatakan, konflik itu sudah cukup lama berlangsung namun hingga saat ini belum ada solusi penyelesaian secara konkrit oleh pihak pemerintah. “Maka atas dasar itulah, kalau gak ada manfaat untuk masyarakat, keluarkan saja KEL di daerah ini,” katanya.