Oleh Farhan Zuhri Baihaqi. Penulis adalah Ketua Komunitas Teluk Samawi/ Tenaga Ahli bidang Adat dan Kebudayaan Pemko Lhokseumawe.
Siapa yang tidak kenal dengan lada Aceh. Lada memang lama mengakar dalam kehidupan orang Aceh, sampai-sampai ada keyakinan bahwa lada di dunia berasal dari sana. Menurut dongeng yang dikutip JJCH Van Waardenburg (1936), tanaman lada ada berkat usaha seorang keramat bernama Teungku Lam Peuneu’eun yang makamnya terletak di daerah Aceh Besar (IX mukim Tungköb). Keramat itu dikatakan telah menyemai bibit kapuk (panjoe) dan dari bibit itulah berasal tanaman lada.
Sementara itu Mawardi Umar, Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Aceh dalam webinar dengan tema ‘Jalur Pelayaran dan Perdagangan Rempah di Aceh, Benarkah?’ mengatakan, Lada merupakan komoditas budidaya pertama di Aceh. Lada ini awalnya diperkenalkan oleh saudagar dari Malabar, India pada akhir abad ke-13 dan awal 14. Setelah diperkenalkan oleh saudagar dari Malabar, lada kemudian dibudiyakan oleh penduduk Aceh, dan hasilnya cukup mengembirakan. Daya jual lada di pasaran pun cukup tinggi. Sebelum ada lada, dalam proses perdagangan di Aceh adalah komoditas yang disediakan hanya dari alam, terutama hasil hutan.
Dan Lada Aceh pada masa Kerajaan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar di Abad 16 meraih zaman kejayaan. Melalui Lada, Aceh berhasil memepertahankan kawasan teretorial dari penjajahan Portugis.
Sebelumnya Aceh saat itu sedang terjadi gejolak berkepanjangan akibat agresi/penjajahan yang dilakukan oleh Bangsa Portugis. Bahkan tahun 1529, sultan Aceh yaitu Sultan Ali Mughayat Syah melakukan persiapan untuk menyerang orang portugis yang ada di Malaka, tapi rencana itu urung terjadi karena sang Sultan Ali Mughayat Syah meninggal di tahun 1530. Sultan dimakamkan di Kandang 12, Banda Aceh.
Sultan Salahuddin, putra pertama Sultan Ali Mughayat Syah mengambil alih tampuk kepemimpinan. Dalam wantu yang singkat sang adik Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar yang merupakan Sultan ketiga di Kesultananan Aceh Darussalam yang memiliki sifat tegas dan keras, mengambil alih kepemimpinan Sultan Salahuddin.
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar diberi gelar al-Qahhar karena kemenangan-kemenangan yang telah dilakukan dalam perebutan kekuasaan dengan Portugis di beberapa tempat. Sultan Alauddin memerintah selama 33 tahun dari tahun 1538 hingga 1571. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Sultan Alauddin adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan melakukan hubungan internasional dengan banyak kerajaan Islam di Timur Tengah seperti Turki, Ethiopia, dan Mesir.
Dan hal paling menarik dari usaha yang dilakukan oleh Sultan Alauddin melawan agresi Portugis adalah dengan Perdagangan Rempah “Lada” antara Kerajaan Aceh dan Turki Utsmaniyah. Pada tahun 1538-1539 Sultan mengirim empat kapal penuh Lada ke Turki. Balasan baiknya Turki mengirim 300 orang Turki beserta senjata untuk menolong Aceh Melawan Portugis di Malaka, dan melawak Batak dan Aru.
Pada dasarnya, Portugal merupakan sebuah kerajaan yang relatif kecil di benua Eropa, namum mempu mengukir prestasi yang mengagumkan. Portugis berjaya menjelajahi dan menaklukkan dua benua, yaitu Afrika dan Asia dalam waktu yang singkat. Bahkan bagi Turki Utsmaniyah Portugis tidak hanya armada laut yang efektif dan kuat saja, tetapi musuh bebuyutan yang harus ditaklukkan demi kepentingan ekonominya. Ketika Utsmani menguasai Mesir, Portugis telah lama membangun hubungan dominasi yang kuat di tempat-tempat strategis seperti Goa dan Hormuz. Maka Utsmani tidak akan mampu melindungi kota Mekkah dan Madinah dan mendapatkan keuntungan besar dari perdagangan Laut Merah serta mengontrol daerah Eropa jika kekuatan Portugis di Samudera Hindia (Goa) tidak ditaklukkan. Dari kekuatan Portugis itu memacu Turki Utsmaniyah mendapatkan partner tepat meruntuhkan kekuatan Agresi Portugis. Akhirnya salah satu partner paling tepat itu adalah Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Kerajaan Aceh mulai melakukan sebuah perluasan kekuasaan yang ditunjukkan ke kota pelabuhan di pantai Barat Sumatera, dengan tujuan agar dapat memonopoli perdagangan terutama perdagangan lada. Dari beberapa kota pelabuhan yang telah dapat dikuasainya seperti Singkil, Barus, Pasaman, Tiku, Paraiman dan Padang. Selain itu Kerajaan Aceh melakukan penyerangan terhadap bangsa Portugis hingga akhirnya Sultan Alauddin dan kerajaannya menaklukkan Kerajaan Aru pada tahun 1539 di pantai timur pulau Sumatera karena sering berhubungan dengan pihak Portugis sedangkan ekspansi ke bagian barat Sumatera yang ditujukkan ke daerah-daerah pelabuhan yang menghasilkan lada dan hasil bumi lainnya.
Pada Tahun 1547 Diplomat Aceh bernama “Umar” dan “Husein” Sultan Aceh Alauddin memohon bantuan pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka. Sultan Aceh mengirim armada 46 Kapal dan 5000 pasukan. Dan pada Tahun 1562 Duta Turki “Lutfi Bey” bersama ahli militer membawa 14 Meriam ke Aceh. Dan Meriam yang besar dari Turki ini belakang di istilahkan sebagai Meriam Lada Sicupak (sebagai alat Barter anatar Lada dan Meriam). Peristiwa Lada Sicupak akhirnya meningkatkan hubungan politik-militer antara kekuatan Timur Tengah dan mitranya di Asia Tenggara. Upaya sultan Aceh itu sangat berpengaruh hingga mengalihkan perhatian Konstantinopel dari Samudra Hindia wilayah barat ke Nusantara, tepatnya Sumatra.
Sementara pada momen lainnya, dalam catatan Ismail Hakki Goksoy pada bukunya Guneydogu Asya’da Osmanli-Turk Tesirleri menyebutkan Pada 12 September 1567, Sultan Selim II mengeluarkan perintah kekaisaran (nisban-i bumayum) kepada Kurtoglu Hizir Reis diperintahkan untuk memimpin armada laut tersebut, dan jika mereka telah tiba di Aceh, mereka diminta untuk tunduk patuh kepada kesultanan Aceh dalam rangka membantu mereka menduduki benteng penjajah Portugis. Jika ada diantara pasukan Turki yang melanggar akan dikenakan sanksi langsung dari Kurtoglu Hizir Reis sebagai peringatan bagi yang lain. Sedangkan gaji dan segala kebutuhan selama setahun penuh ditanggung oleh Kerajaan Turki, jika setelah setahun itu Sultan Aceh masih memerlukan mereka, maka kebutuhan mereka harus ditanggung kesultanan Aceh. Hal ini tertulis dalam surat Sultan Selim II (k. 1566-1574) kepada Sultan Aceh Darussalam al-Qahhar (k. 1537-1571), tanggal 16 Rabiul awwal 975/20 September 1567.
Memang, Portugis sudah menjelma menjadi musuh besar bagi Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, terutama sejak kerajaan Katolik itu berhasil menguasai Ceuta pada 1415 dan Hormuz pada 1507. Salah satu peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam, Meriam Lada Secupak, merupakan salah satu meriam pemberian dari Turki.
Berdasarkan catatan Portugis pada tahun 1582, setiap tahun Aceh mengirimkan utusan beserta sejumlah hadiah seperti emas, batu mulia, rempah-rempah termasuk lada, dan parfum kepada sultan Utsmani. Selain itu, Aceh juga membangun perdagangan rempah-rempah ke Timur Tengah. Sebagai balasannya, Turki memberikan bantuan militer berupa persenjataan, ahli militer, serta perlindungan untuk Aceh. Hubungan tersebut kemudian menjadikan Aceh sebagai wilayah protektorat Kesultanan Utsmaniyah hingga abad ke-18.
Berkat dukungan Turki Utsmaniyah, Perkembangan militer Kerajaan Aceh menjadi lebih hebat dibandingkan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusanatra. Menurut Prof Amirul Hadi dalam bukunya Aceh Sejarah, Budaya dan Tradisi mengatakan Aspek taktik dan strategi militer Aceh juga sangat dipengaruhi oleh kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Tercatat, Aceh berulang kali menggempur Portugis di Melaka, yakni pada tahun-tahun 1737, 1547, 1568, 1573 dan 1577. Bangsa Eropa itu pun sering kali mengambil cara bertahan. Dalam setiap peperangan besar di daratan, Aceh selalu tampil lebih dahulu, sedangkan Portugis bersikap menunggu dan bertahan. Keadaannya berbeda tatkala masing-masing kubu bertemu di lautan. inisiatif penyerangan tampaknya diambil kedua belah pihak secara bersamaan.
Dan akhirnya, kentalnya hubungan Aceh dan Turki saat itu tidak terlepas dari Komoditi Lada sebagai kekuatan utama. Hingga tercatat dalam sejarah Aceh punya kekuatan militer yang kuat dari prosesi barter Lada dengan beberapa bangsa sahabat. Di akhir abad ke-18, perkembangan lada di daerah selatan pantai barat Sumatera terus mengalami kenaikan. Akhirnya, Kesultanan Aceh berhasil menyediakan hampir setengah dari pasokan lada dunia, berkat wilayah kekuasaannya yang besar.
Lada bagian masa
Dari Histori pada abad 16 hingga akhir abad 18, 19 tersebut kita melihat betapa pentingnya Rempah Lada bagi Aceh dalam urusan Diplomasi dengan beberapa bangsa sahabat terutama Turki hingga menajadi salah satu modal penting melawan agresi Portugis. Tidak hanya itu, stuktur tanah di Aceh juga menandakan kelebihan sumber pertanian dari komiditi lada yang hendaknya perlu dilestarikan.
Mantan Kepala BPTP Aceh, Ir Basri A. Bakar, MSi melihat tanaman lada sangat prospektif dikembangkan karena tidak menghendaki lingkungan tumbuh yang khusus dan perawatan yang rumit. Menurut Basri, lada Aceh perlu dijaga kelestariannya dari kepunahan karena memiliki cita rasa dan aroma yang khas. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut agar petani lada di Aceh dapat meningkatkan produksi yang lebih baik, sehingga dapat menambah pendapatan dan kesejahteraan mereka sekaligus mengangkat kembali kejayaan Aceh dalam budidaya lada.
Tapi beberapa saat terkahir, menurut Catatan Statistik Perkebunan Aceh tahun 2011 mencatat, produksi lada Aceh sebesar 217 ton pada 2009, 205 ton tahun 2010, dan 216 ton di tahun 2011. Luas areal tanaman lada juga terus menyusut dari 1.022 hektar (2009) menjadi 921 hektar (2010) dan 896 hektar (2011). Ini menjadi catatan khusus ketika secara grafik Produksi lada sudah minim serta daya beli sudah menurun.
Dalam sebuah artikel berjudul Ironi Lada di Pekarangan Rumah studi kasus di Aceh. Disebutkan Salah seorang petani Cut Dahlia mengubur mimpi untuk menjadi petani lada sukses. Ia mengatakan Lada itu bagian dari masa lalu. Orang Aceh sekarang lebih senang menanam sawit, orang Aceh membeli lada untuk memasak kari dalam jumlah banyak. Sebab, lada yang tersisa di pekarangan hanya cukup untuk bumbu semangkuk kari.
Peluang Rempah Aceh di masa mendatang
Mari coba kita lihat lebih jauh kedepan dengan kaca mata Industri ekspor impor. kini Aceh telah memiliki 5 Pelabuhan aktif melayani kegiatan ekspor dan impor dalam beberapa tahun terakhir. Lima pelabuhan tersebut adalah, Pelabuhan Krueng Geukuh, Aceh Utara, Pelabuhan Kuala Langsa, Pelabuhan Ulee Lheue, Malahayati, dan Lhoknga. Bahkan melalui data BPS Tahun 2017, tercatat total barang dibongkar 2,65 juta ton, sedangkan barang muat 1,03 juta ton di lima pelabuhan tersebut.Bayangkan jika aktivitas ekspor dengan jumlah banyak tersebut sebagian besar didominasi oleh komoditi rempah.
Saat ini, komoditi rempah yang sedah naik daun adalah kunyit. Kunyit juga menjadi salah satu komoditi paling laris di Aceh akibat kondisi Pandemi Covid19 yang menyerang Dunia. Bahkan harga kunyit beberapa saat lalu naik seratus persen dari Rp.10 ribu, naik menjadi 20 ribu. Kunyit dipercaya memiliki kemampuan untuk meredakan berbagai macam gejala penyakit seperti pilek, mual, radang sendi, migrain, dan hipertensi.
Dekan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Daryono Hadi Tjahjono menjelaskan bahwa kunyit (Curcuma longa L) mengandung senyawa metabolit. Senyawa ini merupakan bahan alam berupa kurkumin yang dilaporkan memiliki potensi terapeutik yang beragam seperti antibiotik, antivirus, antioksidan, antikanker, dan untuk penanganan penyakit Alzheimer. Berbagai penelitian farmakologi telah dilakukan terhadap kurkumin. Namun salah satu yang menjadi perhatian saat ini adalah pengaruh kurkumin terhadap penyembuhan Covid-19. Hal ini diketahui sejak terjadi epidemi penyakit SARS pada 2003 silam.
Komoditi Rempah lain yang berpeluang peningkatan daya beli adalah jahe. Komoditi ini sama halnya menjadi tanaman paling diburu semenjak pandemi, lebih spesifik jahe emprit atau jahe putih kini menjadi salah satu tanaman empon-empon paling diburu masyarakat. Hal itu disebabkan kandungan senyawa oleoserin, yakni minyak esensial khas jahe beraroma khas dengan rasa pedas, dipercaya mampu berfungsi sebagai antioksidan, antitusiv serta meningkatkan metabolisme sel tubuh.
Bahkan menurut salah seorang petani di Aceh Tengah Jalaluddin Dilansir dari Antara, Minggu (9/8/2020), kalau panen mencapai lebih dari lima ton, pembeli dari Medan (Sumatera Utara) akan datang mengambilnya kesini (Aceh Tengah). Bupati Aceh Tengah dalam sebuah kesempatan pun berharap agar para petani juga dapat berinovasi dalam pembuatan bubuk jahe kemasan untuk minuman agar bisa mendapatkan keuntungan lebih dari penjualan. Jahe tidak hanya bermanfaat sebagai bumbu dapur, namun juga memberikan manfaat bagi kesehatan.
Berangkat dari fakta tersebut, kini beberapa komoditi Rempah di Aceh mulai menjadi perhatian. Grafik daya beli mulai menanjak dan perlu adanya produksi dalam kapasitas lebih besar lagi. Sehingga 5 pelabuhan yang telah kita paparkan tadi menjadi lebih sibuk untuk mengekspor komoditi Rempah kebebedapa negara, apalagi di tengah pandemi komoditi rempah seperti kunyit dan jahe paling diminati.