Atjeh Watch
  • Nanggroe
    • Lintas Barat Selatan
    • Lintas Tengah
    • Lintas Timur
      • Nasional
  • Internasional
  • Saleuem
  • Feature
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Sosok
  • Opini
  • Cerbung
  • Foto
  • Video
No Result
View All Result
  • Nanggroe
    • Lintas Barat Selatan
    • Lintas Tengah
    • Lintas Timur
      • Nasional
  • Internasional
  • Saleuem
  • Feature
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Sosok
  • Opini
  • Cerbung
  • Foto
  • Video
No Result
View All Result
Atjeh Watch
No Result
View All Result
Home Cerpen

Perempuan dalam Cermin

Atjeh Watch by Atjeh Watch
18/01/2024
in Cerpen
0
Perempuan dalam Cermin

Oleh: Fauraria Valentine

“Tercipta dari apa sebenarnya hati perempuan? Mereka marah dan membeci, kemudian luluh seketika.” Bisikku pada perempuan di depanku, senyuman itu selalu manis dan menentramkan. Kita selalu berpisah di batas fajar, saat terang datang menyambut pagi, dengan hatiku yang sudah kembali penuh dan siap menjalani hari.

Kami mulai sering bertukar sapa. Membicarakan rahasia-rahasia kecil yang hanya dengannya aku menaruh percaya. Seringnya obrolan kita tentang dia, yang kerap membuatku kesal, dan saat ini masih lelap dalam mimpi di sampingku. Suara adzan bersautan di luar sana, dia masih meringkuk nyaman dalam hangatnya selimut beludru coklat. Sudah tiga kali kubangunkan, sepertinya terlalu larut bermain game online semalam. Bagaimana bisa aku menanam benci, sedang wajah pulas ini selalu mampu menarikku kembali pada kenangan indah sembilan tahun lalu. Dia yang menawarkan rumah untuk kutinggali, rumah dari cinta yang hari ini turut diisi dua malaikat kecil kami yang lincah tertawa dan merengek setiap harinya.

Sembilan tahun pernikahan, kupikir waktu yang cukup seharusnya bagi kami saling paham dan memahami. “Aku hanya ingin kita pindah dari rumah ini, bang!” Ulangku untuk kesekian kalinya. Tetap tidak ada jawaban. Ya, dia tidak pernah bisa paham. Dia tidak pernah benar-benar mengerti bagaimana rasanya hidup dengan mertua dan ipar yang selalu mencampuri urusan rumah tangganya. Karena mereka semua keluarga, yang sayangnya tak pernah benar-benar menjadikanku bagian dari keluarga ini. Menantu, bagi mereka tetaplah orang luar yang mudah saja bisa dicari gantinya, sedang keluarga tidak! Mungkin itu pula alasan laki-laki ini tak pernah membelaku di depan mereka.

Air mataku, begitu sering tumpah di sudut-sudut rumah yang katamu rumah kita, bang. “Mengapa kita harus pindah, sedangkan ini rumah kita!” Kita, nyatanya bukan cuma aku dan kamu, tapi juga ibumu. Sedangkan kakak-kakakmu berada pada dinding yang sama di sebelah sana, yang mata dan telinganya begitu jeli memperhatikan tiap helaan napas kita. Sinis dan tertawa dibanyak kesempatan. Tapi kamu terlalu buta dan tuli untuk mengerti itu semua.

Apakah aku menantu yang tak tahu balas budi? Dibawa ke dalam keluarga ini kemudian bertindak di luar batas! “Aku sungguh ingin berbakti padamu bang, dan di sisi lain tak ingin mendurhakai ibumu. Tolong Carikan jalan untuk pintaku ini.” Kamu selalu diam dan mengelak untuk pertanyaan serupa. Terus saja berulang dan tetap berakhir di kebuntuan. Ketakutan apa sebenarnya yang menahanmu keluar dari rumah ini? Aku tahu penghasilannya sebagai penjemur kopi di gudang tidak seberapa. Tapi aku siap membantu bekerja mencari penghasilan tambahan, bang. Asal kita keluar dari rumah ini, setidaknya aku bisa merasakan ketenangan hidup di rumah sendiri. Mengatur rumah tangga kita tanpa disibukkan dengan komentar orang lain.

Ratapan pilu nyatanya memang belum berakhir, atau memang tak akan pernahkah akan berakhir di hidupku! “Aku hanya punya kamu, bang. Sebagai satu-satunya pemberi penjagaan atas diriku.” Tidak ada siapa-siapa lagi, di sini maupun di sana, nun tempat kelahiranku. Apakah ini jadi alasan mereka semena-mena padaku? Jikalah perempuan lain akan lari ke rumah orang tuanya untuk mencari perlindungan, lalu aku bisa kemana? Tidak ada rumah lain selain kamu.

Kadang kupikir, apa dia yang seharusnya jadi kepala dalam rumah tangga ini layak menjalankan perannya? Apa dia sebenarnya tahu tugas dan kewajibannya terhadapku? Mengapa malah dibanyak momen nyatanya tidak mampu mengambil sikap dan melindungiku sebagai istrinya.

Kamu, perempuan yang selalu setia mendengarkan keluhku, masih tersenyum manis tanpa kata. Malam-malam terakhir ini tampaknya aku berada di puncak kekesalanku. Aku sangat paham bahwa aku perlu bicara padamu, perempuan yang berhati lembut. Kamu selalu ingin aku juga menjadi selembut kamu, tersenyum dan kuat setiap hari.

Tanoh Gayo jadi tempat di mana aku kembali terlahir, diangkat jadi bagian keluarga oleh anan Hasanah. Meninggalkan adik-adikku yang juga menunggu orang-orang baik datang untuk menampung mereka. Setelah emak wafat, ayah menikah lagi. Mungkin terlalu sulit bagi ayah menghidupi kami juga istri muda dan anak-anaknya. Sedangkan untuk memilih, tentulah dengan mudah dia memilih keluarga baru itu. Ibu tiriku pasti bisa melayaninya setelah emak yang sejak lama tak lagi ada untuk ayah.

Aku masih terlalu kecil untuk bisa bertahan hidup apalagi dengan dua adik perempuanku. Mak Tuo kemudian mulai menawarkan kami untuk di bawa ke rumah orang-orang kaya yang butuh pekerja rumah. Meninggalkan Rengat, tempat kelahiranku. Itu untuk pertama kalinya aku melihat Pekan Baru, ibukota provinsi, kemudian jauh berjalan sehari semalam lagi, berkelok-kelok naik turun bukit. Dingin embun pagi menyambut kedatanganku, membekukan luka dan ketakutan sebab jauh sudah rumah ditinggalkan. Begitu jauh, sampai ke negeri kopi yang begitu asing ini, Takengon. Sejak itu tak pernah lagi kulihat adik-adikku.

Aku tahu, aku hanya sekedar pembantu di sini, walau tak ada yang pernah mengatakan itu di depan mukaku, tapi sayup sering kudengar dibelakang telinga. Anak anan Hasanah yang tinggal di Pekan Baru yang membawaku ke kota ini. Memintaku menemani anan dan sedikit-sedikit membantu urusan rumah. Ramah anan menyambutku, aku tahu tempat ini akan jadi rumah yang aman untukku. Anan begitu baik, menyekolahkanku dari SD sampai aku dapat ijazah SMA. Walau hidup dengan orang tak akan pernah senikmat rumah, tapi aku bersyukur, di sini aku merasa punya keluarga, anan Hasanah. Tak pernah lagi kuingat kampung halaman, tak sempat pula kutanyakan kabar adik-adikku, apalagi ayah yang kenangan dengannya hanya berupa kebencian. Mereka seolah jadi bagian lain dari kehidupanku yang semakin samar dan terlupa, tertutup kabut-kabut putih dari negeri di atas awan ini.

Hidup adalah rangkaian peristiwa, punya awal juga akhir. Kita senantiasa menjalani babak-babak kehidupan yang sudah digariskan Tuhan. Anan Hasanah mulai sakit-sakitan pada usianya yang semakin sepuh. Tak mampu lagi aku menjaganya, anan kemudian dibawa ke tempat anaknya di kota untuk mendapatkan pengobatan terbaik. Aku semakin merasa terasing dan tak dibutuhkan. Rumah anan menjadi kosong dan sunyi, sementara semua orang kebingungan harus berbuat apa untukku. Aku tak bisa pulang, aku tak punya rumah untuk pulang. Sepanjang hidupku aku hanya punya anan Hasanah.

Di titik terendah kehidupanku ini kemudian kamu datang, menawarkan naungan untukku yang bukan siapa-siapa ini. Kamu menerima aku yang bahkan tak jelas asal usulnya! Kamu menyakinkan keluargamu untuk memberikan ruang, walau banyak gunjingan miring orang-orang tentangku, perempuan yang tak jelas kedudukan keluarganya! Kamu, saat itu benar-benar jadi pahlawan berkuda yang menjulurkan tangan padaku, perempuan yang bimbang di ujung jalan.

Aku tak bisa benar-benar membencimu, bang. Aku tak pernah akan bisa meninggalkanmu! Bukan sebab aku tak mampu hidup di luar sana. Aku sudah pernah mengalami berbagai hal buruk dalam kehidupanku. Tapi meninggalkanmu, berarti turut memisahkanmu dengan anak-anak kita. Aku tahu persis kamu tidak akan mampu. Lebih dari itu, aku berutang banyak atas kehidupan yang kamu berikan padaku!

Kesalku padamu rasanya hanya sebatas ucap dari lisan. Aku hanya perlu kembali bicara pada perempuan yang selalu kusapa di penghujung malam yang dingin, kemudian berharap bisa kembali mendekapmu setelah itu. Tapi kali ini berbeda, sudah berulang kulakukan ritual ini, hatiku masih teramat kesal padamu, bang. Semalam, dua, tiga malam, aku masih tidak bisa sepakat dengan perempuan teman bicaraku di penghujung malam. Mungkin ini waktu aku perlu menentukan sikap, ‘aku akan pulang ke Rengat’, bisikku. Kedua alis perempuan itu menyatu, dia kecewa dengan keputusanku. Maafkan aku, aku ingin, dia tahu bahwa aku benar-benar serius dengan semua permintaanku selama ini.

Kamu bang, kali ini terlalu dalam melukai hatiku, atau hatiku yang sudah semakin keras! Aku sadar keikut campuran keluargamu tidak sehat, aku tersiksa secara mental. Aku benar-benar ingin kita pindah dari rumah ini bang. “Tidakkah nikmat bagimu saat kita sesekali datang membawa buah tangan untuk ibumu. Itu rasanya jauh lebih berharga dari pada aku yang setiap hari menyiapkan semua kebutuhannya.” Kamu bisa lihat bagaimana ibu memuji bang kol yang datang membawanya pengat mujaher, itu sebulan lalu, dan masih hangat di hatinya sampai hari ini. Inen Bengi yang selalu cerewet bilang kalau ibu harus makan ini dan itu tidak boleh ini dan itu karena usianya, adakah dia yang datang pada malam-malam dimana rematik ibu kambuh? Atau mengurusi ibu saat diare, yang kotorannya berserakan di lantai. Di mana mereka yang hanya bisa membanggakan diri dengan sedikit pemberian dan perhatian saat ibu jatuh terpeleset di kamar mandi sampai terbaring tiga hari di kamar? Mereka hanya menelpon, mendoakan ibu cepat sembuh. Itu saja, sedangkan rumah mereka hanya di sudut kota kecil ini, hanya butuh waktu tidak lebih dari lima belas menit jika memang mereka ingin datang. Bahkan dinding pembatas ini pun terlalu tebal untuk bisa mendengar keluh kesah kita yang kadang kesulitan untuk sekedar menghidangkan ikan di meja makan untuk ibu.

Bang, yang mereka tahu hanyalah aku yang tidak becus mengurusi ibu mereka, yang mereka paham hanyalah aku yang tak pandai menyimpan uang dan boros. “Aku, butuh perlindunganmu, bang. Apakah aku tidak bisa dapatkan itu?”

Baru kali ini, setelah 25 tahun aku berada di tanah kelahiranmu aku benar-benar ingin pulang. Aku hubungi tiap kontak yang ada di telepon genggamku untuk bisa kembali terhubung dengan adik-adikku. Mak Tuo sudah wafat sepuluh tahun lalu, orang-orang hanya tahu adik pertamaku sudah menikah dan tinggal di Kuwok, adik keduaku berada di Bukit Tinggi, sedangkan ayah, saat ini bersama istri ketiganya tinggal di Jambi. Masih saja dia dengan mudah menikah, apa keadaannya sudah sejahtera sekarang, hah. Akhirnya aku dapatkan nomor ayah dari teman lamanya sesama pengadu ayam, aku tak yakin perlu bertanya kabarnya. Aku bicara panjang dengan Imel, adik pertamaku. Penuh haru, tumpahlah semua rindu yang begitu lama menggantung di langit. Aku kembali melihat wajahnya lewat panggilan video, wajah gadis mungil yang kutinggalkan diusia tujuh tahun. Sekarang sudah menjadi istri yang lembut dan manis. Kamu memang begitu manis Mel, dalam rupa juga budi. Tak pernah rewel dan dewasa bahkan sejak kita kehilangan emak. Terbasuh kesal dihatiku dengan suka cita cinta yang tersimpul kembali pada rumah yang sejak lama terlupa oleh ingat. Kampung halaman.

Laki-lakiku, kamu berbahagia saat kukabarkan bahwa aku kembali terhubung dengan keluargaku. Itu kebahagiaan yang tulus dan dalam, yang melembutkan hati siapa saja yang menerimanya. Tadinya aku marah dan kesal, bukankah seharusnya kabar ini membuatmu marah? Iya, aku ingin pulang ke keluargaku, yang akhirnya kembali kutemukan. Maksudku adalah meninggalkanmu, untuk sementara waktu memang, berlepas diri dari hiruk pikuk keluargamu yang semakin membuatku kelelahan. Tapi kamu malah memutuskan untuk mengantarku pulang, menjenguk keluargaku. Katamu kamu paham maksudku. Runtuh sudah semua kesal dan beratnya beban yang tergantung di pundak, bersama peluk hangat darimu.

Kembali di ujung malam kupanjatkan syukur atas nikmatmu ya Allah. Aku menemukan kembali diriku dalam cinta kasih yang tulus darimu, ayah anak-anakku. Perempuan dalam cermin itu kembali tersenyum. Tak ada arti lagi baginya omongan orang tentang dirinya. Dia akan tetap kuat dengan cinta kasih dari Robbnya lewat orang-orang terkasih yang selalu ada dekat di hatinya.

“Terimakasih sudah kuat sejauh ini, kita akan terus berjuang bersama sampai tugas terakhir jantung ini berdenyut. InsyaAllah.” Kupeluk lekat perempuan dalam cermin, sungguh aku menyayangimu. Raga, jiwa dan tiap titipan Tuhan untuk kamu perempuan yang sedang melihat cermin. Izinkan cermin di depanmu selalu menunjukkan bagian terdalam dan terbaik fitrahnya sebagai manusia yang diciptakan bengkok rusuknya, yang lemah dan lembut perangainya, yang penuh kasih dan tegar selayak karang.

Kamu istimewa, setiap perempuan dalam cermin.[]

* Penulis adalah penggiat sosial dan aktif di Forum Lingkar Pena Takengon

Previous Post

Bangkit dari Pandemi dengan Literasi Digital

Next Post

Badan Intelijen Kanada Khawatir Terhadap Meningkatnya Ujaran Kebencian Online

Next Post

Badan Intelijen Kanada Khawatir Terhadap Meningkatnya Ujaran Kebencian Online

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Pastikan Supplai BBM, Bupati Aceh Selatan Berkunjung ke Kantor Pertamina Wilayah Aceh

Pastikan Supplai BBM, Bupati Aceh Selatan Berkunjung ke Kantor Pertamina Wilayah Aceh

16/05/2025
Respons UGM Digugat Bayar Rp69 Triliun Imbas Gaduh Ijazah Jokowi

Respons UGM Digugat Bayar Rp69 Triliun Imbas Gaduh Ijazah Jokowi

16/05/2025
Hasil Forum Parlemen OKI Adopsi Deklarasi Jakarta, Bahas Isu Palestina

Gibran Sebut Presiden Bangun Kampung Haji di Mekkah dalam Waktu Dekat

16/05/2025
Hasil Forum Parlemen OKI Adopsi Deklarasi Jakarta, Bahas Isu Palestina

Hasil Forum Parlemen OKI Adopsi Deklarasi Jakarta, Bahas Isu Palestina

16/05/2025
Kampus dan Pengawas Pemilu Bersinergi: MoA FSH UIN Ar-Raniry dengan Bawaslu Kota Banda Aceh Diresmikan

Kampus dan Pengawas Pemilu Bersinergi: MoA FSH UIN Ar-Raniry dengan Bawaslu Kota Banda Aceh Diresmikan

15/05/2025

Terpopuler

Nyan, Bupati Sarjani Launching Baju Khas Pidie

Nyan, Bupati Sarjani Launching Baju Khas Pidie

15/05/2025

Aceh Barat Daya Cetak Sawah di Bekas Lahan Sawit

Di LKPJ Abdya 2024, Komisi I DPRK Abdya: Kami Merekomendasikan 7 Persoalan Pemerintahan

Koperasi Merah Putih Kepala Bandar Resmi Dibentuk, Faisal Sebagai Ketua

Koperasi Merah Putih Asoe Nanggroe Terbentuk

  • Home
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2022 atjehwatch.com

No Result
View All Result
  • Nanggroe
    • Lintas Barat Selatan
    • Lintas Tengah
    • Lintas Timur
      • Nasional
  • Internasional
  • Saleuem
  • Feature
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Sosok
  • Opini
  • Cerbung
  • Foto
  • Video

© 2022 atjehwatch.com