Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
*Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Abdya dan Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah Aceh (IKAT).
Kisah ini berawal dari seorang imam sebuah mesjid sebagaimana penulis kutip dari sebuah situs www.ahlalhdeeth.com. Suatu ketika sang imam ini datang ke masjid untuk shalat subuh, begitu sampai di dalam masjid dia mendengar suara berisik di dekat pintu masjid. Maka dia keluar untuk melihat ada apa disitu? Ketika sampai di pintu masjid sang imam ini melihat seorang lelaki sujud dengan sempurna di dekat sepatu-sepatu dan sandal-sandal jamaah masjid dan terdengar tangisan dari laki-laki ini.
Sang Imam berkata, “Aku heran kepadanya dan aku menyayangkanya bahwa dia mungkin sedang tidak waras, bagaimana tidak, dia sujud ditempat seperti ini sementara ada tempat yang luas dan bersih di dalam masjid.”
Kemudian kembalilah Sang Imam ke masjid dan tibalah waktu shalat subuh dan bertakbirlah sang imam dan memulai shalatnya. Kemudian Sang Imam melanjutkan ceritanya, “Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan yang keras di belakangku, namun demikian tetap kusempurnakan shalat sampai akhir dan setelah itu aku berpaling ke belakang dan kudapati seorang lelaki tertelungkup menangis. Aku terheran-heran dan berbagai macam pertanyaan akan laki-laki ini berkecamuk dalam diriku dan juga muncul empati bercampur heran kepadanya. Maka kemudian aku mendatanginya dan ketika aku melihatnya dari dekat ternyata dia laki-laki yang sama yang menangis di dekat pintu masjid di sisi sepatu-sepatu jamaah tadi.
Maka aku sangat terheran-heran dengan perkara lelaki ini maka aku bertanya kepadanya,
“Ada apa dengan mu wahai saudara.. Aku melihatmu sujud di dekat sepatu-sepatu dan sekarang aku melihat mu disini penuh ketundukan kepada Allah.”
Akhirnya lelaki ini menceritakan kisahnya kepadaku, seraya berkata, “Baiklah aku akan ceritakan kisahku… Suatu kali aku mendengar hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
من صلى لله أربعين يوما في جماعة يدرك التكبيرة الأولى كتبت له براءتان براءة من النار وبراءة من النفاق ( الترمذي ).
“Barang siapa shalat ikhlas kepada Allah selama 40 hari dalam jamaah (di masjid), dia dapati takbir yang pertama (takbiratul ihram), maka dia akan dituliskan baginya lepas dari dua perkara: Lepas dari neraka dan lepas dari kemunafikan.” (H.R. At-tirmidzi).
Maka aku menjadi termenung apakah aku bisa mendapatkan dua hal ini, lepas dari sifat munafik dan lepas dari neraka??? Hanya dengan menjaga takbiratul ihram bersama imam selama 40 hari??! Aku akan bersungguh-sungguh untuk melakukannya dan aku sudah melalui 39 malam, tidak tersisa kecuali satu malam saja. Akan tetapi pada fajar hari ke-40 aku ketiduran, ketika aku bangun kudapati masjid-masjid sudah mulai iqamah (tanda shalat segera ditegakkan), maka aku bangkit seperti orang gila, aku berwudhu, dan keluar serta mengendarai mobilku secepatnya. Aku berpindah dari satu masjid ke satu masjid lainnya. Demi Allah, aku menangis di dalam mobilku… Aku berkata, “Wahai Rabb-ku jangan haramkan aku dari karunia-Mu, jangan haramkan aku dari dua hal (lepas dari kemunafikan dan neraka).”
Akhirnya aku berputar-putar di antara masjid ke masjid kemudian kudapati masjidmu ini masih tenang belum mulai shalat, maka aku masuk ke dalamnya dalam keadaan gugup bercampur takut dan jantungku serasa sudah seperti sampai ke tenggorokan… Bagaimana keadaan jamaah? Apakah mereka sedang berdiri? mungkin sujud? atau mungkin ruku?… Saat itu, kudapati engkau sedang membaca Alquran, tidak ada yang bisa kulakukan untuk Rabb-ku selain bersujud di sisi sandal-sandal itu untuk Rabb-ku sebagai bentuk kesyukuranku kepada-Nya. Allah tidak mengabaikan cita-citaku… Akhirnya aku menyempurnakan 40 hari mendapati takbiratul ihram bersama imam..
Ramadhan sudah hampir tiba. Banyak yang resah, bagaimana kita nanti Ramadhan kalau masih ada wabah corona? Kenapa gara-gara corona kita tinggalkan taraweh berjama’ah di masjid? Kenapa tidak boleh ke masjid, apakah mesjid sumber penyebaran virus Covid-19? Sedangkan ke pasar, ke kantor, ke bank, ke sawah dan kebun masih ramai orang pergi?Tidakkah aqidah kita rusak, lebih takut kepada virus corona dari pada kepada Allah?
Ibadah itu adalah menjalankan perintah Allah sesuai perintah itu. Bukan menjalankan perintah Allah sesuai dengan selera dan keinginan, apalagi nafsu kita. Karena ibadah mesti dibimbing oleh Nash, apakah dari Al Qur’an, Sunnah maupun ijma’ para Ulama.
Saat kondisi aman dari segala yang bisa membahayakan baik nyawa, harta serta hal yang dilindungi oleh syari’at, kita diperintahkan untuk berjama’ah di masjid. Tapi ketika tidak aman kita diberi uzur untuk tidak ke masjid. Apatah lagi berjamaah di mesjid hukumnya masuk dalam ranah ikhtilaf diantar para Ulama. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Pendapat ini oleh Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Berdasarkan dalil hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
Ada yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. ini adalah pendapat dari Imam Asy-Syafi`i dan Imam Abu Hanifah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi : “Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.” Dengan dalil hadits dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249).
Sedangkan yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah. Pendapat ini sampaikan oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146. Dengan dalil hadits juga dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249).
Begitulah keterangan para ulama tentang kedudukan hukum dari shalat berjamaah di masjid. Tentu masing-masing pendapat itu benar adanya, sebab mereka telah berijtihad dengan memenuhi kaidah istimbath hukum yang benar. Kalau pun hasilnya berbeda-beda, tentu karena hal ini adalah ijtihad. Sebab tidak ada lafadz yang secara eksplisit di dalam Al-Qur’an atau hadits yang menyebut menjelaskan kepastian dari status hukum shalat berjamaah. Yang ada hanyalah banyaknya dalil yang masih sangat mungkin menerima ragam kesimpulan yang berbeda. Dan hal seperti ini sangat lumrah di pembahasan fiqih. Perbedaan yang tampak, sesungguhnya bukanlah keburukan yang diinginkan untuk ummat, tapi dibalik semua perbedaan tersebut, sungguh ada hikmah yang berharga. Setiap orang tentu bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan dipilihnya. Dan tak salah jika telah menentukan pilihan, kemudian pilihan yang dijatuhkan ternyata membawa ke perbedaan.
Ramadhan tahun ini kenyataannya agak berbeda dengan Ramadhan yang sudah-sudah. Pengaruh wabah virus Corona atau Covid-19 begitu terasa, sampai dalam hal pembatasan ruang dan gerak dalam beribadah. Dari munculnya Surat Edaran oleh Kementerian Agama hingga Fatwa atau Tausiyah para ulama lewat MUI dan MPU dalam kaitannya dengan tata cara ibadah selama Ramadhan. Ada daerah yang meniadakan shalat tarawih berjamaah di mesjid atau mushalla, namun ada juga yang tetap masih menggelar tarawih berjamaah dengan melaksanakan protokol pencegahan penyebaran Covid-19; seperti jama’ah dihimbau menggunakan masker dan mencuci tangan ketika memasuki mesjid. Intinya wabah virus Corona atau Covid-19 memang membawa dampak pada ibadah di bulan Ramadhan tahun ini. Tak ada yang salah dengan keputusan dan fatwa para ulama tersebut. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan Arif dan bijaksana, bukan dengan mengeluarkan “fatwa pribadi” berikutnya diatas fatwa para Ulama (Lagee Ka Top That).
Walaupun berbeda kondisinya, namun ada sebuah pemahaman yang mestinya dipahami dengan baik agar kita tetap tenang dan khusyu’ beribadah dalam bulan Ramadhan ini. Yaitu Ramadhan tahun ini walau ditengah wabah virus Corona atau Covid-19, itu tidak ada bedanya dengan bulan lain. Apakah hanya di bulan Ramadhan kita dianjurkan berjama’ah di masjid, sementara di bulan lain tidak perlu ke masjid? Sama-sama dianjurkan bila situasinya memungkinkan. Tentu sama-sama diberi uzur bila syaratnya tidak terpenuhi. Bedanya, amal ibadah di bulan Ramadhan pahalanya dilipat gandakan bagi yang ikhlas dan penuh perhitungan. Bukan digandakan bagi yang beribadah di masjid beramai-ramai. Selain itu, taraweh adalah ibadah sunat, bukan wajib. Tidak shalat taraweh sama sekalipun tidak berdosa. Boleh dilakukan berjama’ah di masjid dan juga boleh sendirian di rumah. Bahkan sebagian salafuna shalihin lebih mengutamakan untuk melaksanakannya sendirian. Jauh dari pandangan orang.
Hidup ini hanya ujian untuk menunjukkan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah.
Bagi yang menghadapi Ramadhan dengan niat hanya untuk taat kepada Allah, sama saja baginya shalat taraweh berjama’ah di masjid atau berjama’ah di rumah dengan keluarga. Bahkan lebih besar kemauannya tilawah atau tadarus Al Qur’an dalam kesendirian dari pada disaksikan orang banyak. Justru sekaranglah waktunya untuk membuktikan bahwa kita beribadah hanya karena Allah, bukan karena ingin dilihat orang lain. Bersemangat bukan karena ramai-ramai bersama orang banyak. Juga bukan karena ikut-ikutan.
Kalau sendirian di rumah semangat jadi kendor alias malas, maka perlu diperiksa hatinya. Sebenarnya maunya apa? Tuhan yang kita sembah di masjid tidak beda dengan Tuhan yang kita sembah di rumah. Bahkan Tuhan yang kita sembah di masa wabah corona ini sama dengan Tuhan yang kita sembah sebelum atau sesudah wabah corona. Beribadah itu dengan iman, ilmu dan pemahaman, bukan hanya bermodalkan selera, nafsu dan semangat juang. Karena syari’at diturunkan untuk menjaga kemaslahatan bukan menghadirkan mafsadat atau kerusakan. Ditengah wabah ini, jangan saling menyalahkan karena perbedaan pilihan fatwa dan pandangan beribadah dalam bulan Ramadhan. Mari kita jaga kesehatan dan kesatuan agar ummat kuat dan optimis melewati wabah virus Corona atau Covid-19 dan khidmat melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.