Atjeh Watch
  • Nanggroe
    • Lintas Barat Selatan
    • Lintas Tengah
    • Lintas Timur
      • Nasional
  • Internasional
  • Saleuem
  • Feature
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Sosok
  • Opini
  • Cerbung
  • Foto
  • Video
No Result
View All Result
  • Nanggroe
    • Lintas Barat Selatan
    • Lintas Tengah
    • Lintas Timur
      • Nasional
  • Internasional
  • Saleuem
  • Feature
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Sosok
  • Opini
  • Cerbung
  • Foto
  • Video
No Result
View All Result
Atjeh Watch
No Result
View All Result
Home Sejarah

Tentara Aceh di Mata Belanda; Nekad, Pungo dan Bermantera

Admin1 by Admin1
05/11/2019
in Sejarah
0

Akhir Desember, 1946. Amran Zamzami masih berusia 18 tahun saat berangkat dari Langsa menuju Medan. Bukan sesuatu yang aneh bila perjalanannya sekedar jalan-jalan. Namun nyatanya, Amran datang ke Medan hanya untuk satu tujuan: bertempur melawan tentara Belanda.

“Kami ingin segera menghabisi mereka. Ingin rasanya cepat-cepat menikam Belanda yang bertahan di kota Medan,” tutur Amran kepada penulis Sugiono MP dalam Belajar dan Berjuang.

Amran, pemuda Aceh kelahiran Kutabuloh, seorang pasukan TRI jebolan sekolah Kadet Bireun. Dia merupakan satu dari sekian banyak pemuda Aceh yang ikut bertempur dalam palagan Medan Area. Medan Area adalah pertahanan di mulut pertempuran di mana Belanda terkepung di kota Medan.

“Sejarah mempertemukan perjalanan hidupku di Medan Area. Bergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA), di bawah pimpinan Komandan Resimen-ku sendiri, Teuku Cut Rachman dari Meulaboh,” kenang Amran.

Di Medan Area, para pasukan Aceh ini terkonsentrasi di front Barat. Kehadiran mereka lebih dari sekedar bala bantuan. Cukup banyak yang terlibat di garis depan.Dalam beberapa pertempuran terbuka, tentara Belanda dibikin keder juga. Dengan senjata seadanya, pejuang Aceh kerap menebar teror bagi tentara Belanda. Inilah kisah mereka.

Sejak Oktober 1945, kota Medan jatuh ke tangan musuh. Pasukan Sekutu yang terdiri dari British-Indian Army dan pasukan Belanda, NICA telah mencaplok ibu kota Sumatera Utara itu. Objek vital di Medan disegel dan ditandai sebagai “Fixed Boundaries Medan Area” untuk dijadikan basis militer. Dari sini kemudian dikenal istilah “Medan Area” yang menjadi palagan pertempuran merebut kembali kota Medan.

Sekutu dan Belanda menjadikan gedung-gedung utama sebagai markas pasukannya. Tak hanya itu, rumah-rumah penduduk Medan tak luput dari sasaran untuk kepentingan tertentu. Demi keselamatan diri, warga sipil terpaksa eksodus dari kota Medan. Mereka mencari tempat yang lebih aman ke pedalaman atau ke arah utara menuju Aceh.

“Penduduk kota itu berbondong-bondong meninggalkan tempat tinggalnya. Diantaranya banyak yang mengungsi ke pedalaman Aceh melalui Tanah Karo dan terus ke Aceh Tengah lewat Kutacane, Blangkejeren dan Takengon,” tulis Abdul Karim Jakobi dalam Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area.

Selain gelombang pengungsi yang silih berganti berdatangan, Di Aceh tersiar kabar mengkhawatirkan. Muncul desas-desus tentara Belanda hendak merebut pusat pertambangan minyak, Pangkalan Berandan di Langkat. Pangkalan Berandan adalah pintu gerbang menuju Aceh. Tak ingin menunggu di tempat, pejuang Aceh lebih memilih untuk menjemput lawan.

Memasuki 1946, orang-orang Aceh mulai berdatangan ke Medan untuk bertempur. Setiba di Medan, pejuang-pejuang Aceh tergabung ke dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) di bawah komando Mayor Teuku Cut Rachman, perwira TRI asal Meulaboh kemudian Mayor Hasan Achmad.

Selain tentara profesional yang tergabung dalam TRI, ikut serta para veteran yang menamakan diri Gerilyawan Muslimin. Mereka adalah gerilyawan Aceh dari dataran tinggi Gayo. Di antara mereka, pada zamannya tenar sebagai “Pang”, jagoan yang telah bertempur melawan Belanda sejak zaman kolonial akhir abad 20 sampai masa pendudukan Jepang. Dari barisan laskar, turut pula Laskar Rakyat Mujahidin dan Laskar Rakyat Hizbullah.

Aksi Legiun Aceh
Reputasi pejuang Aceh yang datang ke Medan cukup diperhitungkan. Mereka tergabung dalam pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) yang terdiri dari sebelas batalion. Selain dengan senjata ringan, pasukan ini dilengkapi dengan meriam-meriam 4 cm, Penangkis Serangan Pantai (PSP), Penangkis Serangan Udara (PSU), mortir 2 dan 3 inci, bom, dan granat.

Batalion terkuat berkedudukan di Kampung Lalang berdampingan dengan Pasukan Meriam Nukum Sanany yang terkenal ampuh menggempur musuh. Pada 15 Januari 1947, kota Medan digempur pasukan dari Aceh dengan lindungan tembakan meriam. Duel meriam berlangsung selama satu jam.

“Pertahanan Kampung Lalang terkenal sekali kuatnya. Menurut Belanda, front tersebut merupakan pertahanan Republik satu-satunya yang payah dihadapi di Medan Area,” tulis Teuku Alibasyah Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947-1948.

Yang lagi menakutkan, pasukan Aceh kadangkala bergerak dalam kelompok kecil di malam hari. Mereka kerap menyambangi tangsi-tangsi tentara Belanda atau membuntuti patroli musuh yang lengah. Dengan bermodal senjata tajam macam parang, klewang, atau rencong, tak sedikit tentara Belanda yang jadi korban teror pasukan Aceh, kena tebas atau luka parah.

Untuk mengimbangi luapan pejuang Aceh, markas tentara Belanda sampai-sampai mengirim telegram ke Padang dan Palembang. Isinya behubungan dengan permintaan pasukan tambahan. “’Wij zitten in de miet zend gouw help,” (Kami sedang terjepit, harap segera kirim bantuan),” demikian bunyi pesan itu sebagaimana dicatat Amran Zamzami.

Pasukan Lebah
Selain menggunakan senjata tajam, pejuang aceh di Medan kerap bertempur dengan cara tak lazim. Terhembuslah rumor, pasukan Aceh dibantu oleh “Kompi Pasukan Lebah”. Pengerahan serangga bersengat ini dimobilisasi oleh Pang Lokop, pawang lebah asal Takengon yang disebut-sebut memiliki ilmu tenaga dalam. Selain lebah, menurut Abdul Karim Jakobi, para veteran Aceh suka bertempur dengan senjata tradisional dalam bentuk panah beracun.

Konon katanya, lebah-lebah gaib dari Aceh ini bisa terbang jarak jauh dari Gayo sampai ke kota Medan. Mereka menyengat tentara Belanda hingga musuh pingsan, bahkan bisa mematikan karena sengatnya sangat berbisa. Lebah-lebah itu digerakkan dengan mantera-mantera.

Isu “pasukan lebah” itu cukup membesarkan moril pasukan Aceh di front Medan Barat. Akan tetapi, sekali waktu pernah diinspeksi cara kerja lebah-lebah itu. Apa yang terjadi? Lebah-lebah sama sekali tak bergerak. Pang Lokop memberi keterangan bahwa anggota kesatuannya itu “ngambek” karena kekurangan logistik berupa cabe merah. Maka dimintakan dana dari markas untuk membeli makanan lebah tersebut berkilo-kilo.

“Setelah lebah-lebah itu puas makan, Pak Lokop mengomando dengan mantera-mantera segala, binatang itu pun terbang ke sana ke mari menyengati Pak Lokop. Ternyata pasukan lebah hanya isapan jempol,” kenang Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area.

Epilog
Hampir empat dekade kemudian, tepatnya pada 1984, kebenaran Pasukan Lebah terkuak. Dalam event International Bridge Invitation, Amran Zamzami bertemu-cengkrama dengan Henk Maaten, Ketua Umum Nederland Bridge Bond. Amran saat itu menjadi pelopor olahraga Bridge di Indonesia. Sementara Henk, tak lain merupakan keponakan langsung dari Dr. J.J. van der Velde, penasihat politik Gubernur Jendral Belanda, H.J. van Mook dan penulis buku Surat-surat dari Sumatera.

Nostalgia di antara keduanya pun terjadi. Henk mengatakan saat revolusi Indonesia, dia menjadi komandan peleton tempur di sekitar kota Medan pada tahun 1947 dengan pangkat Eerste Luitenant (Letnan Satu). Pos penjagaannya di sekitar Glugur, Petisah, dan Sei Sikambing, persis berhadapan langsung dengan kompi Amran yang siaga di Kampung Lalang. Tak berapa lama di Medan, Henk kemudian dipindahtugaskan ke wilayah Tapanuli. Dia cukup mahir berbahasa Batak.

“Di antara tentara Belanda saat itu, kalau bisa menghindari tugas di Front Barat (Medan Area), karena ada tentara Aceh yang terkenal nekad dan bangga akan kematian. Itu cukup menakutkan kami,” kata Henk.

“Jadi anda pernah merasakan sengatan tawon Pang Lokop?,” tanya Amran.

“Ya, apa itu tawon?,”

“Sebangsanya lebah berbisa yang dapat mematikan karena bisanya.”

“ha..ha..ha..,” Henk tertawa terbahak-bahak. “Di Holland kami biasa meminum madunya,” katanya.

Pengakuannya yang bernada guyon, disambung ucapan, “Ooh! The world is getting smaller.” Suasana akrab terjalin diantara keduanya. Dendam di masa peperangan telah sirna.

Sumber: historia.id

Tags: acehbelandamedan areaperang aceh
Previous Post

DPRK Aceh Jaya Diminta Segera Bentuk Pansus Dugaan Prilaku Tercela Bupati

Next Post

PN Lhokseumawe Vonis Mursyidah 3 Bulan Tapi Tak di Penjara

Next Post

PN Lhokseumawe Vonis Mursyidah 3 Bulan Tapi Tak di Penjara

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Ruang Lingkup Aceh Gelar Peluncuran Buku dan Diskusi Manajemen Organisasi

Ruang Lingkup Aceh Gelar Peluncuran Buku dan Diskusi Manajemen Organisasi

12/06/2025
Kementerian Ekraf Dukung International Conference on Infrastructure Ciptakan Kolaborasi Berkelanjutan

Kementerian Ekraf Dukung International Conference on Infrastructure Ciptakan Kolaborasi Berkelanjutan

12/06/2025
ICMI Aceh Harap Kearifan Presiden untuk Selesaikan Sengketa Pulau Aceh-Sumut

ICMI Aceh Harap Kearifan Presiden untuk Selesaikan Sengketa Pulau Aceh-Sumut

12/06/2025
Jaksa Tuntut Terdakwa Pembunuhan Jeulingke Banda Aceh dengan Hukuman Mati

Jaksa Tuntut Terdakwa Pembunuhan Jeulingke Banda Aceh dengan Hukuman Mati

12/06/2025
MUQ Aceh Selatan Teken MoU dengan STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh

MUQ Aceh Selatan Teken MoU dengan STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh

12/06/2025

Terpopuler

Krak, Mendagri Persilakan Pemindahan 4 Pulau di Aceh Digugat ke PTUN

Krak, Mendagri Persilakan Pemindahan 4 Pulau di Aceh Digugat ke PTUN

10/06/2025

Olala, 4 Pulau yang ‘Diributkan’ Sumut-Aceh Ternyata Miliki Potensi Cadangan Migas

Nurzahri Mundur dari Jubir Partai Aceh

Arahan Dr. Safaruddin, Baitul Mal Abdya Tinjau Rumah Warga Terdampak Bencana Angin Kencang

Soal 4 Pulau Aceh Dialihkan ke Sumut, Mendagri: Sudah Disepakati Aceh-Sumut

  • Home
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2022 atjehwatch.com

No Result
View All Result
  • Nanggroe
    • Lintas Barat Selatan
    • Lintas Tengah
    • Lintas Timur
      • Nasional
  • Internasional
  • Saleuem
  • Feature
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Sosok
  • Opini
  • Cerbung
  • Foto
  • Video

© 2022 atjehwatch.com